Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
lognews.co.id - Pekerjaan besar NU sebagai "jam'iyah", yakni ormas Islam terbesar di Indonesia adalah menjaga relevansi NU di tengah "turbulensi" dan goncangan dahsyat perubahan sosial akibat penetrasi media sosial masuk ke "kamar kamar" dan ruang ruang privat warga NU.
Penetrasi media sosial tersebut bersifat "lintas batas" teritorial negara dengan konten konten ideologi "trans nasional" mulai mengubah mindset, dan perilaku akar rumput warga NU, rentan terpapar sikap "intoleran", ekslusif terhadap perbedaan.
Kemampuan NU menjaga relevansinya dalam menghadapi tantangan sosiologis di atas akan menentukan eksistensi NU sebagai ormas Islam garda paling terdepan dalam mengawal Pancasila sebagai konsensus final arah kiblat bangsa.
Data survey LSI tahun 2017 menyebutkan jumlah "warga NU" sebesar 67% atau sebesar 160 juta dari total populasi muslim di Indonesia. Dari jumlah tersebut 54% di.antaranya berdasarkan temuan data survey Burhanudin Muhtadi tahun 2918 rentan "terpapar" sikap intoleransi.
Artinya secara kuantitatif sebesar 75 juta jiwa warga NU di Indonesia rentan terpapar "intoleransi" (secara lengkap tentang potensi intoleransi warga NU bisa dibaca dalam tulisan penulis berjudul "Problem Intoleransi di Jawa Barat").
Ini jumlah sangat besar, tidak boleh dianggap main main dalam proses integrasi kebangsaan di mana doktrin keagamaan NU selama ini menjadi kekuatan kultural dalam mengawal Pancasila sebagai arah kiblat bangsa.
NU sebagai "jam'iyah", ormas Islam, didirikan tidak mengikuti teori "modernisme global", tidak semata mata desain formalisme organisatoris dan "diktat diktat" aturan formal. Kekuatan kultural NU mendahului bangunan kekuatan strukturalnya.
Berdirinya NU sebagai ormas adalah titik temu perjumpaan "isyarat" langit dan tanggung jawab "kekhalifahan fil ardi", mandat kepemimpinan peradaban "di bumi". Kekuatan struktural NU adalah ekosistem sosial dan suasana kebatinan warga NU.
Dalam perspektif di atas itulah maka pekerjaan besar NU hari hari ini dan hari hari mendatang tidak memadai lagi hanya dipahami sebagai "jam'iyah" atau ormas Islam pada level identitas dan atribut lahiriyahnya.
NU sebagai "jam'iyah" tidak cukup hanya dihayati sebagai kerja kerja struktural apalagi kerja politik pragmatis bersifat partisan elektoral justru makin menjauhkan NU dari semangat berdirinya NU sebagai "jam'iyah".
Proyeksi kerja struktural "jam'iyah" NU ke depan adalah kerja kerja konsolidasi "kultural" menguatkan ekosistem sosial, memproteksi pemahaman keagamaan di level "jama'ah" NU sebagaimana gambaran data survey kuantitatif di atas.
Pendidikan NU baik pesantren maupun pendidikan umum, pembinaan majelis majelis taklim dan generasi milenial dan "gen z" harus dikonstruksi secara variatif, tidak semata mata tentang penguasaan "kitab kuning" dan penegasan identitas jam'iyah nya.
Spirit pandangan moderat "kuning kuning" harus ditransformasikan dalam konten konten kreatif sebagai blocking terhadap konten konten ideologi "trans nasional" yang bertolak belakang dengan cara pandang keagamaan NU.
Itulah "pekerjaan rumah" NU, sebuah pekerjaan tidak mudah menjaga relevansi kerja NU di tengah tantangan arus dahsyat media sosial.
Akan tetapi itulah jalan NU mengawal arah kiblat bangsa, yakni Pancasila tetap kokoh menjadi arah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wassalam.