PEMILU
Sunday, 26 January 2025

NU, ISLAM MASJID DAN ISLAM ALUN ALUN: SPIRIT MEMPERINGATI HAUL GUSDUR KE 15

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

lognews.co.id - Istilah "Islam masjid" dan "Islam alun alun" asli "made ini" Gus Dur (Wawancara di majalah "Editor", 1990).

Penulis kutip ulang di tengah momentum "haul" Gus Dur ke 15, wafat 30 Desember 2009, mari kita kirim "Alfatihah" untuk beliau semoga dilapangkan di alam kuburnya. Amin.

Konteks historis atau "Asbabun nuzul" istilah tersebut terkait penolakan Gus Dur sebagai Cendikiawan muslim terkemuka untuk bergabung dalam wadah ormas ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) saat didirikan tahun 1990.

Dalam pandangan Gus Dur ICMI hanya menghimpun "Islam masjid", bersifat sektarian politik sangat berbahaya bagi Pancasila dalam proses integrasi kebangsaan. Gus Dur mendirikan "Forum Demokrasi" lintas agama semacam tandingan ICMI.

Menyegarkan kembali pandangan Gus Dur di atas begitu penting di tengah massifikasi industri politik bersifat instan.

Pertama, meskipun dalam konteks isu sudah mengalami perubahan tetapi substansi tantangan bagi masa depan kebangsaan Indonesia tetap sama, bahkan polarisasi politik berbasis "politik identitas" dan ujaran kebencian dengan simbol simbol keagamaan secara "nyinyir" makin keras.

Pengkotakan "Islam masjid" dan "Islam alun alun" dalam teori antropologi politik ilmuan Clifford Geezt semacam padanan dari Islam "santri", tepatnya "Islam politik" dan Islam "abangan", dalam sejarah politik di Indonesia selalu bersifat laten, mudah dibentur bentukan atas nama "Islam" di satu sisi dan atas nama nasionalisme di sisi yang lain.

Kedua, pandangan keagamaan Gus Dur di atas meskipun.semula mungkin pendapat pribadi Gus Dur tapi suka atau tidak suka "orang luar" membacanya adalah pandangan NU. Di kemudian hari pandangan pandangan Gus Dur selalu menjadi sikap resmi keagamaan NU . Itulah Gus Dur "historis".

Dalam konteks ini Aswab Mahasin, seorang intelektual penggiat LSM sezaman Gus dur tak berlebihan menyebut Gus Dur adalah "jendela" NU. 

Artinya pengamat dan "orang luar" melihat NU dari "jendela" Gus Dur dan dari jendela Gus Dur pula orang NU melihat dunia luar tidak monolitik, lebih luas dan kompleks terutama dalam konteks relasi agama dan negara.

Di sinilah NU sebagai ormas Islam di mana Gus Dur tumbuh di dalamnya dalam proses dialektika keislaman dan kebangsaan memiliki tanggung jawab historis merawat "legacy" Gus Dur dalam proses memantapkan integrasi kebangsaan dengan segala tantangan zamannya. 

Tanggung jawab historis NU hari ini tak kalah berat di era "post truth", sebuah era politik kebohongan dan kebenaran bercampur aduk selalu menunggangi kontestasi politik elektoral, mudah membingkai publik dalam pembelahan sosial secara tajam akibat residu politik

Dalam perspektif tantangan kebangsaan di atas penulis bersetuju dengan pandangan Gus Yahya, ketua umum PBNU dalam bukunya berjudul "Pekerjaan Besar Nahdlatul Ulama".

NU di masa depan dalam perspektif Gus Yahya dalam buku di atas tidak memadai lagi hanya semata mata dipahami sebagai "jam'iyah", sebagai ormas untuk dibangga banggakan pada level atribut lahiriyahnya apalagi hanya dihayati sebagai kerja politik pragmatis dan bersifat segmentasi aliran. 

Cara kerja dengan sudut pandang "jam'iyah" di atas menurut Gus Yahya potensial menggiring NU mudah jatuh pada apa.yang diisyaratkan Al qur an "Mereka memecah belah agama, menjadi kelompok. Masing masing kelompok hanya membanggakan kelompoknya sendiri" ( Al.Ruum, 32).

Proyeksi kerja struktural "jam'iyah" NU ke depan adalah memantapkan Pancasila sebagai konsensus final arah penuntun kiblat bangsa.  

Itulah cara merawat "legacy" Gus Dur di atas, menguatkan NU sebagai basis kekuatan modal sosial dan kultural NU, pilar penyangga yang kokoh untuk menghadirkan NU sebagai solusi jalan peradaban bangsa. 

Itulah cara memproyeksikan NU sebagai solusi jalan peradaban baru atas kemungkinan makin tajamnya benturan peradaban di masa depan yang diandaikan Samuel Huntington di level geopolitik global maupun di Indonesia akibat residu polarisasi politik yang membedah tajam secara sosial.

Mari kita tunggu. 

Wassalam !