PEMILU
Sunday, 26 January 2025

NU DAN PROBLEM MODERASI BERAGAMA, PERSPEKTIF RELASI ISLAM DAN PANCASILA

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

lognews.co.id - Program "moderasi beragama" lintas kementerian dengan "leading" sektor kementerian agama hingga saat ini lebih bersifat administratif dan programatik, tidak menyentuh hal hal prinsip dan mendasar bagaimana mendudukkan Islam dalam relasi dengan Pancasila sebagai konsensus final asas tunggal arah kiblat bangsa.

Muktamar NU ke 27 tahun 1984, empat puluh tahun silam, ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai "asas tunggal" selalu dibaca para pengamat politik, bahkan sebagian elite NU sendiri hanya sebagai pilihan "kompromi politis"', pilihan terdesak oleh kemauan politik negara rezim Orde Baru - waktu itu.

Itulah problem mendasar "moderasi beragama", sebuah problem sepanjang relasi Islam dan Pancasila hanya dibaca, dipahami dan diletakkan dalam relasi kompromi "politis" maka relasi keduanya selalu problematik, menyimpan "ketegangan" politis dalam kehidupan berbangsa, bersifat laten, potensial selalu timbul. 

Maka tidak heran seorang intelektual muslim, Profesor Dr. Yudian Wahyudi justru dalam posisinya sebagai pejabat negara, kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memandang agama "musuh terbesar" Pancasila. Islam diperhadapkan secara konfliktual dengan Pancasila.

Di sisi lain sebaliknya tak kurang pula sejumlah tokoh agama, intelektual muslim dan para Habaib masih saja hendak memperjuangkan aspirasi "NKRI ber syari'at", "kitab suci di atas konstitusi", "perda syari'at", memperjuangkan visi "religius" dalam kontestasi pilkada di sejumlah daerah, dan lain lain.

Inilah warisan konflik ideologis antara Islam versus Pancasila tentang dasar negara sejak di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Juni 1945 hingga sidang "konstituante" (MPR hasil pemilu 1955), masih membekas dalam memori kolektif bangsa.

Gus Dur, konseptor di balik penerimaan NU tentang asas tunggal Pancasila dalam Muktamar NU di atas mengakhiri secara konseptual penghadapan Islam dan Pancasila dari sudut pandang keagamaan yang kelak menjadi pandangan keagamaan NU tentang relasi Islam dan Pancasila

Dalam perspektif Gus Dur Islam dipahami tidak sebagai konsepsi ideologi politik melainkan sekumpulan sistem nilai tentang keadilan dan kesetaraan yang dapat diinjeksikan dalam akomodasi sistem politik modern, tak terkecuali Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kata lain Islam diletakkan Gus Dur tidak dalam posisi sebagai "ideologi alternatif" yang diperhadapkan secara vis a vis dan konfliktual politis dengan Pancasila sebagai ideologi negara melainkan keduanya bersifat "komplementer", bersifat melengkapi satu sama lain.

Di sini relasi Islam dan Pancasila diletakkan bahwa Islam di satu sisi menjadi landasan aqidah dan akhlak umat di sisi lain Pancasila menjadi tuntunan nilai sumber konstitusi dan regulasi turunannya di mana prinsip prinsip hukum Islam dapat diakomodasi di dalamnya sejauh tidak masuk urusan privat keyakinan dan sistem peribadatan agama.

Program "moderasi beragama" penting diletakkan dalam prinsip prinsip dasar relasi Islam dan Pancasila di atas selain untuk menghindarkan "kesan" seolah olah tafsir tentang Islam dicocok cocokkan dengan Pancasila - juga program moderasi beragama memiliki landasan ideologi yang kokoh dan mendasar

Hal ini semakin penting untuk dilakukan mengingat residu kontestasi politik elektoral sering sekali menarik narik identitas agama menjadi "bahan bakar" politik untuk membranding diri sekaligus menista pihak lain. Potensial merusak harmoni sosial.

Bahkan dalam hal perbedaan madzhab antar internal pemeluk agama Islam misalnya soal membaca "qunut" (madzhab Syafie)! atau "tidak qunut" (madzhab maliki) dalam sholat shubuh tak jarang di tarik menjadi konflik "identitas ormas" bertendensi politis.

Dua imam madzhab tersebut seolah olah mewakili ormas tertentu yang berbeda. "Sejak kapan ada riwayat imam Maliki dan imam Syafie mewakili atau menjadi "anggota" ormas", gurau Gus baha" dalam sebuah ceramahnya.

Ke sanalah program penguatan "moderasi beragama" diarahkan sebagai sosial kapital untuk menggerakkan jalan peradaban Indonesia menjadi negara maju dan beradab. 

Wassalam.