PEMILU
Thursday, 03 October 2024

KENAPA KH. MARZUKI MUSTAMAR DIBERHENTIKAN PBNU?

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan 

lognews.co.id - Sulit menepis persepsi publik bahwa pemberhentian KH Marzuki Mustamar dari posisi ketua PWNU Jawa Timur oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) tidak terkait dengan hal Ikhwal tentang dukungan politik dalam kontestasi pilpres 2024.

KH. Marzuki Mustamar dalam persepsi publik sejauh yang terpantau di media sosial "diduga" berbeda arah dukungan politik dengan para elite PBNU dalam kontestasi pilpres 2024. Publik cukup mudah menebak kecenderungan perbedaan tersebut.

Tentu dalam kerangka teoritis Mitsuo Nakamura, peneliti asing pertama yang menjadi "peninjau resmi" Muktamar NU ke 27 di Semarang tahun 1979, memahami dinamika internal NU di atas tidak memadai hanya dibaca dalam satu perspektif tunggal.

NU menurut Mitsuo terlalu rumit hanya dibaca dalam konstruksi formalisme organisatoris. Jangankan "orang luar" bahkan elite PBNU sekalipun sulit mengartikulasikan kerumitan kerumitannya termasuk dalam konteks perdebatan tentang pemberhentian KH Marzuki Mustamar di atas.

NU adalah "ormas rasa partai" bukan saja karena sejumlah elite PBNU saat ini "fully politician", murni politisi, juga karena NU adalah "jam Iyah", ormas Islam dengan "DNA" politik sejak kelahirannya, sulit dilepaskan dari dimensi politik, ibarat air dan ikan, bahkan dalam "humor politik" Gusdur "orang orang NU mudah sakit gigi jika terlalu lama tidak bicara politik".

NU didirikan tidak mengikuti trend teori organik model sosiologi Harvey Cock dan Max Weber tentang "modernisme global" melainkan perjumpaan "isyarat" langit dan kebutuhan jaman. 

Karena itu tidak tepat jika NU sepenuhnya dikelola dengan prinsip prinsip organisasi modern: disiplin, efektif dan efisien secara kaku dan ketat 

NU bukan "ormas Islam" yang membentuk "jama'ah" melainkan mula mula adalah "jama'ah", sebuah komunitas sosial kultural keagamaan pesantren dengan mindset "kitab kuning" lalu "di "jam'iyah" kan atau diorganisir secara struktural. 

Artinya kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya bukan sebaliknya.  

Tali tambang "longgar" yang mengikat lambang dunia NU sebuah pesan simbolik bahwa NU sebagai "jam'iyah" atau organisasi tidak perlu diatur ketat seperti "mesin birokratis" yang dapat melemahkan magnit kekuatan kulturalnya.

Paparan tentang "anatomi" NU di atas sedikit hendak menjelaskan bahwa PBNU tidak perlu terlalu mudah mengeksekusi "pemberhentian" struktur organisasi di bawahnya hanya karena misalnya kecenderungan perbedaan afiliasi dukungan pilpres 2024.

Tentu sejauh tidak menggunakan atribut organisasi dan tidak menyimpang dari "qonun asasi", prinsip ideologi keagamaan NU. Ini penting untuk menguatkan relasi membatin antara kekuatan struktural NU dan kekuatan kulturalnya. 

Di Jawa Barat misalnya - sekedar ilustrasi - berdasarkan penelitian LIPI (2018) kekuatan kultural NU sebesar 82% tetapi yang mengikatkan diri secara "jam Iyah" pada organisasi NU hanya 9%, sebuah tantangan dan "PR" untuk memperkuat titik sambung antara dua kekuatan di atas di masa depan.

Dalam konstruksi penguatan di atas itulah maka dalam konteks pilpres 2024 masa depan NU tidak perlu dicemaskan dengan ketergantungan pada sebuah rejim politik tertentu hingga harus dilakukan "pemecatan" terhadap struktur organik di bawahnya hanya perbedaan afiliasi dukungan politik misalnya dengan rejim penguasa politik 

NU lahir, tumbuh, kuat, besar dan telah diuji sejarah hingga saat ini bukan karena "diasuh" oleh "asupan" rejim politik melainkan kekuatan kultural dan ketaatan spritualitas umat penopangnya.

Itulah urgensi sinergitas kekuatan struktural NU dan kekuatan kulturalnya. Rejim boleh berganti, datang dan pergi, tetapi NU harus tetap abadi menjadi kekuatan masyarakat sipil mengawal arah kiblat bangsa - bukan mengawal rejim politik secara pragmatis. 

Tabiiiiik !!!