PEMILU
Thursday, 03 October 2024

GUS MIFTAH DAN BANGKRUTNYA MORAL POLITIK, CATATAN AKHIR TAHUN

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan 

lognews.co.id - Masihkah kita berbangga diri tentang Pancasila sebagai "moral penuntun" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat tokoh sekelas Gus Miftah justru "happy" bagi bagi "uang politik" di tengah barisan massa di Pamekasan Madura (21/12/2023) yang begitu viral di media sosial?

Gus Miftah "berkelit" dalam klarifikasinya bahwa ia tidak "bagi bagi" uang kecuali menurutnya sekedar membantu "tuan rumah" pengusaha yang dikunjunginya membagi "sedekah" untuk masyarakat sekitarnya sambil berlindung dibalik "formalitas semu" bahwa ia bukan bagian dari tim sukses. 

Gus Miftah lupa posisi kulturalnya sebagai "Gus" (baca: Ulama atau pendakwah) yang dipahami publik dekat dengan salah satu capres tertentu (no 2) tampil "happy" membagi 'sedekah" justru di tengah masa kampanye 

Inilah yang menandai bangkrutnya moralitas etik demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aturan formal "diakali" untuk menghindari "delik" dan publik dipandangnya seolah olah "buta mata hatinya".

ognews gus miftah

(Foto: Gus Miftah bagi bagi uang di Pamekasan Madura)

Pilpres sebagai mekanisme demokrasi yang menurut pemikir politik modern Francis Fukuyama sebagai "jalan mulia dan beradab" dalam siklus seleksi kepemimpinan politik menjadi layaknya praksis "Binatangisme politik" - mengutip diksi George Orwell.

Dalam perspektif Imam Al Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumudin" dijelaskan bahwa "rakyat rusak karena pemimpinnya rusak. Pemimpin rusak karena para ulama nya rusak. Ulama rusak (syu') karena "bertuhan" pada kemewahan dunia dan jabatan" ("ihya Juz II). 

Tipe ulama seperti ini dulu oleh Gusdur dalam acara "Humor dan politik" (1992) secara "berseloroh" disebut "mafia tul ulama" - ulama mafia. 

Effect pengaruh ulama berdaya rusak tinggi dalam formasi sosial masyarakat sebagaimana penegasan Al Ghazali di atas jika abai atas fungsi "Li yundiru qaumahum", abai "menuntun" arah kiblat moral publik.

Kehidupan berbangsa dan bernegara dalam pandangan moral ideologi Pancasila tidak boleh hanya diletakkan pada level mana yang "boleh" dan "tidak boleh" dalam konstruksi hukum positif melainkan pada level moral tentang "pantas" dan "tidak pantas" dalam pergaulan "akhlak publik".

Bangkrutnya nilai nilai moralitas "akhlak publik" inilah akhir akhir ini menjadi sumber keprihatinan sejumlah tokoh bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gus Mus (KH Mustofa Bisri - Rembang) menyuarakan keprihatinannya dalam puisi satir "ada republik rasa kerajaan", diikuti "maklumat ciganjur" diprakarsai ibu Sinta Nuriyah, istri (alm) Gusdur yang disuarakan tokoh tokoh lintas agama mengingatkan agar proses pilpres 2024 berjalan secara jujur, adil dan beradab.

Tanpa moral etik Pancasila atau justru pongah mempertontonkan kekuatan praksis politik uang di ruang publik "asal menang" dengan segala cara tak beradab, lalu peradaban politik macam apa yang hendak kita wariskan pada generasi mendatang?

Di sinilah posisi penting ulama (kiai, Gus, cendikiawan dan budayawan) dalam relasi sosial kehidupan berbangsa dan bernegara, meletakkan diri menjadi moral penuntun bangsa, tidak tergoda oleh godaan "sexinya" pragmatisme politik yang "tuna adab" dan "miskin" akhlak publik.

Wassalam.