PEMILU
Thursday, 19 September 2024

Al Zaytun Model Pendidikan, Kemandirian, Toleransi, perdamaian

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

lognews.co.id, Tangerang – Literasi yang dibangun dalam kehidupan berbangsa yang menjaga kerukunan didasari atas kebebasan beragama, dikupas oleh Dr. Budhy dengan wartawan senior Handy Tion (HT) dalam suatu perbincangan serius dan mendalam untuk Indonesia yang damai.

Pemikirannya tentang islam yang dekat dengan pemikiran Nurcholish Madjid ini bernama lengkap Dr. Budhy Munawar Rachman, seorang pendidik, Pengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, yang aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development.

Membuka perbincangan Dr. Budhy menyampaikan untuk menyikapi agama dengan rilex, penuh pembelajaran pada masa lalu ketika isu agama menjadi perdebatan dan konflik, namun hari ini sudah membaik atau berproses menjadi lebih baik.

“ Ini yang disebut oleh para ahli ‘Indonesia too much religion’ apa saja dicarikan unsur agamanya, nah kita perlu memikirkan/menyikapi dengan rilex isu isu yang mengandung agama, agama adalah salah satu, karena kehidupan bukan cuma agama, ada sosial, politik, hubungan antar agama, nanti bisa kita elaborasi itu semua sambil berjalan” kata Dr. Budhy.

Menjadi pertanyaan ketika kebebasan beragama mendapatkan tantangan dalam prakteknya, sehingga perlu pandangan yang sama.

HT : "Islam boleh beda gak sih? dan sebatas mana kebebebasan beragama ?"

Dr.Budhy : “ Pada dasarnya kalau kita mengenal studi Islam, Indonesia itu Monolitik atau satu, yang penganutnya dari Sabang hingga Merauke sama secara dasar, biasa kita menyebut Sunni Asy-ariyah secara aqidah, dari segi fiqih bermadzhab Syafi’i.

NU mengklaim pemilik Sunni atau ahli Sunah Wal Jamaah, di Muhammadiyah sebenarnya Sunni yang sudah dipikirkan ulang, tapi ya tetap dasarnya Sunni gak ada perbedaan yang paling fundamental dalam aqidah, mugkin syariah juga.

Jadi di Indonesia belum mengenal adanya “jenis islam yang lain”, ketika kita melhat jenis islam yang lain kita kaget, pertama kali kita kaget setelah Revolusi Islam Iran tahun 2000-an, Imam Khomeini, ada Syiah disana, kemudian membangun politik dunia, melawan Arab Saudi, dan mereka juga sudah memikirkan expor Islam, kalau selama ini ekspor islam dari Arab Saudi memberikan banyak sekali fasilitas Islam di Indonesia dan ditempat lain di dunia.

Ketika Syiah ada di Indonesia, kita mulai kaget, “Ada tu, islam yang lain, prakteknya prakteknya agak beda, perayaan agamanya beda” bersamaan dengan itu muncul Jemaah Islam Ahmadiyah, kaget lagi, dan isunya punya Nabi sendiri, dan seterusnya padahal sudah berada di Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah ada, mereka punya akte yang secara hukum legal” lengkap Dr. Budhy.

Lebih lanjut Dr. Budhy mengatakan bahwa Indonesia sedang berproses dalam memandang kebebasan beragama sehingga terjadi pada masa reformasi tahun 2000an bagaimana Jamaah Ahmadiyah Indonesia menjadi korban konflik, menimbulkan korban di Manislor (Jawa Barat), Parung (Bogor) Mataram, Lombok dan Syiah di Sampang Madura, penduduk yang diungsikan sampai sekarang pengungikutnya belum bisa kembali ketempatnya, ketanahnya, seperti dipengungsian di Sidoarjo untuk korban Syiah yang pelan pelan sedang diusahakan sejak 10 tahun ini.

“Kita masih sedang belajar memahami islam yang berbeda beda, dibayar dengan konflik” ujarnya.

Namun Dr, Budhy menerangkan bahwa sekarang kita menyadari keragaman, dan lebih bisa bertoleransi, terjadi perubahan yang sangat baik, jadi mulai sadar nilai toleransi yang dikembangkan di Indonesia itu antar agama, tapi (juga) interagama, sehingga kebebasan inter agama bisa benar benar melindungi hak untuk berbicara, beragama, dan yang lebih penting lagi hak hidup sehingga tidak terjadi lagi pengusiran atas nama agama.

“Dilingkungan sendiri kita gak pernah memikirkan toleransi interagama, karena kita pikir, “toleransi apa orang kita sama semua kok?!” tambahnya.

Tujuan beragama untuk menentramkan hati pemeluknya dan menjalani hubungan yang harmonis, taat, mampu bersosial dimasyarakat dengan santun dan menebarkan kebaikan, menjadi diskusi ilmiah ketika ke-agamaan seseorang berhadapan dengan isu kelompok mayoritas, dan isu kebebasan beragama, diperkuat dengan sebagian elit dan masyarakat masih menganggap perbedaan sebagai permasalahan yang tidak bisa ditolerir.

“Iya saat itu, dan disikapi dengan pandangan mayortas organisasi islam, pandangan NU terhadap Ahmadiyah, Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah, kemudian MUI yang memayungi mayoritas organisasi islam terhadap Ahmadiyah, sama bahwa Ahmadiyah itu sesat lah begitu ditahun 2000-an awal” jelas Dr. Budhy

Pandangan mayoritas menjadi tantangan ditengah bangsa yang majemuk dan penuh keberagaman, termasuk keberagaman didalam agama yang sama, sehingga menurutnya perlu pendidikan sejak dini mengenai keberagaman, toleransi antar beragama atau interagama, yang sesungguhnya Indonesia sudah memiliki dasar dalam faslafah bangsa mengenai persatuan dan kesatuan ditengah kemajemukan dengan latar belakang suku, ras, agama, budaya, bahasa yang berbeda beda menjadi Indonesia yang lebih kebhinekaan menjaga persatuan dan kerukunan antar umat beda agama, dan kerukunan antar umat seagama diikat dalam konsep waga negara.

“ Didalam hubungan antar atau intra sebagai bangsa Indonesia itu (istilah mayoritas dan minoritas) gak boleh dipakai, sebab kita tidak membedakan antara Warga Negara Idonesia (WNI) berdasarkan minoritas mayoritas, kita semua WNI, dengan kategori lahir di Indonesia, atau menjadi orang Indonesia dengan proses hukum. Sebagai WNI kita sama dimata hukum, dan konsep warga negara itu penting sekali, harus lebih tiggi dibanding konsep agama yang minoritas mayoritas tadi.” Jelasnya.

Dr. Budhy, mencontohkan bagaimana lembaga pendidikan pesantren terbesar se Asia Tengara dengan akreditasi “A” unggul bukti bahwa pendidikan Al Zaytun pimpinan Syaykh Panji Gumilang diakui oleh negara, menjadi satu satunya yang berani men”declare” sebagai pusat pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian menuju masyarakat sehat cerdas dan manusiawi.

Adalah “Small but beautyful” ungkapan yang dilontarkannya saat lembaga yang hanya satu namun bisa mengubah Indonesia bahkan dunia apabila dipraktekan bagaimana kemandirian ekonomi melalui persawahan, peternakan, kemandirian intelektual melalui universitas yang belum diwujudkan pemerintah hingga saat ini sehingga apabila terwujud akan banyak sekali penelitian karena sudah ada laboratorium mandiri.

“Masyarakat kecil tapi indah, ciri khas pesantren yaitu inovasi syaykh yang meledak di Al Zaytun sehingga punya perbandingannya seperti sapi unggul, perkapalan Syaykh yang besar banget” tambah Dr. Budhy.

Konsistensi toleransi yang diajarkan terpampang besar dalam bentuk plang besar di gerbang masuk dengan bacaan pusat pendidikan toleransi dan perdamaian sehingga sampai hari ini saya mengenal sebagai pendidik yang nasionalis.

“ Saya kagum dengan mengartikan Indonesia tanah suci, yang dibaca dengan frase yang berbeda memahaminya” ujar Dr. Budhy.

Menurutnya jarang ditemukan sosok seorang nasionalis yang hidup dan berkembang terus selama 25 tahun Al Zaytun berdiri, punya model pendidikan yang bisa mandiri, dihidupkan sendiri dalam kurikulum, dan punya pemikiran sendiri yang progresif, itu menarik sekali.

Itu adalah pengakuan, Al Zaytun melalui “Inovasi kampus merdeka” dimungkinkan untuk menjadi entrepreneurship bagaimana konsistensi terhadap keindonesiaannya (kebangsaan), motto toleransi dan keislaman keindonesiaan. (Amr – untuk Indoenesia)