PEMILU
Thursday, 19 September 2024

Menilai Al Zaytun Menggunakan Kacamata Pesantren Karena Pemerintah Butuh Terobosan Pendidikan

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

lognews.co.id, Malang - Pelopor dalam mengubah Pesantren menjadi Universitas, yang dilakukan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo, yang berjuang demi mengubah lembaga pendidikan yang fenomenal di dunia pendidikan Indonesia, dengan terobosan yang dimilikinya, mempunyai resiko ketika gagasan tersebut sering tidak dipahami oleh Pemerintah dengan aturannya, demi menjalankan pendidikan yang baik kepada Mahasiswa yang sekaligus Santrinya, Prof Imam menyadari segala resikonya yang melekat pada seorang pejuang yang tak mengenal berhenti untuk kemajuan masyarakat Indonesia, jejak sejarah yang dilakukan sejak awal tahun 2000-an, membuahkan kesepakatan bersama antara Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, antar dua Negara, Sudan dan Indonesia, namun dilihat dengan kacamata Pesantren, membuat perjalanan Imam Suprayogo membutuhkan cara cara kreativ dalam mewujudkannya, begitupun saat membicarakan apa yang digagas oleh Pesantren terbesar Se-Asia Tenggara, Al Zaytun yang dipimpin Syaykh Al Zaytun,  Prof. Dr. A.S. Panji Gumilang, M.P. dalam siaran podcast lognewstv berikut ini :

Prof : “Bibit pendidikan agama awal mulanya sedari Pendidikan Pesantren, seiring perkembangan zaman muncullah pendidikan klasik (classical) bernama Madrasah, kemudian lama kelamaan kegusaran timbul dari para tokoh, para ulama di Indonesia, karena merasa kurang puas jikalau para pemimpin itu hanya jebolan Pesantren maka dibangunlah Perguruan Tinggi Agama Islam mulai dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)  lalu ada (Institut Agama Islam Negeri ( IAIN).

Namun pada awal pendiriannya, saat itu hanya Jakarta dan Jogja, tapi lalu tumbuh di kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, sampai di Aceh, dengan total jumlah sampai 14 di kota-kota kecil, lalu buka cabang-cabang cabang fakultas Tarbiah, cabang Fakultas Syariah.

Fakultas Syariah misalnya ada di Ushuluddin, misalnya di Kediri kalau di Malang ini Tarbiah, kalau di Bojonegoro kan cabang-cabang, itu diubah oleh pemerintah “jangan cabang Nanti kurang Mandiri dijadikan sekolah tinggi.” Akhirnya di Indonesia ada perguruan tinggi ada Pesantren.

Dengan harapan yang Perguruan Tinggi itu sesungguhnya bisa menjadi pendidikan kelanjutan Pesantren maka Pendidikan Tinggi itu diharapkan melahirkan ulama yang intelek.

Tapi setelah saya (Imam Suprayogo) pelajari ternyata tugas atau beban itu tidak bisa tercapai di Perguruan Tinggi Itu, dari sisi agamanya juga kurang dari sisi intelektualitasnya juga kurang.

Kemudian saya  mempelajari menurut hemat saya kalau itu hanya berbentuk Institut apalagi Sekolah Tinggi itu tidak akan bisa melahirkan konsep ideal yang dirumuskan oleh para ulama para Kiai tokoh Islam di Indonesia, itu harus diubah menjadi Universitas, sayalah waktu itu yang pertama kali mengusulkan menjadi Universitas lalu diikuti oleh Jakarta, setelah ada dua usulan dari Malang dan dari Jakarta Pak Menteri Agama waktu itu mengambil kebijakan “jangan dua, satu saja,” nah kalau saat itu maka pasti yang dipilih adalah Jakarta karena Jakarta itu lebih besar, Malang itu kan kecil banget, tapi saya juga ndak mau putus asa, saya waktu itu pergi ke Sudan komunikasi dengan berbagai perguruan tinggi di Sudan sana ada Universitas Khartoum ada Omdurman, Al-Quranul Karim, Al Gezira, lalu disitu ingin membuat sebuah Universitas kerja sama antara Indonesia - Sudan.

Hanya waktu itu kampus-kampus, Rektor-Rektor itu walaupun ide itu bagus dan setuju untuk diimplementasikan, tak kunjung ditindaklanjuti, dengan alasan tidak punya kewenangan, dianggap kewenangan ada ditangan Menteri Pendidikan Tinggi Sudan.

Kemudian Menteri Pendidikan Sudan saya presentasi setuju untuk membuat Universitas Islam Indonesia Sudan, tapi beliau itu tidak punya kuasa, setalah ditanyakan siapa yang punya kewenangan ternyata ada di Presiden.

Akhirnya lalu bertemu Presiden, disepakati bahwa kerjasama membentuk Universitas Islam Indonesia

Sudan di Sudan, dan Universitas Islam Indonesia Sudah di Indonesia, disepakati pula waktu oleh Menteri Agama Pak Said Akil Munawar, beliau senang sekali waktu itu.

Kemudian dibuatkan SK oleh Beliau lalu diresmikan lah Universitas Islam Indonesia Sudan Tapi waktu itu lantas dikatakan karena universitas negeri itu harus ada SK dari Presiden, sementara itu sk-nya dari agama harus dibubarkan dulu, tentu saya tidak mau membubarkan saya berupaya bagaimana agar ini bisa mendapatkan SK presiden Akhirnya saya usul waktu itu lewat proses yang panjang, nama sudannya dihilangkan, menjadi Universitas Islam Negeri yang kemudian ditambah nama oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menjadi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Ketika dalam proses untuk menjadi Universitas itu saya juga pelajari gimana sih sesungguhnya Pesantren gimanana sih sesungguhnya Universitas dalam mempelajari itu saya menemukan buku kecil miliknya (penulis) Profesor Mukti Ali yang mengatakan disitu Itu yang sangat sangat terkesan bahwa “tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain Pesantren,” ulama itu ya lahir pasti dari pesantren, kalau bukan Pesantren melahirkan ulama itu ngak mungkin, menurut bukunya Profesor Mukti Ali. Dari situlah saya buatkan pesantren di dalam kampus, bahkan kampus saya jadinya Pesantren ya universitas, universitas ya Pesantren. Semua mahasiswanya ada di dalam kampus yang kami sebut sebagai Mahad, sebab kalau saya sebut Pesantren nanti anak-anak dulu sudah pernah belajar Pesantren kok di kampus juga Pesantren maka saya kasih nama Mahad di tahun 1999 ke 2000 waktu tak mulai itu akhirnya kampus saya itu jadi pesantren.

Yang dilakukan ini direspon positif oleh para pesantren pesantren di Jawa Timur, akhirnya saya kenal dengan para kiai-kiai, mereka juga senang apalagi, saya selalu peduli kepada kiai-kiai itu walaupun kepedulian saya ya sebatas kemampuan saya waktu itu.

Memang yang namanya pembaruan kan juga harus tidak mengikuti, terlalu mengikuti peraturan, kalau ngikuti peraturan nanti, agar sesuai dengan aturan itu, kan begitu?!, saya melakukan langkah-langkah strategis, langkah-langkah strategis itu dirasa menguntungkan Pesantren.

Misalnya waktu itu saya kan mendapatkan bantuan dari IDB (Islamic Development Bank) untuk membangun kampus itu kalau sudah salah waktu itu ada 36 juta US Dollar, sehingga gedung-gedung yang lama itu saya berikan kepada pesantren-pesantren, itu mereka senang banget.

Dengan cara begitu walaupun kalau ditanyakan kepada Pak Menteri itu salah, kan saya semacam tuker gitu atau berikan saja gedung-gedung itu, silakan diambil, waktu itu gedungnya kan banyak dan semua saya bongkar, disitu kan masih ada genteng-gentengnya, kayu-kayunya, kaca-kacanya, macam-macam.

Pesantren yang ada di daerah Malang raya ini ada sekitar 40 atau 50 dikumpulkan dan disuruh bagi bagi, dipakai untuk pengembangan fasilitasnya.

Begitu juga saya waktu punya kebijakan, saya kan waktu itu bisa buat kamar tidur ya bisa menampung 1.500 Itu otomatis kasurnya kan 1.500, Saya kalau beli kasur biasanya saya tanyakan,  kasur kualitas seperti ini bisa tahan berapa lama? katanya 5 tahun, kalau nanti sudah digunakan 3 tahun saya beli baru kemudian yang lama yang masih sisa 2 tahun ini saya berikan pada pesantren-pesantren di Malang, otomatis mereka kan senang betul dengan kampus saya itu lalu dirasakan ya manfaatnya tidak saja nama besar Pesantren Modern tetapi Pesantren-pesantren yang tidak punya sumber pendanaan itu lalu juga jadi senang kan gitu.

Dan dari situ jadi dikenal ya salah satu sosialisasi Prof dengan masyarakat Pesantren lain seperti itu karena itu lalu perkembangan kampus yang saya pimpin cepat, mereka mengapresiasi senang karena apa Karena dirasakan manfaatnya oleh pesantren-pesantren, lembaga pendidikan Islam yang lain yang ada di Malang ini.

saya punya teori sederhana “kalau di sawah itu ada pohon kelapa satu yang tinggi gitu kan, nanti sabar iya betul tapi kalau banyak kan gak akan kena petir, karena Petir itu pasti menyambar yang tinggi."

HT : “Dan itu sebuah kewajaran ya itu alami Oke Prof,  By the way tapi Prof gini ketika melihat  Pesantren itu kan enggak mudah , Pesantren sudah sedari zaman dulu ya sudah ada namanya Pesantren, kemudian mengelola Pesantren itu juga enggak mudah banyak kasus-kasus Pesantren itu sampai akhirnya, banyak yang dikriminalisasi atau persekusi gimana sih sebenarnya itu bisa terjadi ?”

Prof : “ ya karena yang mengkriminalisas, persekusi itu gak paham Pesantren, mestinya dipahami sebagai Pesantren.”

HT : “ Ada enggak sih undang-undang sekolah”

Prof : “akhir-akhir ini saya kira sudah ada sekarang ini, tapi zaman dulu belum ada,  wong dulu itu undang-undang Universitas Islam Negeri aja belum ada kok, sehingga waktu saya membuat mengubah STAIN  jadi Universitas tidak seperti sekarang, kalau sekarang berubah dari IAIN menjadi universitas kan ada aturannya misalnya luas tanahnya sekian, harus punya murid sekian, harus punya dosen sekian.

Kalau zaman saya dulu belum ada karena peraturannya belum ada, saya membuat waktu itu bukan atas dasar peraturan, tapi atas dasar program-program yang saya tunjukkan bahwa untuk mengadaptasi kemajuan seperti ini maka lembaga ini gak cocok kalau tidak dibentuk menjadi universitas seperti itu.

tetapi sebenarnya kalau saya tadi katakan mengapa mereka menyalahkan, karena memang gak paham tentang pesantren itu sendiri. Ketika itu walaupun saya namakan pesantren di dalam kampus apalagi kampus, apalagi waktu itu merupakan perguruan tinggi negeri kan peraturannya juga belum ada waktu itu, dan kalau pemerintah membuat aturan kan diberlakukan secara nasional dari Aceh sampai Papua.

kan gak mungkin pemerintah membuat aturan hanya untuk ngurusi satu kan gak mungkin itu, nah karena itu maka di tengah-tengah yang peraturannya belum ada kayak begitu saya tentu melakukan langkah-langkah yang diperlukan bagaimana agar konsep ini bisa berjalan dan meraih hasil sebagaimana yang saya harapkan.

Waktu itu  out of the box berarti ya ?

Prof : “ya tentu, bagaimana saya nunggu peraturan waktu itu Ma,had saja itu masih ada pertama kali, lalu seperti misalnya pengajaran kemampuan berbahasa asing yang dikatakan lemah itu kan sejak menteri agamanya Profesor Mukti Ali lalu diganti oleh Pak Muramir Sadali Lalu diganti lagi pak saapa itu lalu juga terus semua kan mengeluh tetapi kan tidak ada solusi kecuali pada awal-awal harus ada kursus intensif bahasa Arab dan bahasa Inggris kan begitu dan itu tidak berlangsung lama, maka saya mengambil keputusan untuk mengatasi agar mahasiswa itu bisa berbahasa Arab, maka saya mengambil keputusan setiap mahasiswa tahun pertama harus belajar bahasa Arab setiap hari 5 jam, dari jam 14.00 sampai jam 20.00 malam, dan mereka harus tinggal di Ma,had, waktu itu kan belum ada peraturan tentang Ma,had, akhir-akhir ini saja peraturannya lalu diadakan, karena apa yang saya lakukan itu ditiru kampus-kampus yang lain, termasuk juga pengajaran bahasa itu sampai hari ini mungkin juga belum ada yang niru.

HT : “ada  resistensi enggak Prof saat itu ?”

Prof : “ya banyak resistensi selalu ada, apalagi dari mahasiswa sendiri, misalnya mahasiswa saya berbondong-bondong datang ke saya, kami ini kok ditugasi untuk belajar bahasa Arab 5 jam, lalu mereka menanyakan ini berapa SKS ? ini berapa semester ? itu misalnya.

Saya bilang kamu salah paham, salah paham gimana ? kamu mengira saya itu mengerti SKS,  kamu ngira saya itu ngerti semester, Aku ndak ngerti yang namanya SKS semester itu, yang saya ngerti kamu ndak bisa bahasa Arab, bahasa Arab itu penting kajian Islam, karena itu ayolah belajar, “masa hidup sekali saja jadi orang lucu, belajar agama gak ngerti bahasa Arab” saya bilang gitu.

Nanti tentang SKS tentang semester silakan kamu sendiri tapi kamu tak tutuntut untuk bisa jadi seperti itu. Saya buat “reasoning” yang bisa diterima bahkan juga ada misalnya dulu awal-awal saya Pimpin itu kan di jurusan tarbiah pendidikan agama, pendidikan agama itu kan waktu itu ada dua jurusan misalnya jurusan pendidikan agama, ada jurusan kependidikan agama.

Waktu itu saya tanya kepada ketua jurusannya ini kok beda, itu gimana ? yang satu jurusan pendidikan agama dan yang satu jurusan kependidikan agama, lalu saya omongkan ini ada jurusan wanita ada jurusan kewanitaan

“Siapa dulu yang Karang ?” saya bilang gitu, karena katanya Profesor tafsir dari Bandung, sudah besok kalau begitu pergi ke sana nanya itu maksudnya itu apa?!, itu akhirnya datanglah pulang, saya tanya gimana ? katanya dia jawab begini begini, tapi masih belum jelas, karena belum jelas maka besok jurusan bubar. “tapi sudah ada SK-nya dari pak menteri” katanya, gak apa, orang ndak jelas, Aku gak mau nunggu barang yang gak jelas gitu, waktu itu, “siswanya banyak”  gak apa-apa biar pindah ke tempat lain, “jangan saya itu disuruh nunggu yang saya sendiri gak ngerti” tak bilang gitu kan akhirnya bubar, setelah bubar ya mahasiswanya juga protes, tak beritahu gak ada orang jelas lalu pindah aja ke jurusan-jurusan yang jelas, bilang gitu, (karena) ini jurusan ada pendidikan Islam ada kependidikan Islam.

Beberapa minggu kemudian saya itu didatangi banyak mahasiswa saya, tanya dari mana ini ada yang dari Surabaya, Semarang, Jogja dari mana-mana itu memprotes saya, kenapa ? Saya membembubarkan jurusan, tak bilang “yang saya bubarkan itu hanya di sini, di tempatmu ndak saya bubarkan” bilang gitu lah kenapa dibubarkan ? karena gak jelas saya bilang, aku gak mau memimpin kampus yang gak jelas bilang itu, akhirnya bubar.

Nah setelah bubar beberapa tahun kemudian saya pelajari, renung-renungkan apa sih ini cocoknya bukan jurusan kependidikan Islam, tapi jurusan Manajemen Pendidikan Islam kan cocok itu akhirnya diam-diam saya buka itu lagi tapi bukan S1, saya buka S3 tapi ngak punya S1 tak buka lagi S3 kan begitu, akhirnya ada jurusan program studi Manajemen Pendidikan Islam sampai S2, S3

s1-nya gak ada, setelah itu pengganti sayalah nambah S1 “masak ada S2, S3, gak ada S1” saya begitu, jadi kalau itu saya anggap benar, saya teruskan, kalau gak benar saya stop, saya gak mau untuk apa melakukan sesuatu yang tidak rasional itu gak mau.”

HT : “ terlihat Bagaimana Prof memiliki prinsip sih ya Iya Prof gini Prof ee ketika Prof membuat tadi sebutannya Ma’had ya terus kan itu anti mainstream Iya kan berarti kan saat itu Prof harus berurusan dengan negara tuh, otomatis dong Menteri Agama representatifi negara gitu kan problemnya apa ?”

Prof : “waktu itu saya tahu sebetulnya antara perguruan tinggi yang ada di bawah ini dan kementerian agama. orang-orang kementerian agama itu sebetulnya gak paham, waktu itu tentang pendidikan ini gak paham karena itu saya tidak pernah minta petunjuk, tapi selalu saya.”

HT : “engak dipanggil juga”

Prof : “pernah dipanggil ketika itu saya mungkin Pak Menteri, Pak Dirjen waktu itu dapat informasi bahwa saya tidak menggunakan kurikulum departemen agama, saya dipanggil Pak Dirjen ke Jakarta beliau bilang “apa betul ada isu bahwa di Malang tidak menggunakan kurikulum Departemen Agama? “tak bilang iya”, “kok bisa ya perguran tinggi negeri gak pakai kurikulum departemen agama?” Ya bisa saya nyatanya juga bisa, tak buat sendiri tak bilang “itu kan bagaimana anda pemimpin perguruan tinggi negeri, “pemimpin perguruan tinggi negeri kok tidak taat dengan apa yang digariskan oleh pemerintah ?”, loh kan garisnya kan banyak waktu itu Pak Menteri ketika melantik saya kan memberi arahan supaya dicarikan terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kualitas, lah itulah yang saya pegang terobosan itu adalah merubah kurikulum, bilang terobosan itu berubah, Saya mengubah kurikulum agar maju seperti arahan pak menteri.

Itu tak bilang gitu kan, “tapi lalu bagaimana perguruan tinggi swasta kalau Negeri aja gak ikut ?” ya terserah, lalu maunya pak menteri gimana? katanya Pak Menteri “yang penting itu pokoknya harus ikut kan bisa dipadukan antara keinginan saya sebagai Menteri untuk meningkatkan kualitas dengan peraturan” Ya saya tanya ke Pak Menteri, di perguruan tinggi mana yang melaksanakan kurikulum yang kualitasnya persis yang diharapkan oleh pak menteri?  katanya “belum ada”, menurut saya gak akan ada Pak, saya bilang gitu.

Akhirnya lalu saya juga ndak ngikuti, Pak Menteri juga sudah mungkin “biarkan saja”, pernah suatu saat katanya ngomong “rektornya kayak begini gimana ngurusnya?”.  Tapi saya jalan terus, setelah itu kira-kira jarak 2 tahun, Pak menteri saya undang sama Pak Dirjen, keliling kampus.

Saya sudah ngomongi mahasiswa saya, Pak Menteri ini dulu pendidikannya di Saudi Arabia pernah jadi Konjen pernah jadi Dubes karena itu kamu jangan pakai bahasa Indonesia kamu pakai bahasa Arab, bilang gitu. Pak menteri kan keliling, anak anak Asalamualaikum, kaifa haluk, macam-macam.

Pak Menteri kan tertarik Iya pakai bahasa Arab, bertanya “kamu Jurusan apa ?  Kok bisa bahasa Arab, jurusan Syariah? bukan Pak saya jurusan Psikologi, gitu kan tanya lagi “Kamu jurusan apa, biologi Kok bisa bahasa Arab?” ya karena saya diajari 5 jam setiap hari disini, gitu kan pak menteri lalu ngomong kalau begini “Aku lebih suka jadi Rektor daripada jadi Menteri Agama” Pak Menteri itu tanya “kok bisa kayak begini, gimana dulu itu Pak Rektor?” tak bilang karena ndak ngikuti kurikulum Menteri Agama, kalau ngikuti kan gak pintar seperti itu gitu kan.

Ya Kalau diperkarakan mungkin saya juga salah gitu kan Tapi bagaimana apa daripada saya nungguin orang-orang yang tidak maju Lebih baik saya salah salah tapi maju, gitu pikiran saya toh niat saya bagus.”

HT : “Artinya sudah dipikirkan resiko-resikonya”

Prof : “Sudah saya pikirkan resikonya, kan juga ketika Perubahan status dari STAIN  menjadi Universitas itu jangan dikira gampang sekali, tidak itu sulitnya juga bukan main. untuk bisa menjadi UIN kan harus disetujui oleh menteri agama oleh menteri Pendidikan Nasional, waktu itu oleh Menpan oleh menteri keuangan oleh sekneg, untuk bisa menyatukan pihak-pihak yang berbeda-beda kayak gini kan bukan perkara gampang waktu itu, sehingga lalu lama.

Kadang-kadang kan sudah mau sukses lalu kabinetnya berubah kan begitu, woh itu prosesnya juga panjang ya ben, pernah saya itu didemo oleh mahasiswa, dikira saya itu lambat padahal sebetulnya yang menghambat itu bukan saya yang menghambat itu yang di pusat sana, karena itu daripada kamu semua rame-rame, sekian banyak mendemo saya, lebih baik kamu ke Jakarta sana, bagaimana caranya itu ? pesan kereta api, kereta api gerbongnya berapa? lima, kalau cukup lima, lima kalau kurang dan gak cukup lima, sepuluh (gerbong), nanti tak sewakan, kamu masuk gerbong kereta api, itu nanti datang ke Jakarta sana untuk unjuk rasa bahwa apa yang dikatakan rektormu itu benar, gitu kan akhirnya ke Jakarta.”

HT : “ Oke Prof, setahu saya nih Pesantren itu kan identik dengan tradisional ya, ketika bicara NU dan Muhammadiyah itu kan kalau saya ya melihatnya perbedaannya dari gaya dan caranya dan kondisi serta lain-lain nah eh saat ini pesantren yang notabene pengelolaannya tadi cukup rumit. Sebenarnya wujud Pesantren sesungguhnya atau Pesantren itu sama atau bisa disebut Pesantren kalau ada apa aja sih Prof ?”

Prof : “Ya disebut Pesantren itu kalau di situ ada kiainya, kiai yang kedua tentu harus ada santri, ada masjid untuk tempat ibadah, ada pondokan tempat santri, ada kitab yang dipelajari, lima itu satu kesatuan gak bisa dilihat satu-satu dan Kiai mengapa tumbuh Pesantren karena ada kiainya itu.

Tidak seperti sekolahan, kalau sekolahan kan bisa diprogram yang penting itu ada tanah, lalu ada biaya untuk membangun ruang-ruang kelas, kantor dan lain-lain itu lalu ada buku-buku yang dibeli, kan itu.

gurunya bisa diangkat ditarikan dari tempat lain, itu kan kalau sekolah, kalau Universitas, tapi kalau Pondok itu mula-mula ada kiai. itu dikenal yang mengerti agama, orang Saleh yang bisa menjalankan sesuatu dengan keyakinan agamanya, itu didatangilah orang untuk belajar disitu, anaknya, tetangga mula-mula, lalu dikenal kok pintar, kok bagus, ditiru, ditiru, ditiru, karena itulah lalu perkembangan Pesantren tidak seperti perkembangan sekolah.

Dulu Pesantren itu dianggap kumuh gitu kan, dianggap bangunannya itu ndak teratur, ya memang ndak teratur wong itu tumbuhnya itu disesuaikan dengan orang-orang yang datang kesitu, jumlah masyarakat, anak-anak masyarakat yang datang , yang itu juga tidak bisa diprediksi, tidak bisa seperti sekolahan itu misalnya tahun ini menerima 30, tahun depan terima 40, tidak kalau di pesantren kan gak begitu menerima berapa, menerima yang seperti yang datang berapa kan begitu, ya seperti itu lalu ciri khas Kiai itu kan ingin mengabdikan diri, untuk mendidik masyarakat.

Otomatis kan lalu tidak dikenal pesantren yang tradisional misalnya menolak murid calon santri kan gak ada, mereka kan (mendapat) berapa saja yang datang, apalagi dianggap mereka itu apa ingin belajar agama, kecuali Pesantren sekarang yang sudah ada sekolah-sekolah formalnya, seperti tsanawiah atau Aliah yang lalu pakai klasikal, pakai peraturan peraturan mengikuti pesantren yang membuka sekolah formal itu beda lagi, tapi kalau Pesantren Yang masih asli ya gak pernah itu seperti itu.”

HT : “ Oke berarti ketika tadi Prof bilang saya coba kutip bahasa Prof, sekolah umum itu ada biayanya dalam pembangunan ya, oke berarti kan di-“support” oleh pemerintah atau lembaga gitu katakanlah, terus Pesantren Mandiri Kenapa Mandiri karena bisa jadi dana dari kiai itu atau beberapa santri yang masuk ke pesantren itu, ketika hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan atau tercipta, lalu peran pemerintah terhadap Pesantren ini sebatas apa menurut Prof ?”

Prof : “Kalau akhir-akhir ini Pemerintah sudah memberikan, mengulurkan bantuannya, akhir-akhir ini Bos misalnya, untuk perbaikan kamar, kebersihan, asrama asrama misalnya, itu bisa seperti itu, tapi juga tidak semua pesantren pesantren mau untuk menerima bantuan pemerintah.

Ada loh pesantren-pesantren yang sampai sekarang itu tidak mau dibantu oleh pemerintah, seperti saya punya ee Pesantren namanya singa putih di Pandaan, itu kan saya setiap tanggal 1 tanggal 2 itu disuruh memberikan pengarahan-pengarahan di tempat itu.

dulu mula-mula pesantren singa putih itu Pesantren apa namanya Pesantren tradisional pesantren Salaf oke lalu kiainya datang ke saya apa mungkin didirikan lembaga pendidikan umum seperti Tsanawiyah Aliah, mungkin dirikan saja, bilang gitu kan itu itu untuk memberi membangun membangun apa namanya gedung-gedung fasilitas itu gak ada sama sekali bantuan pemerintah, kalau diberi dia juga gak mau, sampai hari ini kalau diberi dia juga gak mau, bahkan kalau ada pemerintah berkunjung dia yang ngasih uang, untuk uang transport paling tidak, dan itu hal biasa Pesantren seperti itu dan jumlahnya juga masih ada di mana-mana.”

HT : betul nah ketika Bos itu kan Bantuan Operasional Sekolah, terus pesantren dengan ruh mandirinya itu apakah lantas pemerintah bisa tanda petik mengintervensi ?

Prof : “Kalau kepada sekolah-sekolah yang umum tadi kan otomatis sekarang sudah dengan memberi Bos, tapi sekolah-sekolah yang pesantren-pesantren Salaf itu kalaupun toh pemerintah itu memberi belum tentu mau, ada saja saya contohkan pesantren yang saya diminta untuk menjadi pembinanya itu dia gak mau dibantu, ya minta berikan saja kepada yang lain, yang mau, tapi kami lebih suka yang mandiri seperti ini, itu sampai sekarang masih ada.”

 HT : “Iya berarti kan artinya pesantren itu adalah pendanaannya Mandiri, ya Prof dari masyarakat.”

 Prof : “Dari masyarakat dari usaha-usahanya Kiai, intinya kemandirian “

HT : “Terjadi sesuatu yang dikatakan Sebuah “mis” lah Ya terus gimana sih cara menjawab kondisi itu”

Prof : “ ya kalau sebetulnya waktu awal-awal saya memimpin kampus itu juga dipersoalkan oleh pemerintah waktu itu kenapa kok saya misalnya bangun apa “Business Center” di sana saya bisa membangun menambah bangunan gedung ya kan, dua masjid di kampus itu, masjid Ulul Albab yang satu masjid tarbiah, dua duanya itu saya cari sendiri uangnya.

Bahkan gedung-gedung yang bisa menampung 1.500 santri itu dulu saya juga cari sendiri tidak dari pemerintah, waktu itu juga lalu dipersoalkan gitu.

Juga ada rumah-rumah Kiai kalau gak salah ada delapan atau berapa itu ya ya kecil-kecilan tipe 70-an, itu saya juga carikan sendiri gitu, hanya lalu dipersoalkan Kenapa kok tidak di administrasi secara tertib, uang dari mana ? itu kan dari masyarakat datangnya, mendadak tidak pakai negosiasi-negosiasi itu kan hanya karena satu sisi kan pemerintah minta supaya ini dicatat, saya bilang waktu itu bahwa ini datangnya itu tidak bisa dirancang tapi datang sendiri, mereka iba.

Hanya memang waktu itu saya itu punya rumus sederhana saja ngajak orang itu sebetulnya sulit tapi mudah kalau diawali daripada yang mengajak itu, misalnya Ketika saya membangun gedung-gedung untuk asrama mahasiswa yang bisa menampung 1.500 itu saya jual mobil pribadi saya, untuk memulai bangun Asrama mahasiswa itu, nah dari situ mahasiswa baru, lalu wali murid saya kumpulkan bahwa Ayolah kita membuat lembaga pendidikan yang bermutu tidak sebagaimana biasa, kalau sebagaimana biasa hasilnya juga biasa-biasa, tapi kalau kita ingin yang luar biasa, untuk menjawab tantangan masa depan Maka tidak cukup kalau dengan biaya yang biasa-biasa ini, karena itu saya sebagai Rektor waktu itu pimpinan kampus ini saya juga tidak mengambil keuntungan dari lembaga ini, tapi saya jual mobil saya untuk memulai peletakan batu pertama ini.

Nah setiap bulan juga begitu saya juga kalau bapak-bapak bayar SPP aku juga bayar saya punya tunjangan Rektor itu gak akan saya bawa pulang berikan istri saya, semua saya masukkan di zakat infak sedekah agar ? agar nanti kalau kumpul bisa dipakai untuk bantu anak-anak yang kurang mampu untuk SPP misalnya untuk kos-kosan misalnya dari situ lalu Wali mahasiswa itu walaupun tahu bahwa itu perguruan tinggi negeri mereka lalu juga bantu.

Katakanlah misalnya satu contoh itu rumah kiai itu uangnya dari mana ?, dari saya sendiri, tapi maka lalu mereka juga katakan, aku tolong bisa nemani sampean pak rektor, nemani sampai kalau gak salah (jadi) delapan rumah, hanya problemnya itu ya begitu, saya berpikir pengembangan, logika saya adalah logika memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sebaik-baiknya dan saya bisa, tapi lalu pemerintah juga punya logika sendiri kan itu kan pemerintah itu bahwa anggaran itu adalah seperti ini pencairannya, seperti ini kalau lebih nanti dikembalikan, kan begitu, maka saya di sini punya tugas bagaimana memberikan pengertian kepada pemerintah itu tentu orang-orang yang bertugas misalnya di Departemen Agama di Jnspektorat Jenderal.”

HT : “Ya atas nama pendidikan bagaimanapun cara tanda petik Prof, yaitu sebuah kemandirian atas nama pendidikan, terus akhirnya tadi punya punya perspektif masing-masing, pemerintah seperti ini, dan Prof seperti ini, kalau boleh tahu saat itu titik temunya ada gak Prof ?"

Prof : “Rupanya pemerintah itu waktu itu kan mulai dari pak menteri, saya biasanya itu begini Jadi agar tidak terjadi fitnah maka saya punya pisau untuk silaturahmi, nah silaturahmi itu kan bisa bermacam-macam itu, kita ini kan punya logika misalnya mulai dari dulu Pak Quaish sihab, lalu pak Ti Tahir lalu Pak Malik lalu Pak Said Akil, Munawar lalu Pak Maftuh lalu Pak Surya Darma Ali, terakhir misalnya Pak Lukman tapi saya gak lama itu.

Saya kalau ke Jakarta mau, ini gak tahu apa boleh diomongkan di publik ya, saya kalau ke Jakarta makan di kantin, untuk apa saya makan di kantin, kan harus bayar dan di situ banyak orang walaupun bayarnya juga gak mahal, saya lebih baik ngomong sama sekretarisnya Pak Menteri, tolong Pak Menteri diberitahu bahwa saya ke Jakarta ini nanti nunut makan siang.

Pak Menteri kan senang gitu pak menteri kan gak ada orang yang seperti itu, saya makan siang pokoknya setiap ke Jakarta saya mesti sekretarisnya itu tahu Pak Imam berarti ikut makan siang, makan disitu kan (kantin) harus bayar, masa nambah satu aja gak boleh, berarti saya kan harus dekat dengan pak Menteri, dengan dekat itu lalu kan saya bisa ngomong-ngomong tentang isi hati saya.

Kalau saya bertemu dengan pak menteri kan biasanya dibatasi 5 menit saja ya, 10 menit kan begitu, tapi kalau ketemu waktu makan siang itu kan bisa bermenit-menit kan, lalu semua Pak Dirjen, Pak Sekjen itu kan juga tahu bahwa orang ini dekat sama Menteri, kalau usul apa-apa jangan dicoret kan gitu, Saya kan menggunakan berbagai macam cara yang saya bisa lakukan itu sehingga lalu kalauun toh ada perbedaan perbedaan itu lalu bisa hilang sendiri dengan kedekatan-kedekatan seperti itu, saya juga tidak mengganggu kekuasaan beliau kan?

HT : oke Prof kemudian ketika ini sudah terjadi gitu kan cerita-cerita tadi dan lain-lain, lebih baik tetap kepada prinsip Prof saat itu atau melihat halayak ramai?

Pro : kalau saya karena tanggung jawab saya itu saya tidak mau kalau memimpin itu seperti Seperti penjaga gardu, isatpam itu loh, itu kan hanya untuk keamanan, dan buka pintu buka buka portal saya gak mau jadi Rektor yang seperti itu, lebih baik gak usah jadi kalau saya saya harus membawa apa yang saya Pimpin itu mengalami kemajuan semaksimal mungkin.”

HT : “Walaupun beresiko? “

Prof : “Walaupun beresiko kalau saya begitu dan itu resisiko-resiko itu pernah saya alami kan gitu makanya itu kalau sampean dekat dengan Indramayu Panji Gumilang gitu makanya saya kan, mana pernah saya lalu merasa iba, kasihan Panji Gumilang, kan gak pernah saya, untuk apa dikasihani, wong itu memang sudah resiko orang melakukan perubahan,

itu resiko orang melakukan perubahan lalu sampai misalnya dihukum Apa itu saya kan juga gak kasihan dihukum itu. Resiko tatkala melakukan perubahan dan misalnya dihukum kan bukan dihukum karena melakukan kesalahan-kesalahan yang merugikan negara.

kan risiko itu kan karena tidak ngikuti peraturan kan itu saja sebetulnya, makanya itu kalau saya kan senyum-senyum wong saya dulu juga diberlakukan seperti itu, yang penting saya punya ide bagaimana untuk merubah masyarakat menjadikan lembaga yang saya Pimpin semakin maju, kan begitu dan para pengubah-pengubah masyarakat dimanapun kan juga mengalami risiko seperti itu, mana ada berjuang tanpa pengorbanan, namanya pejuang itu berjuang itu ya pasti ada pengorbanan, berkorban dan berjuang kan begitu kita menghadapi masyarakat yang sukan jumlahnya banyak itu termasuk juga pribadi-ibadi orang-orang yang ada di pemerintahan yang juga tidak ngerti itu. karena itu kalau saya ya kita lakukan perubahan kita sosialisasikan ada risiko, iya resiko dialami toh dengan resiko seperti itu bisa mendidik juga, jiwa pendidik itu yang penting kan mengedukasi masyarakat. tatkala membuat perubahan resikonya begini, tatkala harus diadili bagaimana menjadi orang yang diadili secara bagus kan ikhlas, tatkala dihukum kita bisa beri contoh kan itu seorang pejuang, itu kan tidak ada jiwa rasa pesimis, takut kan gak, itu kan kalau masih punya rasa takut ya Jangan jadi pejuang, jangan jadi pemimpin jadi yang ngikuti pemimpin, lah Pak Panji kan tidak seorang yang “kepengin” hanya menjadi pengikut tapi kan menjadi pemimpin, pemimpin itu kan berisiko, kalau saya prinsip saya seperti itu.”

HT :  “Oke pemimpin itu berisiko ya artinya pro kontra itu memang pasti ada?”

Prof : “Coba Nabi Muhammad itu kurang apa utusan Allah kan tapi lalu apa Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu lalu tidak ada risiko ? kan juga sampai ke mana itu yang dilempari batu itu ya kan, lalu sampai hijrah ke Madinah itu kan resikonya juga berat sekali kan seperti itu, ada contoh tapi kalau Rasulullah ketika di Taif itu kan sampai malaikat saja tidak sampai hati gitu kan sampai Gunung mau dirontokkan kepada masyarakat itu, tapi Rasulullah kan mengatakan jangan mereka itu karena gak ngerti, kalau mereka itu masih tetap saja melawan saya menghalang-halangi saya siapa tahu nanti anaknya, kalau anaknya tidak ikut saya siapa tahu cucu-cucunya atau keturunan-keturunannya tapi kan juga benar kan seperti itu sebetulnya.

Karena itu ketika saya lalu disalah-salahkan saya juga tidak merasa kecil hati tidak merasa lalu menyesal saya juga tidak karena mereka ndak ngerti kok kalau gak ngerti kan ditunggu dikasih edukasi, mengedukasi manusia itu kan memerlukan waktu yang lama bukan lalu ketika masyarakat menolak lalu kita mundur,  jangan kalau kita sudah memperjuangkan sesuatu itu karena kita punya prinsip kita punya pengetahuan kita punya tanggung jawab kan begitu, karena itu kalau menurut saya dilaksanakan saja dan saya tidak mau kalau disuruh menjadi pemimpin lalu pemimpin yang biasa-biasa saja yang tidak lakukan perubahan tidak mau karena prinsip untuk melakukan sebuah perubahan,

HT : “ Walaupun ketika sebuah perubahan itu harus berhadapan dengan orang yang mengatakan dirinya berpendidikan Seperti apa Prof menanggapinya ?”

Prof : “Kan orang berpendidikan itu betapa pun kan juga terbatas walaupun misalnya sudah S2 sudah S3 sudah Profesor apa lalu mengerti semua hal ?, kan juga tidak karena itu kalau menghadapi orang-orang seperti itu kita juga memberikan pemahaman tapi untuk memberi pemahaman itu juga belum tentu berhasil, kadang-kadang melawan, tapi itu kan sebuah tantangan bagi seorang pemimpin, karena itu kalau prinsip saya sebagai seorang pemimpin saya bagaimana yang saya pimpin itu maju apalagi pemimpin di Indonesia ini bangsa Indonesia kayak begini Ini yang kita sudah merdeka sekian lama kok lalu masyarakatnya misalnya seperti ini ya kalau saya harus ada ikhtiar-ikhtiar bagaimana untuk memajukan masyarakat dan Saya punya keyakinan kalau memajukan itu hanya mendasarkan peraturan maka ya tidak akan maju-maju, maju itu karena tidak tidak mengikuti aturan-aturan yang rapi kayak begini.

Makanya saya kan selalu ajak teman-teman saya, jangan kita itu suka (seperti) naik sepur kan gitu kereta api, kenapa ?, itu gak akan nyampai tepat waktu mesti terlambat 5 menit 10 menit kadang-kadang 1 jam  karena pakai rel, pakai peraturan, saya lebih suka pakai mobil sendiri yang semestinya kalau kereta api 5 jam bisa jadi 3 jam, (atau) 3 jam setengah karena apa karena kalau macet sini bisa Lewat sini, bisa lewat sini sampai cepat kan.”

HT : ” Kreativitas mungkin ya, oke kreativitas bukan melanggar tapi kreativitas ada kreativitas di atasnya, Iya sih Prof tadi bahwa ada kekurang pemahaman, ketidak pemahaman terhadap esensi dari pesantren itu sendiri gitu kan sehingga akhirnya masyarakat dan pemerintah atau pemerintah dan masyarakat itu tidak memahami bahwa Pesantren itu sebenarnya sudah dari dulu ada gitu.”

Prof : “Makanya itu pesantren ya pesantren !, jangan melihat pesantren dengan kacamata lain, pesantren apa jangan jangan bisa jadi kalau melihat Pesantren itu ya dengan bahasa pesantren dengan kacamata yang tepat digunakan untuk melihat Pesantren. Jangan melihat pesantren dengan menggunakan kacamata yang berbeda misalnya untuk melihat sekolah untuk melihat birokrasi ya kan?

nanti hasilnya akan tubrukkan dengan tradisi Pesantren ini, lihatlah pesantren dengan kacamata Pesantren Jangan melihat pesantren dengan kacamata yang lain kan begitu, saya contoh misalnya yang namanya Pesantren itu anggaran itu kan dari lembaganya sendiri, dicari oleh oleh kiainya pemimpin Pesantren, otomatis gaya-gayanya kan juga pengelolaan Pesantren kan gaya Pesantren, itulah yang saya maksud kacamata Pesantren.

kalau melihat pesantren dengan gaya-gaya melihat kampus, perguruan tinggi negeri, atau sekolah negeri kan gak kena ini, gitu kan Kalau di sekolah negeri kan otomatis semua aturan kan jelas banget ini kan kecuali negeri yang saya urus, penuh dengan kreativitas kayak begini.

Nah kalau ini lalu digunakan untuk melihat Pesantren otomatis Pesantren itu Salah semua, karena apa ? Karena yang dipakai melihat itu bukan melihat pakai kacamata Pesantren kan begitu, bagaimana Pesantren itu misalnya ada peraturan, katakanlah misalnya ke depan bahwa yang menjadi kiai itu sama dengan sekolah, kepala sekolah misalnya 4 tahun, 4 tahun diganti, nanti Pesantren juga begitu kiainya diganti, bagaimana ganti Kiai wong kiai itu pemilik Pesantren, itu pendiri gitu kan walaupun ada aturan bisa, walaupun kalau buat aturan ya aturan yang cocok dengan pesantren itu.

HT :”adaptif ya

Prof : “Iya adaptif,  mestinya jadi jangan lalu Pesantren ngikuti aturan ini, namanya aja sudah berbeda, namanya aja Pesantren kok disuruh ikuti lembaga pendikan formal yang dibangun pemerintah kan lain, makanya saya bahasa saya adalah, lihatanlah pesantren dengan cara melihat Pesantren.”

HT : “Oke Prof eh menurut Prof, definisi atau pakai bahasa Prof lah berkata di atas benda, pesantren yang sukses, yang memang mampu menjalankan tanda petik amanah dari masyarakat itu di lihat dari sisi apa saja ?”

Prof : “ya dilihat dari sisi sebetulnya misi Pesantren itu apa? kan itu kan misi Pesantren itu sebetulnya kan melayani masyarakat putra-putri masyarakat yang ingin belajar agama, tidak saja mendapatkan pengetahuan tetapi bagaimana itu menerapkannya kan begitu.

Hanya karena Pesantren itu diurus oleh kiai yang berbeda-beda begitu maka hasilnya pun juga berbeda-beda, ada pesantren yang arahnya itu untuk bagaimana hanya ngurus agama saja, kitab-kitabnya kitab-kitab kuning kan begitu, sehari-hari dia mengkaji kitab itu dan menghafalkan tentang itu, nanti jadi apa tidak tahu kan begitu, kan yang penting pokoknya hidup bisa berperan, peran apa saja gitu .

Tapi ada pesantren yang sebetulnya sudah mikir masyarakatnya, bahwa Pesantren ini hanya harus mewarnai masyarakatnya, misalnya saya lihat di Gondanglegi itu, dulu ada kiai yang menurut saya sangat dinamis, punya cara pandang terhadap masyarakat yang begitu luas, lalu juga wawasannya jauh ke depan, Sekarang orangnya sudah almarhum, Kiai Kosim Bukhori namanya , kenapa di pesantren itu kok dibuka SMP dan SMA ? jawabannya itu jelas sekali, dia katakan bahwa saya membuka SMP, SMA seperti ini saya tidak mau lulusan Pesantren itu bersaing untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, mesti kalah katanya, misalnya kepengin jadi Gubernur misalnya menjadi Anggota DPR Pusat misalnya gitu kan menjadi Menteri, menjadi tentara menjadi apa, akan kalah saing, maka saya ingin merebut kekuasaan-kekuasaan di tingkat desa, jadi lurah, dia bilang Sekuat apapun penguasa tingkat menengah ke atas itu kalau yang mimpin Desa itu adalah lulusan Pesantren maka tidak akan bisa menginterpresasi jauh ke dalam. Makanya saya punya program agar lulusan Pesantren ini nanti kelak menjadi kepala Desa agar bisa punya Kepala Desa maka harus punya ijazah SMP dan SMA agar bisa bisa mempin Desa.

Maka di sini saya ajari koperasi, saya ajari Pramuka saya ajari kepemimpinan tapi juga tidak meninggalkan kajian-kajian kepesantren kitab kuning kan menarik itu, dia mengatakan bahwa kalau kepala-kepala Desa itu dijabat oleh lulusan-lulusan pesantren yang tidak saja Pesantren tradisional tapi juga lulusan SMA di pesantren itu maka sebetulnya kepemimpinan Desa itu menjadi komplit dari sisi spiritualnya agamanya bagus tapi juga tidak kalah aspek-aspek yang menyangkut tentang kehidupan bermasyarakat.

Nah ada pesantren yang kayak begini, bahkan Pesantren itu saya lihat lebih luar biasa dia bisa melihat bahwa untuk menggerakkan masyarakat  dia sudah ajari santri-santrinya itu manakala di masyarakat itu ada ada tiga kekuatan, ya dia bilang ada tiga kekuatan yang dipersatukan tiga kekuatan itu adalah ulama umaro, agniia itu orang kaya, maka kiai itu membuat organisasi untuk menggerakkan masyarakat itu membangun kekuatan kekuatan untuk masyarakat dengan membuat ketiga kekuatan itu diikat dalam organisasi namanya Muad, Saya kira gak ada itu mungkin yang ahli-ahli pedesaannya belum sampai ke sana.

Muad itu adalah Musyawarah Ulama, Umaro, Agniia, Desa, ada organisasi ini maka orang itu semua yang semestinya harus zakat nanti kalau tidak zakat yang diingatkan kiainya yang mengingatkan itu adalah birokratnya lalu orang kayanya itu yang dia yang berzakat kan begitu sehingga kalau kekuatan ini terhimpun maka kehidupan itu menjadi luar biasa, dan nyatanya bagus ada Lubung ini menjelang puasa seperti ini misalnya orang-orang miskin itu didatangkan ke kantor zakat ini, dikasih setiap orang beras 8 kilo jadi kalau punya keluarga itu 5 orang maka 8 dikali 5, 40 kilo itu cukup untuk 1 bulan karena 1 bulan sudah ndak mikir beras, maka kiainya berhak, merasa berhak untuk ngajak tarawih gitu kan untuk ngajak macam-macam itu kegiatan keagamaan.

Sayur macam-macam kan bisa diambil di lingkungan, karena masyarakat pedesaan, ada pesantren yang seperti ini. Seperti yang saya katakan misalnya di Pandaan, Pesantren singa putih itu santri-santrinya itu tidak hanya anak-anak yang belajar mengaji Salaf itu kan, lalu yang formalnya ada Tsanawiyah ada Aliah belajar di situ tapi juga ada orang yang nakal-nakal yang preman-preman itu dibina, yang tato-tato itu dibina dan itu jumlahnya juga cukup banyak, itu nanti Bang Nasution bisa tak ajak ke situ, bagaimana kiai itu bisa menolong orang-orang yang menyimpang-menyimpang itu daripada kamu (begini) selamanya Kamu mau gak sebetulnya bangga gak kamu jadi kayak gitu ya tentu tidak Kiai, gimana kalau penghasilanmu sama tetapi pekerjaanmu tidak seperti itu, kan kalau kamu kan juga gak bisa mengatakan bahwa pekerjaanmu apa? Pereman, kan gak mungkin tapi kan wirausaha misalnya begitu, kalau kamu wirausaha kan bagus itu juga bisa banyak berhasil yang begitu-begitu itu jadi kiai itu sebetulnya itu ada kiai yang macam-macam kiai yang mungkin bergerak di bidang politik ada kiai yang advokatif ada pesantren yang khusus untuk urus agama yang macam-macam kayak gitu.

HT : “ oke Prof jelas banget loh sebenarnya apa yang Prof sampaikan, ketika berbicara Pesantren itu enggak satu varian, tapi bersinggungan dengan banyak kondisi.

Prof : “seperti satu contoh lagi di Tegal Weru Malang Timur itu kan ada pesantren yang santri-santrinya itu anak yatim dan anaknya orang miskin yang gak bayar, saya menjadi tahu itu karena ada di jemaah sini ini ternyata itu dia jadi pengurus di sana, jemaah yang di sini tugasnya itu cari beras, selama 3 bulan seperti saya ini kepleset lalu kakinya harus dioperasi, 3 bulan gak bisa mencari beras akhirnya datang ke saya bahwa di sana ada Pesantren santri 450 lalu, lalu sekian lama gak ada saya tugas cari beras cari donatur lalu karena sakit saya ini akhirnya berasnya kurang yang biasanya makan tiga kali sekarang menjadi dua kali, gitu kan saya ndak betah begitu lalu, ayo kalau gitu saya diantar, betul diantar kan Tegal Weru sana itu Pesantren itu itu memang membina anak-anak yatim yang jumlahnya gak kurang dari 450 orang dari mana itu (dananya) ya tidak dari pemerintah itu dari usaha sendiri . malah Waktu itu saya bilang apa tidak ada usaha yang dilakukan oleh anak-anak santri begini yang kita menghasilkan uang, uangnya untuk nambah beli beras, tak bilang gitu, “Oh iya pak dulu kepikiran usahanya pengolahan air”. lah sudah jadi pengolahan air ? mandek Kenapa? mandek karena uangnya kurang kurang berapa katanya kurang 125 juta, lalu saya bilang kalau tak lihatnya dulu ternyata betul itu mandek makrak. kurang 125 bilang. sudah teruskan siapa yang mengerjakan ini! nanti uangnya jangan minta kepada Pesantren minta sama saya, saya nyarikan bilang gitu.

Nah akhirnya yang masang itu saya panggil ke sini, bilang sampean yang masang Ya? sampean itu kok punya usaha ini ? “ya Pak dulu saya murid Bapak (Prof Imam) di IAIN, hanya saya ndak lulus kemudian saya usaha ini” oh gini kalau gitu Tolong jangan cari untung di panti ini coba ditekan seberapa yang penting beli bahan untuk ongkos buruhnya kerjanya nanti yang bayari saya, bilang katanya besok Senin itu sudah selesai gitu kan, katanya akan dites hasilnya seperti itu.

Jadi ada pesantren yang kayak begini loh yang bervariasi yang hanya sekedar, ini kan termasuk yang penting bisa hidup bisa ngaji, ada pesantren yang seperti yang dikatakan tadi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin tingkat Desa kan itu kan, ada lagi yang pesantren-pesantren yang ngerawat orang-orang nakal agar menjadi sembuh kan begitu.”

HT : “Oke ya, berarti artinya Prof, ketika ruh Pesantren itu bergerak, maka hasilnya boleh saya katakan beda ya dengan lembaga pendidikan umumnya, nah ketika lembaga pendidikan Pesantren itu memiliki tujuan yang mulia objektif yang sangat jelas terus tiba-tiba ada pihak lain yang yang ingin mengetahui secara lebih dalam bahkan lebih Prof gimana menjawabnya.”

Prof : “Kalau yang ingin tahu itu punya kewenangan, ya silakan aja, tapi kalau orang-orang yang misalnya tidak punya kewenangan untuk melihat untuk apa dilayani kan begitu, tapi memang biasanya pesantren-pesantren itu adaptif dengan masyarakat dengan tidak membikin jarak, kalau ada jarak maka dicarikan solusi bagaimana lalu masyarakat itu merasa memperoleh keuntungan dari keberadaan Pesantren itu ya Katakanlah misalnya seperti pesantren-pesantren besar itu lalu kan di daerah-daerah sekitarnya bisa membuka apa itu namanya ya toko-toko warung-warung, seperti itu kan sehingga Pesantren itu di didukung oleh si masyarakatnya karena masyarakatnya itu merasa mendapatkan keuntungan seperti misalnya kampus-kampus ya, misalnya di sini ada Brawijaya ada UIN ada Unisma ada UMM kan itu Iya maka mereka akan masyarakat itu kan mendapatkan keuntungan, sewa- menyewa kamarnya Iya lalu usaha-usaha mereka juga jadi laku kan itu kan cuci-cuci, londre-londrinya kan juga jadi lagaku sehingga keberadaan ini menjadi miliknya masyarakat kan begitu.”

HT : “dan itu skala ya Prof, tergantung skalanya, ketika memang skalanya dia menengah ya berarti artinya mungkin lebih kepada UMKM Kalau memang skalanya mandiri lebih kepada industri yang besar maka akan mengajak masyarakat industri yang besar dan itu terjadi ketika pesantren Al Zaytun sudah melakukan beberapa kali diskusilah, diskusi dan podcast Pak Syaykh Panji Gumilang yang berbicara tentang, bahkan kami mengetahui dari eksponen-eksponen di Mahad Al Zaytun tentang kerja sama berskala besar dengan para penduduk sekitar, kerja sama di pertanian, nah berarti kan Pesantren itu sangat membawa manfaat, dampak positif ya setuju ya Prof ? betul sesuai dengan apa yang tadi Prof sampaikan sebuah kemandirian, belum tentu juga pendidikan umum bisa berdampak positif seperti itu, betul ya?

Prof : “ Masyarakat itu kan begini sebetulnya, kita ini seringkali ngajak maju, maju, maju, maju, kan begitu, sebenarnya kemajuan itu diharapkan oleh banyak orang, tapi juga banyak orang yang ketika maju itu dia juga dapat untung, kalau ada institusi yang maju dia dapat untung, gak dapat untung apalagi rugi katakanlah misalnya dia juga gak setuju, jadi sebetulnya bukan kemajuan titik, tapi kemajuan yang memberikan keuntungan bagi manusia-manusia yang ada di sekitarnya kan betapa beratnya kita harus menanggung memajukan ini (pesantren), selain itu juga memajukan yang lain-lain, seperti itu makanya memang kebersamaan itu lalu jadi penting gitu kan, jangan sampai manusia itu begini, kita itu kan ngurus manusia, problemnya itu manusia itu kan disebut dengan istilah Insan tadi saya katakan ya disebut dengan Albasar, disebut Annas disebut Bani Adam yang semuanya itu sebutan-sebutan itu sebetulnya berkonotasi negatif. Katakanlah misalnya saya katakan kalau disebut Insan Innal insana lirobbihi lqanut, Insan itu kepada Tuhannya saja ingkar, Innal insana layatho melampaui batas khuliua selalu mengeluh, doluman jahula lafiusrin, dhoifah kafuro jidala suka berdebat kayak begini inilah manusia-manusia yang di mana-mana seperti itu, yang tidak pernah bisa hilang sifat-sifat itu melekat karena bernama manusia.

Maka kalau mengharapkan manusia tidak bersifat manusia, susah! maka caranya adalah bagaimana manusia ini, dia tidak terlalu, dia juga dibikin mendapatkan keuntungan dari keberadaan kita, kan tentu kita tidak bisa memenuhi secara keseluruhan Tetapi kan yang namanya masyarakat itu kan ada lembaga-lembaga di sekitarnya itu yang mewakili masyarakatnya jadi memang untuk melakukan perubahan di tengah-tengah manusia gitu kan itu susah dan kita juga telah diajari di dalam kitab suci al-qur'an itu memang manusia itu punya sifat-sifat seperti itu, ya itulah lalu ketika kita melakukan perubahan-perubahan sudah sebaik apapun yang namanya manusia itu kan “kaburo” itu kan selalu ingkar kan gitu kan.

Maka Lalu bagaimana memenej agar manusia-manusia ini kalaupun mengganggu tidak secara fatal Kalau menurut saya pengalaman saya seperti itu.”

HT : “ Ya kembali ke pengalaman Prof pada saat Prof mendapatkan problem ya Prof saat itu apa ya mempertahankan wilayah privatnya Prof sebagai pengelola Pesantren, itu sejauh mana ada pihak yang ingin mengintervensi, sejauh mana Prof melindungi tanda petik wilayah privatnya Prof ?”

Prof : “ Kalau waktu itu saya akan mengelola pesantren di kampus, karena itu Eh saya Tentu saya mesti menjelaskan ya tentang pesantren yang saya Pimpin ini, tetapi saya juga memberikan penjelasan kepada  warga kampus Saya, bahkan juga mahasiswa saya, untuk menjadi juru bicara, Jadi bukan saya sendiri bisa jadi yang memberikan penjelasan adalah staf-staf yang ada di kanan kiri saya ini sehingga lalu dengan begitu masyarakat itu walaupun tidak jelas 100% dia mendapatkan informasi-informasi.

Kalau yang ngomong itu saya mungkin malah gak dianggap itu tidak benar kan gitu kan, untuk kepentingan sayasendiri, tapi kalau yang ngomong itu banyak orang samping-samping ini kan menjadi jelas gitu kan, kalau orang Jawa Itu pagar hidup yang bisa dipakai ambil untuk sayuran, macam macam itu, tapi ya begitu kalau saya.

Tapi walaupun begitu tidak berarti bahwa itu sudah cukup, kadang-kadang juga berisiko contohnya misalnya saya dituduh misalnya nyeleweng di bidang ini, nyeleweng di bidang ini, padahal saya sama sekali tidak,  tapi akhirnya lalu saya dibela kan pernah itu saya diajukan ke Kejaksaan sana, tapi karena Mahasiswa itu ngerti sama saya, maka ketika saya memenuhi panggilan Kejaksaan Mahasiswa saya Dosen-dosen saya semua ikut, ribuan bahkan ketika saya waktu itu mau diperiksa kembali tidak sama mahasiswa saya (membelanya), jemaah yang sering saya kasih pengajian ikut sampai kalau gak salah lebih dari 60.000 coba Kenapa ? karena saya membangun basis ini bahwa ini adalah dia merasa ikut merasa memiliki kan begitu sebetulnya begitu.

HT : “Oke mereka ikut memiliki di situ, Prof terakhir Prof, 20 Maret 2024 kemarin Prof. Panji Gumilang divonis 1 tahun atas penistaan agama, Prof kan sempat mengikuti kita sudah podcast “Face to Face “ begini dua kali ya, ada tanggapan apa Prof ketika seorang Kiai pendidik punya pesantren terbesar se Asia Tenggara bahkan saya mengutip disalah satu artikel “apa jadinya ketika seorang pendidik Pesantren memiliki Pesantren besar, Kiai divonis hukuman 1 tahun penjara” apa yang akan terjadi menurut kacamata Prof sebagai seorang pendidik ?”

Prof : “ saya seperti awal dulu ya, Bang Nasution menanyakan sama saya itu, gak apa-apa itu resiko perjuangan, dan yang saya harapkan kan si Syaykh Panji Gumilang kan tegar, itu kan sebetulnya bagian daripada dakwah tersendiri makanya saya kan tanya itu apakah jemaah Al Zaytun itu pada bubar setelah Panji Gumilang ditangkap? katanya tidak, kalau tidak berarti orang dekatnya kan mengatakan bahwa itu  (Syaykh) benar, kalau itu mengatakan itu benar kenapa lalu kita mundur, yang gak apa-apa to siapapun yang berjuang mengenalkan ide-idenya yang cemerlang kan di dunia ini mesti mengalami seperti itu, bagi saya itu sebuah resiko wong Hamka saja dulu juga dihukum, kok Presiden Soekarno juga dipenjara, kan Presiden Soekarno dulu kan juga dipenjara, yang tidak boleh itu dipenjara karena mencuri karena memfitnah orang, membunuh orang karena mengambil hak milik orang, itu kita mesti salah tapi kalau itu konsep-konsep untuk pembaharuan gagasan-gasan yang bagus untuk masyarakat ke depan itu bagian daripada perjuangan.

Kalau menurut saya tidak pernah lalu kemudian merasa menyesal gitu kan, umpama begini saya tidak lakukan kalau saya tetap saja saya lakukan apapun resikonya kalau saya sudah yakin bahwa itu betul dan saya lihat itu Syaykh Panji Gumilang tegar kok waktu itu, dia bisa membuat pledoi itu panjang, tak ikuti itu kan sebagai pelajaran, itu juga pendidikan loh sebetulnya bagaimana orang kalau dipersalahkan orang, bagaimana cara membela diri, ya toh kan harus ngikuti suara hatinya, logikanya juga harus main itu data-datanya juga disiapkan, kan begitu ya itu, jangan dikira yang sulit itu Syaykh Panji Gummilang (saja), yang ngadili pun mungkin juga susah.

HT : “ Oke, sampai batuk saya Prof, yang mengadili itu juga pasti kesulitan Ya ?!, Alhamdulillah Ini loh yang yang kami inginkan lognewsTV, ketemu Prof tuh banyak “Insight” banyak pelajaran yang kita ambil gitu kan dan lognewsTV hari ini tidak lain dan tidak bukan hanya ingin memberikan literasi kepada masyarakat dari sisi yang beda, kita juga boleh dong memberikan informasi memberikan literasi dari orang-orang yang memang sudah punya “self esteam” di atas gitu ya, terima kasih Prof sekali lagi atas bincang-bincangnya, Alhamdulillah saya akan ke Malang lagi dan akan terus ke Malang mudah-mudahan Prof berkenan untuk bersahabat dengan lognewsTV, sekali lagi Prof selamat menjalankan saum di bulan Ramadan.”

Prof : “Iya yang penting kita itu jangan nyalahkan siapa-siapa gitu, bahwa ya memang kalau pemerintah yang melakukan tugasnya seperti itu, kan polisi Kejaksaan lalu kehakiman kan melakukan tugas, tentu berdasarkan data-data itu, tapi dengan menggunakan perspektif dia kan begitu!, Pak Panji Gumilang juga begitu, jangan-jangan apa yang digagas oleh yang dipikirkan Syaykh Panji itu belum dipahami oleh banyak orang kan begitu, kan bisa jadi begitu.”

HT : “ Betul itu “cluenya” ya itu “cluenya” belum bisa dipahami oleh orang lain dan semoga Prof Panji Gumilang tidak berhenti sampai di situ”

Prof : “ Oh tidak berhenti, tidak boleh sebagai pejuang tidak boleh dan apapun yang dilakukan apapun resikonya itu bernilai edukasi sebetulnya, mengedukasi masyarakat.”

(Amr-untuk Indonesia)