Saturday, 06 December 2025

Membangun Surga dalam Pernikahan: Kisah Cinta yang Bermula dari PKBM Al Zaytun

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id - Pernikahan dua insan, Syahrul dan Sofara, menjadi momen syukuran akbar bagi keluarga besar PKBM Al Zaytun, sekaligus pengingat tentang betapa sakralnya sebuah janji suci.

Sabtu, 9 Agustus 2025, menjadi hari yang tak terlupakan bagi keluarga besar Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al Zaytun. Panggung pelaminan menjadi saksi bisu bersatunya dua hati: Syahrul Mubarok dan Sofara Fitriani. Kebahagiaan begitu terasa, sebab pernikahan ini bukan sekadar menyatukan dua insan, melainkan juga mengikat dua keluarga yang sama-sama berakar dari PKBM Al Zaytun. Kedua orang tua mempelai adalah alumni, sementara yang bertindak sebagai juru bicara penyerahan dan penerimaan pengantin—Joko Sairan, SH dan Susanto, SH—juga merupakan alumni dan tutor. Bahkan panitia penyelenggara pun mayoritas diisi oleh alumni dan warga belajar. "Ini serasa syukuran PKBM Al Zaytun," ujar Dr. Ali Aminulloh, M.Pd.I ME, Kepala PKBM Al Zaytun, dalam sambutannya.

IMG 20250809 WA0022

Ustadz Ali membuka nasihatnya dengan pantun yang renyah dan penuh makna, menyemangati kedua mempelai. Namun, pesan utamanya adalah tentang kesakralan janji suci ini. Ia mengingatkan bahwa akad pernikahan bukanlah perjanjian biasa, melainkan mitsaqan ghalidza, sebuah perjanjian yang sangat agung. Istilah ini hanya disebut tiga kali dalam Al-Qur'an: terkait pernikahan, perjanjian antara Allah dengan Bani Israil, dan perjanjian kokoh antara Allah dengan para nabi. Sebuah perbandingan yang tegas, menempatkan pernikahan sejajar dengan janji suci para rasul.

Mengurai Akar Masalah: Pentingnya Memahami Bahasa Cinta

Di tengah nasihatnya, Ustadz Ali menyoroti sebuah realitas pahit. Berdasarkan data BPS tahun 2024, dari 1.478.692 pernikahan, 394.921 di antaranya berujung pada perceraian. Angka yang fantastis, setara 26,6%. Penyebab terbesarnya, sebesar 64%, adalah ketidakharmonisan yang berakar dari salah paham. Pasangan merasa tidak dicintai karena ekspresi cinta yang mereka harapkan tidak muncul.

Di sinilah Ustadz Ali menekankan pentingnya memahami Lima Bahasa Cinta yang dipopulerkan oleh Gary Chapman. Ia menjelaskan bahwa setiap orang memiliki cara unik untuk mengekspresikan dan menerima cinta, dan kegagalan memahami ini bisa menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Kelima bahasa itu adalah: Word of Affirmation (kata-kata pujian), Quality Time (kebersamaan yang berkualitas), Act of Service (tindakan pelayanan), Receiving Gifts (menerima hadiah), dan Physical Touch (sentuhan fisik). Memahami bahasa cinta pasangan adalah kunci untuk menjaga mawaddah, cinta yang bersemi dari keindahan yang nampak.

IMG 20250809 WA0020

Sakinah: Puncak Kebahagiaan dalam Pernikahan

Pernikahan, Ustadz Ali melanjutkan, adalah tanda kekuasaan Allah untuk mencapai sakinah, ketenteraman, kedamaian, dan ketenangan. Sakinah ini dibangun di atas dua pilar utama: mawaddah dan rahmah. Jika mawaddah adalah cinta yang perlu diekspresikan oleh kedua belah pihak, maka rahmah adalah kasih sayang yang tulus dari satu pihak kepada pasangannya, apa pun kondisinya.

Rahmah mengajarkan kita untuk mengasihi pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia adalah sikap toleran yang menerima, bukan yang menuntut untuk mengubah. Ustadz Ali berpesan agar kekurangan pasangan jangan pernah dijadikan bahan gosip, apalagi diposting di media sosial. Sebaliknya, kekurangan itu adalah ladang ibadah. Dengan sikap rahmah, kita memperlakukan kekurangan pasangan dengan kasih sayang, bukan dengan kebencian.

Ustadz Ali menutup nasihatnya dengan sebuah pantun penutup yang menginspirasi:

Seekor itik hidup sebatangkara,

Karena kasihan, kubawa ke rumah.

Kita berdoa untuk Syahrul Sofara,

Semoga sakinah mawaddah warahmah.

Epilog: Mawaddah dan Warahmah jalan menuju Sakinah.

Pernikahan adalah janji suci, sebuah mitsaqan ghalidza, yang bukan sekadar merayakan cinta dua insan, melainkan juga amanah untuk membangun surga kecil di dunia. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan pemahaman. Kisah Syahrul dan Sofara adalah pengingat bagi kita semua, bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan kesempurnaan, melainkan tentang belajar memahami, melayani, dan menerima kekurangan pasangan dengan hati lapang. Karena sesungguhnya, dalam setiap kekurangan ada rahmat, dan dalam setiap ikhtiar untuk memahami, ada jalan menuju sakinah, mawaddah, dan rahmah yang abadi.