Oleh : Ali Aminulloh
lognews.co.id - Sebelum secara resmi berdiri, Politeknik Tanah AIR telah disiapkan visi fundamental dan filosofis oleh Syaykh Al-Zaytun, yang tergambar pada lagu Mars dan Hymne Politeknik. Kedua lagu ini tidak sekadar menjadi atribut seremonial, tetapi merupakan Deklarasi Visi yang jauh ke depan. Lagu Hymne khususnya, dirancang sebagai Manifesto Filosofis yang berfungsi untuk menanamkan Kesadaran dan Etika Sosial sebagai fondasi bagi setiap lulusan dan seluruh sivitas akademika kampus. Hymne ini menjadi kompas moral dan spiritual yang menegaskan bahwa keahlian teknis harus berakar pada kemanusiaan sejati, sehingga setiap langkah pembangunan di Indonesia Raya berbasis pada hati yang jernih.
Adapun lirik Hymne Politeknik Tanah AIR :
Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan
Dalam diam bumi bicara
Tentang luka yang tak disapa
Manusia berjalan tanpa arah
Membawa bayang, lupa cahaya
Kutanam benih di tanah jiwa
Air mata yang tak sia-sia
Kesadaran tumbuhnya perlahan
Menembus gelap menuju harapan
Pohon kesadaran menjulang tinggi
Berakar kuat di nurani sejati
Cabangnya peluk semesta yang luka
Daunnya rimbun buahnya cinta
Reff:
Tak perlu bendera atau suara
Cukup langkah kecil yang bermakna
Kemanusiaan bukan seruan semata
Ia hidup dalam tindakan nyata
Menanam kesadaran
Menumbuhkan kemanusiaan
Dari hati yang jernih dan terbuka
Lahir, dunia yang saling menjaga
Lahir, dunia yang saling menjaga …
Analisis Narasi Hymne Politeknik Tanah AIR
1. Perpektif Filosofis: Dari Eksistensialisme menuju Nurani Sejati
Secara filosofis, hymne ini membuka dengan penggambaran kondisi manusia yang terasing dan mengalami krisis eksistensi, selaras dengan pemikiran Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Baris "Dalam diam bumi bicara / Tentang luka yang tak disapa / Manusia berjalan tanpa arah / Membawa bayang, lupa cahaya" secara kuat menyiratkan kondisi absurditas modern, di mana manusia hidup dalam keberadaan (bayang) tanpa menyentuh esensinya (cahaya). Bumi yang diam namun terluka menjadi saksi bisu atas ketidakpedulian ini.
Filosofi kemudian beralih ke solusi melalui Fenomenologi Edmund Husserl dan konsep kesadaran (Consciousness). Penanaman "benih di tanah jiwa" adalah proses internalisasi dan pencerahan batin, di mana "air mata yang tak sia-sia" melambangkan penempaan dan pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kesadaran otentik. Proses ini, yang digambarkan "tumbuhnya perlahan," adalah perjalanan batin yang menembus kegelapan ketidaktahuan menuju harapan. Puncaknya, penggambaran "Pohon kesadaran" adalah arketipe universal yang menghubungkan eksistensi (akar kuat di nurani sejati) dengan universalitas etika ("Cabangnya peluk semesta yang luka"), menegaskan bahwa kesadaran adalah fondasi bagi etika dan cinta kasih sebagai buah tertinggi.
2. Perspektif Sastra Budaya: Simbolisme Alam dan Etos Laku
Dari perspektif sastra budaya, hymne ini kaya akan simbolisme alam yang mendalam, mengingatkan pada tradisi filosofi Nusantara yang melihat alam sebagai sumber kearifan. Penggunaan "benih," "tanah jiwa," dan "pohon" menciptakan sebuah metafora agraris yang menekankan pertumbuhan organik, kesabaran, dan keterhubungan antara alam spiritual dan fisik. Metafora ini kontras dengan kecepatan dunia modern, menyuarakan kembali etos Sangkan Paraning Dumadi—asal dan tujuan hidup—yang berakar pada proses dan tempat.
Paling signifikan, bagian Reff mengandung anti-retorika yang tajam: "Tak perlu bendera atau suara / Cukup langkah kecil yang bermakna / Kemanusiaan bukan seruan semata / Ia hidup dalam tindakan nyata." Ungkapan ini merefleksikan Etos Timur yang mengutamakan laku (tindakan) dan aksi otentik di atas formalisme atau verbalisme kosong. Penolakan terhadap "bendera atau suara" menegaskan visi kultural yang menghargai ketulusan dan inner work (kerja batin) sebagai prasyarat bagi perubahan sosial sejati, sejalan dengan visi Syaykh Al-Zaytun yang selalu menekankan pembangunan nyata sebagai manifestasi iman dan ilmu.
3. Perspektif Pendidikan: Dari Transfer Ilmu ke Pembebasan Humanis
Dalam konteks pendidikan, hymne ini mentransformasi makna politeknik dari sekadar lembaga keahlian teknis menjadi institusi pendidikan humanis-transformatif. Slogan "Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan" secara langsung berhubungan dengan konsep Pendidikan Pembebasan (Conscientização) yang dicetuskan oleh Paulo Freire. Freire berpendapat bahwa pendidikan sejati adalah proses di mana individu mencapai kesadaran kritis tentang realitas sosial mereka dan menjadi subjek, bukan objek, sejarah.
Visi politeknik dalam lagu ini adalah integrasi keahlian dengan nurani. Keahlian teknis (yang memungkinkan cabang pohon memeluk semesta) harus "Berakar kuat di nurani sejati." Ini berarti kurikulum harus menumbuhkan Kecerdasan Spiritual-Emosional (SQ/EQ) sebagai fondasi Kecerdasan Intelektual (IQ). Tujuan akhirnya selaras dengan pemikiran John Dewey dalam Pragmatisme, di mana pendidikan harus termanifestasi dalam tindakan nyata dan pembangunan yang berguna. Lulusan didorong untuk menciptakan "dunia yang saling menjaga," menunjukkan bahwa keterampilan teknis harus diarahkan untuk mewujudkan tanggung jawab sosial.
4. Perspektif Sosial: Etika Global dan Komunitarianisme
Secara sosial, lagu ini menawarkan sebuah seruan etika global yang melampaui sekat-sekat primordial. Penekanan pada Kemanusiaan sebagai nilai tertinggi menunjukkan adanya komitmen terhadap humanisme universal, sebuah prinsip yang relevan di tengah konflik identitas kontemporer. Kemanusiaan di sini diartikan bukan sebagai ideologi pasif, tetapi sebagai Etika Tindakan Sosial.
Lirik "Ia hidup dalam tindakan nyata" menggemakan etos kerja dan pembangunan yang bertanggung jawab. Ini sejalan dengan konsep Etika Tanggung Jawab (Responsibility Ethics), di mana individu dipanggil untuk menanggapi (merawat) "semesta yang luka." Pada akhirnya, visi sosial dari hymne ini bersifat komunitarian, yang bercita-cita melahirkan "dunia yang saling menjaga," sebuah masyarakat yang dibangun dari hati yang jernih dan terbuka. Hal ini sangat memperkuat visi pendidikan Syaykh Al-Zaytun yang menargetkan pembangunan karakter yang mandiri, beretika, dan memiliki kontribusi nyata terhadap persaudaraan global dan pembangunan Indonesia secara holistik.
Epilog: Hymne Manifestasi dari Visi Pendidikan Al-Zaytun
Hymne Politeknik Tannah Air ini pada akhirnya bukanlah sekadar rangkaian lirik puitis yang dinyanyikan, melainkan sebuah Manifes Pendidikan Transformatif yang merangkum visi fundamental tentang pembangunan manusia dan bangsa. Liriknya merumuskan sebuah perjalanan dialektis: dari krisis eksistensi (manusia yang berjalan tanpa arah) menuju pencerahan etis (pohon kesadaran yang berbuah cinta).
Inti refleksi dari hymne ini adalah penegasan kembali peran sejati pendidikan tinggi kejuruan. Politeknik Tannah Air tidak hanya bertugas mencetak tenaga kerja terampil, tetapi juga menanamkan Kesadaran Kritis yang mampu mengeliminasi "luka yang tak disapa" di bumi. Sebagaimana Dewey menekankan pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman dan Freire melihatnya sebagai pembebasan, hymne ini menempatkan keahlian (cabang pohon) harus berakar pada spiritualitas dan etika (nurani sejati).
Visi Syaykh Al-Zaytun tercermin jelas dalam penolakan terhadap formalitas ("Tak perlu bendera atau suara") dan penekanan pada aksi otentik ("hidup dalam tindakan nyata"). Ini adalah panggilan untuk melahirkan generasi yang pragmatis dan spiritual sekaligus—generasi yang ilmunya terwujud dalam langkah kecil yang bermakna dan berujung pada penciptaan "dunia yang saling menjaga."
Hymne ini menjadi cermin bahwa visi pembangunan di Al-Zaytun bersifat integral, di mana pembangunan fisik dan teknologi harus didahului oleh pembangunan jiwa. Ketika Politeknik mampu menanamkan benih kesadaran, maka ia telah mewujudkan esensi dari pendidikan yang membebaskan: melahirkan individu yang tidak hanya mencari cahaya bagi dirinya sendiri, tetapi juga merangkul semesta yang luka dengan buah kebijaksanaan dan cinta. Dengan demikian, lagu ini menjadi Blueprint Filosofis yang menguatkan, mempertajam, dan memberikan nilai suci pada setiap langkah dan kebijakan pendidikan yang diambil.


