PEMILU
Friday, 04 October 2024

MEGAWATI DAN SPRITUALITAS PILPRES 2024

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan 

lognews.co.id - Inilah untuk pertama kalinya pidato politik Megawati ketua umum PDI Perjuangan dalam HUT PDI Perjuangan ke 51 beliau menyebutnya "pidato rohani". 

Sarat makna dan pesan "kenabian" bahwa "kebenaran akan selalu menang". Beliau banyak mengutip khasanah "spritualitas" agama Islam, Kristen, Hindu , Budha dan nilai luhur kearifan lokal.

Dalam perspektif Max Weber, sosiolog politik modern apa yang disampaikan Megawati dalam pidato HUT PDIP ke 51 di atas disebutnya politik "rasionalitas substantif" bahwa politik dihayati sebagai pelaksanan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme secara manifes.

Nilai nilai substansi politik dan etika tidak boleh direduksi dan dimarjinalkan sebagai alat maksimalisasi untuk memperoleh kekuasaan dengan "segala cara" dan sumpah serapah "etik etik endasmu" secara tak beradab.

Dalam konteks itulah penulis meletakkan Megawati - setelah penulis menyimak berulang ulang pidato tersebut - lebih dari sekedar ketua umum partai melainkan seorang "guru bangsa" dalam membaca reflektif dinamika politik kekinian dalam konteks pilpres 2024.

Sebagai politisi "senior", berpengalaman "spritual" akan pahit, getir dan kesabaran tinggi menghadapi tekanan intimidatif rejim otoritarian Orde Baru Megawati memiliki "hak moral" untuk mengingatkan kita semua bahwa kontestasi pilpres 2024 bukan ajang para elite untuk akumulasi kekuasaan secara "berlebihan" dan "tak terbatas".

Pilpres 2024 dalam konstruksi "pidato rohani" Megawati di atas bukan sekedar mekanisme teknis prosedural tentang "pemilihan" melainkan cara rakyat untuk mengingatkan penguasa bahwa kekuasaan tidak langgeng, tidak boleh dibiarkan dikelola semaunya baik melalui rekayasa hukum maupun pola represif dan intimidatif.

Itulah prinsip negara demokrasi harus dijunjung oleh para pelaku politik. Rakyat sang "pemilik kedaulatan" berhak menentukan pilihannya secara langsung umum bebas dan rahasia (luber) dalam lima tahun sekali. Prinsip "Vox populi Vox die", suara rakyat suara tuhan meletakkan rakyat secara bebas tanpa intimidasi negara dalam menentukan pilihan politik.

Sejarah peradaban kekuasaan politik misalnya musnahnya bangsa 'Ad , "Tsamud" dan tersungkurnya Fir'un Q.S . Al Fajr 7) telah mengajarkan kita bahwa nafsu politik "at takastur"(berlebih lebihan) dan "mengakali" kekuasaan untuk merawat kepentingan kekuasaannya sendiri tanpa moralitas etik hanyalah menggali lubang "jatuh terhina" se hina hina nya ("asfala safilin")

Pun berkali kali sejarah politik modern memberi kesaksian betapa banyak penguasa yang dulu dipuja puja dan di back up kekuatan "beton politik" lalu dengan mudah tersungkur dihujat rakyatnya sendiri justru karena alpa membatasi diri dari kecenderungan politik "At takastur" atau berlebih lebihan.

Inilah spritualitas pilpres 2024 dalam perspektif pidato "rohani" Megawati dalam HUT ke 51 PDI Perjuangan di atas hendaknya dijaga dan dirawat bersama agar pilpres 2024 tidak sekedar ritual pemilu rutin lima tahunan "sah" secara legal formalistik tapi juga kokoh secara etik dan moral serta legitimated dalam suasana kebatinan publik

Sayangnya terlalu sering kita saksikan fakta dalam pilpres 2024 para pemuka agama dan kaum cendekiawan justru "tergoda" menjadi sponsor yang melegitimasi ambruknya moral dan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ambyaaaar !!!