PEMILU
Saturday, 28 September 2024

CAK IMIN DAN HARI SANTRI NASIONAL

User Rating: 1 / 5

Star ActiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

 

Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) dalam Keputusan Presiden (Keppes) no 22 tahun 2015 tentu perjuangan "banyak pihak" tetapi melupakan peran politik Cak Imin dan PKB dalam proses perjuangannya jelas "penyesatan historis".

 

Perbedaan faksi politik Cak Imin dan PKB dengan sejumlah elite PBNU dalam pilpres 2024 tidak boleh "menihilkan" peran politik Cak Imin dan PKB dalam perjuangan penetapan Hari Santri Nasional (HSN) tersebut, apalagi hendak memisahkan dan menjauhkannya.

 

Cak Imin adalah inisiator "kirab resolusi jihad NU 1945" pada tahun 2011, empat tahun sebelum penetapan Hari Santri Nasional (HSN), saat publik belum "familier" apa arti penting "resolusi jihad NU 1945" dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Kirab resolusi jihad NU 1945 sebuah perjalanan darat sangat panjang bertolak dari titik bubutan Surabaya (kantor NU pusat pertama) berakhir di titik tugu Proklamasi ibukota Jakarta, dipimpin Imam Nahrawi saat itu sekretaris jenderal DPP PKB (kelak menteri Pemuda dan Olahraga dalam kabinet kerja Jokowi).

 

Dengan kata lain Kirab atau "show off force" politik di atas hendak mengingatkan memori kolektif publik betapa "Resolusi Jihad NU" adalah "ruh jihad" dari peristiwa heroik di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945 yang dipimpin para kiai NU dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi militer Belanda. 

 

Peristiwa heroik itulah yang sering dilupakan dalam buku buku sejarah perjalanan kebangsaan kita yang di kemudian hari "meng-ilhami" ikhtiar ikhitiar politik lainnya secara berkelindan hingga terbit Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 tahun 2015 bahwa tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai "Hari Santri Nasional".

 

Implikasi poltiik dari penetapan Hari Santri Nasional di atas dalam lembaran negara bukan sekedar puja puji dalam seremoni kenegaraan melainkan :

 

Pertama, menandai bangkitnya politik santri dalam relasi politik negara yang dulu akibat hegemoni rejim politik Orde Baru terpinggirkan atau dalam narasi Dr. Idham Khalid, saat menjadi ketua umum PBNU, nasib NU tak lebih ibarat "kayu bakar" untuk pesta politik rejim penguasa politik.

 

Kedua, membangkitkan rasa percaya diri kaum santri di ruang publik. Saat ini bukan hanya aksesoris "sarung" masuk ke ruang birokrasi tapi sejumlah jabatan birokrasi dipimpin kaum santri. Birokrat yang dulu "malu malu" mengaku santri hari ini menunjukkannya secara eksplosif.

 

Pointnya penetapan Hari Santri Nasional dalam.lembaran negara harus dimaknai bahwa derajat kaum santri tidak lagi menjadi "warga kelas dua" secara mental melainkan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan komponen warga negara Indonesia lainnya.

 

Dalam konstruksi itulah kita letakkan Cak Imin sebagai cawapres dari capres Anies, disingkat pasangan AMIN bahwa "santri" bukan "warga kelas dua", bukan "ban serep" dalam kontestasi pilpres 2024.

 

Artinya pilihan politik Cak Imin dengan kekuatan politik PKB yang dipimpinnya berpasangan dengan Anies adalah pilihan koalisi bersifat "kafaah", sebagai "dwitunggal' bersama Anies, saling melengkapi dan tidak dominatif yang satu terhadap lainnya.

 

Maka sungguh ironi jika bangunan politik santri dalam posisi setara dengan komponen politik lainnya hendak ditarik "mundur" kembali atau hanya diletakkan sebagai aksesoris panggung politik untuk pesta politik "pihak lain" dalam kontestasi pilpres 2024. Ambyaaaaaar. 

Wassalam.