PEMILU
Friday, 27 September 2024

BAHAYA POLITIK ADU DOMBA PKB DAN PKS

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

Penulis memahami maksud tulisan Afif Fuad Saidi berjudul "Hanya karena ambisi berkuasa, NU dan PKS dipaksa Menikah", yakni menyesalkan PKB berkoalisi dengan PKS dalam pilpres 2024. 

Ambisi Cak Imin menjadi cawapres berpasangan dengan capres Anies, disingkat pasangan "AMIN" dituding "NU dan PKS dipaksa menikah".

Tulisan di atas bukan sekedar menimbulkan pro kontra di media sosial tetapi sangat berbahaya mengandung "intensi" dan "niat" mengadu domba, memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengeksploitasi framing perbedaan pandangan keagamaan masuk ke ranah kontestasi politik.

Inilah bentuk "politik identitas" yang sesunggguhnya, disuarakan nyaring nyaring untuk "dilawan" tetapi.dalam praktek politik justru dipakai untuk mengekspresikan kebencian dan hendak menyingkirkan golongan lain yang bukan golongannya baik ormas maupun partai politik.

Tidak boleh ada "diktator mayoritas" dan pemaksaan penyeragaman pandangan keagamaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjamin "kebhinnekaan", kesetaraan dan kesamaan hak golongan manapun sejauh konstitusional dan legal menurut regulasi negara. 

Koalisi PKB dan PKS bukan sesuatu yang baru terjadi dalam sejarah politik di Indonesia. Terpilihnya Gusdur menjadi lPresiden.RI tahun 1999 diusung koalisi "poros tengah" di dalamnya PKS (waktu itu masih bernama "Partai Keadilan" - PK). Nurmahmudi Ismael kader PKS ditunjuk dalam kabinet Gusdur menjadi menteri kehutanan.

Dalam pilpres 2009 PKB dan PKS dalam satu "gerbong" koalisi bersama partai Demokrat, pimpinan koalisi partai pengusung pasangan capres wacapres SBY Budiono. 

Tahun 2018 PKB dan PKS berkoalisi dengan pimpinan koalisi PDIP mengusung pasangan cagub cawagub Saefullah Yusuf (Gus Ipul) dan Puti Guntur Soekarno Putera dalam pilgub Jawa Timur, basis NU paling kuat di Indonesia.

Dalam konstruksi fakta fakta historis politik di atas beranikah Afif Fuad Saidi menuding Gusdur dan Gus Ipul "Hanya karena ambisi berkuasa, NU dan PKS dipaksa menikah" sebagaimana judul tulisannya di atas - yang hari ini ia tujukan ke Cak Imin ketua umum PKB? Kebencian memang selalu menuntun pada jalan ketidak adilan (Al.Maidah, 8).

Dalam tulisan penulis dua tahun silam berjudul "Gus Muhaimin dan moderasi pilpres 2024" (inakoran, 20 Mei 2021) penulis meletakan Cak Imin dalam keharusan mengambil peran penting dalam moderasi pilpres 2024. 

Argument sosiologisnya karena Cak Imin satu satunya tokoh politik "genuine" NU dalam posisi sebagai ketua umum partai politik berbasis parlemen, memimpin partai satu satunya yang didirikan PBNU.

Posisi politk Cak Imin inilah yang akan menjadi faktor untuk mengakhiri residu polarisasi politik yang membelah tajam secara sosial sejak pilpres 2014 dan 2019 dengan ujaran kebencian berbasis diksi "binatangisme poltik", yakni "cebong" versua "kadrun".

Dr. Tamrin Amal Tagola membayangkan pilpres. 2024 berpotensi makin merusak sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara jika peran penting politik 'tengah" absen dalam kontestasi pilpres 2024.

Para tokoh ormas Islam dan tokoh politik boleh saja "berbusa busa" berkampanye "moderasi beragama", berteriak NKRI "Harga mati" dan "berjualan" perlawanan terhadap "politik identitas" paling jauh hanya sekedar "program" aksesoris politik atau terasa indah dalam forum forum seminar.

Tapi begitu Cak Imin menggeser PKB berkoalisi dengan PKS meleburlah "keislaman" dan "kebangsaan" dalam satu tarikan nafas "keindonesian", bergemalah lagu "ya lal wathon" di "rumah besar" PKS dan menyempitlah ruang problematik pengkutuban politik konfliktual berbasis narasi keagamaan.

Di sini Cak Imin setidaknya dalam perspektif penulis hendak mengirim pesan bahwa pilihan koalisi PKB dengan PKS selain untuk meraih kekuasaan (politik memang berebut kekuasaan) tetapi kekuasaaan yang diraihnya untuk mempersatukan dan mengakhiri politik "cebong" versus "kadrun" yang mengekpolitasi perbedaan pandangan keagamaan ke ranah kontestasi politik 2024.

Inilah mungkin yang mengagetkan Afif Fuad Saidi di mana dalam 10 tahun terakhir ekosistem politik kita "dirawat" dan "dinikmati" dengan "tukar tambah" mengeksplotasi perbedaan pandangan keagamaan. 

Tabiiiik !!!!