Saturday, 06 December 2025

Ponorogo: Melacak Jejak Sejarah dari Pramana Raga hingga Kota Reog yang Mendunia

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

lognews.co.id – Kabupaten Ponorogo di Jawa Timur tidak hanya terkenal dengan kesenian Reog-nya yang mendunia, tetapi juga menyimpan sejarah panjang yang membentuk identitasnya sebagai wilayah yang kaya akan budaya dan spiritualitas. Dari masa kerajaan Hindu-Buddha hingga penyebaran Islam, Ponorogo terus berkembang menjadi daerah yang mempertahankan tradisi sekaligus beradaptasi dengan modernitas.

Asal Usul Nama dan Filosofi Ponorogo
Nama "Ponorogo" diyakini berakar dari dua kata dalam bahasa Jawa: "pramana" yang berarti daya kekuatan atau rahasia hidup, dan "raga" yang berarti badan atau jasmani. Gabungan kedua kata ini, "Pramana Raga", dimaknai sebagai olahan batin yang mantap untuk mengendalikan sifat-sifat amarah dan mencapai kesempurnaan jiwa-raga. Secara harfiah, istilah ini juga dapat dimaknai sebagai "melihat diri sendiri" atau mawas diri 18.

Nama tersebut disepakati dalam sebuah musyawarah yang digelar oleh Raden Bathara Katong, Kyai Mirah, Selo Aji, dan Joyodipo pada suatu Jumat bertepatan dengan bulan purnama di sebuah tanah lapang dekat gumuk (wilayah Katongan sekarang). Seiring waktu, pengucapan "Pramana Raga" berubah menjadi "Panaraga" dan akhirnya menjadi "Ponorogo" seperti yang dikenal saat ini 28.

Bathara Katong dan Cikal Bakal Berdirinya Ponorogo
Berdirinya Ponorogo tidak dapat dilepaskan dari peran Raden Bathara Katong (atau Bathoro Katong). Ia merupakan putra kelima dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit, dan adik dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Nama "Bathara Katong" konon berasal dari kata "batara" (dewa) dan "katon" (menampakkan diri), yang berarti "dewa yang mewujud dalam bentuk manusia" 2.

Pada sekitar tahun 1482 M, Bathara Katong yang kala itu masih bernama Lembu Karnigoro, tiba di wilayah yang dahulu dikenal sebagai Wengker. Wilayah ini dipimpin oleh seorang penguasa lokal bernama Suryo Ngalam atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Kutu. Bathara Katong lalu memilih sebuah daerah yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yang kini dikenal sebagai Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan 12.

Melalui pendekatan kekeluargaan dan persuasif, Bathara Katong beserta para pengikut setianya seperti Kyai Mirah dan Selo Aji, berhasil mendapatkan dukungan dari Ki Ageng Kutu dan masyarakat setempat. Perjuangan membangun pemukiman penuh dengan hambatan dan tantangan, tetapi akhirnya dapat teratasi antara tahun 1482-1486 M 1.

Berdirinya Kadipaten Ponorogo
Dengan dukungan semua pihak, Bathara Katong akhirnya berhasil mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad ke-15. Ia dinobatkan sebagai adipati pertama pada tanggal 11 Agustus 1496. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo setelah melalui kajian mendalam terhadap bukti-benda purbakala, termasuk sepasang batu gilang di kompleks makam Bathara Katong yang bertuliskan candrasengkala memet menunjukkan tahun 1418 Saka (1496 Masehi) 18.

Penetapan tanggal 11 Agustus sebagai hari jadi kemudian mendapat persetujuan resmi dari DPRD Kabupaten Ponorogo pada tahun 1996 setelah diselenggarakannya seminar khusus 1. Sejak berdirinya kadipaten, tata pemerintahan menjadi stabil. Pada tahun 1837, Kadipaten Ponorogo berpindah dari Kota Lama ke Kota Tengah dan statusnya berubah menjadi Kabupaten Ponorogo seperti yang dikenal sekarang 18.

Perkembangan Pemerintahan Kabupaten Ponorogo
Sejak dipimpin oleh Bathara Katong sebagai bupati pertama, pemerintahan di Ponorogo terus berkembang. Hingga saat ini, Kabupaten Ponorogo telah mengalami 16 kali pergantian kepemimpinan sejak tahun 1944 1. Ponorogo tumbuh tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat pendidikan agama Islam, yang ditandai dengan berdirinya banyak pondok pesantren, termasuk Pondok Modern Darussalam Gontor yang terkenal di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak 12.

Secara geografis, Kabupaten Ponorogo terletak di koordinat 111° 17' – 111° 52' BT dan 7° 49' – 8° 20' LS dengan ketinggian antara 92 hingga 2.563 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya mencapai 1.371,78 km² yang terbagi menjadi 21 kecamatan, 26 kelurahan, dan 279 desa 28. Ponorogo berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah dan terletak sekitar 200 km arah barat daya dari Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur 18.

Seni Budaya dan Tradisi: Dari Reog hingga Grebeg Suro
Ponorogo dikenal dengan julukan "Kota Reog" atau "Bumi Reog" karena merupakan daerah asal kesenian Reog Ponorogo yang mendunia. Kesenian ini merupakan pertunjukan megah yang melibatkan topeng besar berbentuk kepala singa (Singo Barong) yang dihiasi bulu-bulu merak, dengan berat bisa mencapai 50-60 kg dan dibawa dengan gigi oleh penarinya (warok) 349.

Asal-Usul Reog Ponorogo
Asal-usul Reog memiliki beberapa versi. Salah satu cerita yang populer adalah sindiran Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit, terhadap Raja Kertabhumi yang dianggap korup dan berada di bawah pengaruh kuat dari pihak istri yang berasal dari Tiongkok. Singo Barong melambangkan raja, sedangkan bulu merak yang menyerupai kipas raksasa menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Tiongkoknya 46.

Versi lain menceritakan tentang perjalanan Raja Ponorogo, Klono Sewandono, yang ingin melamar putri Kerajaan Kediri, Dewi Ragil Kuning (atau Dewi Songgolangit). Dalam perjalanannya, ia dicegat oleh Singo Barong dari Kerajaan Daha. Pertarungan antara kedua kerajaan ini kemudian diwujudkan dalam tarian Reog 49.

Pada 3 Desember 2024, Reog Ponorogo secara resmi ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda yang Memerlukan Perlindungan Mendesak (Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding), mengukuhkan statusnya sebagai warisan budaya Indonesia di panggung dunia 346.

Tradisi Tahunan dan Julukan Lainnya
Selain Reog, Ponorogo juga dikenal dengan Grebeg Suro, sebuah pesta rakyat yang diadakan setiap tahun pada bulan Suro (Muharram). Acara ini menampilkan berbagai macam seni dan tradisi, termasuk Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, serta Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel 18.

Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di Ponorogo juga membuat daerah ini dijuluki sebagai "Kota Santri". Ponorogo berhasil memadukan tradisi keislaman dengan budaya Jawa yang kental, menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarakatnya

MelestarWarisan untuk Masa Depan
Ponorogo adalah contoh nyata bagaimana sejarah, budaya, dan spiritualitas dapat menyatu membentuk identitas suatu daerah yang kuat dan unik. Dari musyawarah Bathara Katong di bawah sinar bulan purnama yang melahirkan nama "Pramana Raga", hingga geliat penari Reog yang membawa topeng berat dengan gigi, setiap jejak sejarahnya mencerminkan ketangguhan dan kedalaman filosofi hidup masyarakatnya.

Pengakuan UNESCO terhadap Reog Ponorogo bukanlah titik akhir, melainkan penguatan komitmen untuk terus melestarikan, menjaga, dan mengembangkan warisan leluhur yang tak ternilai ini. Ponorogo tidak hanya hidup dalam catatan sejarah, tetapi terus bernapas dan menari dalam dinamika zaman, selalu mengingatkan pada makna mendalam di balik namanya: mawas diri dan kesempurnaan jiwa-raga. (Sahi untuk Indonesia)