lognews.co.id - Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal ketahanan pangan. Dalam KTT G20 di Brasil, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa sekitar 25 persen masyarakat Indonesia masih mengalami kelaparan setiap hari.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Rektor Institut Pertanian INTAN, Prof. Dr. Ir. Retno Indrati, M.Sc, menilai akar persoalan pangan nasional harus diselesaikan lewat pendidikan yang berkelanjutan.
“Kalau dari kecil sudah diajari bagaimana meneliti dan memproduksi pangan, saya rasa kita tidak akan kekurangan pangan,” ujar Prof. Retno saat ditemui di kampusnya.
Menurutnya, model pendidikan berasrama atau boarding school seperti yang diterapkan di Ma’had Al-Zaytun merupakan contoh konkret sistem pendidikan integral yang tidak hanya berorientasi pada teori, tapi juga praktik langsung di lapangan.
Vokasi dan Teknologi, Fondasi Kemandirian
Prof. Retno menjelaskan, pendidikan vokasi sangat penting karena membentuk generasi muda yang terampil dan siap kerja.
“Kalau hanya teori saja, itu omon-omon. Mereka harus turun ke lapangan, tahu bagaimana menanam, menghitung jarak tanam, dan memahami faktor produksi. Ketika mereka dewasa nanti, pengalaman itu bisa dikembangkan dengan teknologi modern,” jelasnya.
Ia menambahkan, Indonesia tidak kekurangan lahan, melainkan kekurangan produktivitas. Banyak lahan yang terbengkalai karena tidak dikelola secara optimal atau kurangnya akses terhadap pengetahuan dan teknologi.
“Negara kecil seperti Vietnam saja bisa sangat produktif karena memanfaatkan teknologi seperti vertical farming. Sementara kita yang punya lahan luas, justru banyak yang dibiarkan tidur,” ujarnya.
Sewa Sawah Lebih Efisien dari pada Cetak Sawah Baru
Menyikapi kebijakan pemerintah tentang pencetakan sawah baru, Prof. Retno menilai langkah tersebut tidak selalu efektif. Ia lebih setuju dengan model sewa sawah rakyat, sebagaimana yang pernah digagas oleh Syekh Panji Gumilang dari Mahad Al-Zaytun.
“Banyak kepala desa dan bupati yang justru menolak pencetakan sawah baru karena masih banyak lahan warga yang belum tergarap. Bahkan ada lurah yang bilang, kalau masih butuh tanah, bisa disediakan gratis. Artinya, masalahnya bukan di lahan, tapi di manajemen dan ilmu,” tegasnya.
Menurutnya, penyewaan sawah rakyat tidak hanya efisien, tetapi juga mendorong pemerataan ekonomi di pedesaan. “Dengan begitu, uang berputar di desa, tidak hanya di kota. Itu bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan,” tambahnya.
500 Titik Pendidikan Berasrama untuk Swasembada Pangan
Salah satu gagasan penting yang muncul dalam diskusi bersama Prof. Retno adalah pembangunan 500 titik pendidikan vokasi berbasis berasrama di seluruh Indonesia.
“Kalau 500 titik pendidikan seperti itu berdiri, dengan sistem dormitory yang terintegrasi, Indonesia akan kembali kuat di sektor pangan. Di situ ada ilmu, praktik, dan ekonomi berjalan bersama. Itulah pendidikan integral,” ungkapnya.
Menurut Prof. Retno, model ini bisa meniru konsep Al-Zaytun yang menggabungkan pendidikan umum, keterampilan pertanian, dan penerapan teknologi modern dalam satu sistem terpadu.
Kolaborasi Pemerintah, Pendidikan, dan Masyarakat
Prof. Retno juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Ia menilai, hingga kini masih terjadi ketimpangan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS), terutama dalam hal pendanaan riset dan inovasi.
“Penelitian itu penting untuk memperbarui ilmu dan teknologi. Tapi sayangnya, PTS seringkali dianggap tidak selevel dengan PTN. Padahal kalau semua bekerja sama, hasilnya bisa luar biasa,” katanya.
Sebagai contoh, di Institut Pertanian INTAN, pihaknya justru banyak bekerja sama dengan pemerintah daerah dan komunitas lokal. “Kami terjun langsung ke kelurahan dan desa. Hasilnya nyata, masyarakat bisa mandiri mengelola pertaniannya sendiri,” tuturnya.
Bahaya Bahan Kimia pada Pangan
Sebagai ahli teknologi pangan, Prof. Retno mengingatkan masyarakat akan bahaya penggunaan bahan kimia berlebihan dalam pertanian maupun pengolahan makanan.
“Bahan kimia itu diendapkan dalam tubuh, bukan dikeluarkan. Kalau terus-menerus dikonsumsi dalam waktu lama, bisa menimbulkan penyakit berbahaya seperti kanker. Termasuk aflatoksin yang berasal dari jamur pada kacang tanah,” jelasnya.
Ia juga mendorong penerapan teknologi pascapanen seperti controlled atmosphere storage dan vacuum packing untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan tanpa bahan kimia tambahan.
Harapan untuk Generasi Muda
Menutup perbincangan, Prof. Retno menegaskan pentingnya menanamkan semangat kemandirian pangan kepada generasi muda.
“Kalau anak-anak muda sudah dibekali ilmu sejak dini, baik di sawah maupun di laboratorium, kita tidak perlu khawatir soal pangan. Kelaparan itu bukan takdir, tapi kelalaian. Karena pangan adalah hak asasi manusia,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah dapat menindaklanjuti gagasan 500 titik pendidikan berasrama agar menjadi bagian dari strategi nasional mewujudkan swasembada pangan. (Sahil untuk Indonesia)


