Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Mahad Al-Zaytun, 30 Juli 2025 — Udara pagi yang cerah menyambut peringatan milad ke-79 Syaykh AS Panji Gumilang, tokoh pendidikan yang tak henti menyalakan cahaya kebangsaan dan kemanusiaan. Di halaman Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin, suasana terasa khidmat sekaligus hangat. Acara bertajuk "Bincang Bersama sebagai Manifestasi Doa Usia 79 Tahun Syaykh AS Panji Gumilang" digelar dengan penuh semangat kekeluargaan, menghadirkan para tokoh lintas agama, akademisi, sahabat dekat, hingga civitas Al-Zaytun dari seluruh penjuru Indonesia.
Tak hanya sebuah perayaan ulang tahun, momen ini menjadi ruang refleksi bersama tentang persaudaraan, toleransi, dan masa depan pendidikan bangsa. Tokoh-tokoh lintas iman satu per satu menyampaikan apresiasi, kesaksian, dan harapan mereka. Suara mereka mengalun sebagai satu harmoni doa, penuh penghormatan dan kasih kepada Syaykh Panji Gumilang.
Kasih yang Menyatukan: Suara dari Gereja dan Bangsa

Pendeta Bibby Sepcandio, Ketua Family of Christ International Ministry, membuka dengan lantang dan penuh semangat. "Merdeka, merdeka, merdeka!" serunya disambut tepuk tangan riuh. Baginya, Al-Zaytun adalah tempat hadirnya hadirat Tuhan, dan Syaykh Panji Gumilang adalah sosok yang dipakai Tuhan untuk mendidik bangsa.
"Saya belum pernah bersalaman dengan Syaykh, belum pernah bertegur sapa langsung dengan Umi, tapi saya sudah merasakan kasih Tuhan yang nyata dari tempat ini," ujarnya penuh haru. Bahkan, ia menyatakan kesiapan untuk menjadikan 100 hektare tanah miliknya sebagai cabang Al-Zaytun, sebuah tanda bahwa visi pendidikan berasrama berbasis keberagaman telah menyentuh nuraninya.
Senada dengan itu, Pendeta Dani Supangat menekankan pentingnya Al-Zaytun sebagai rumah doa segala bangsa. Ia menyematkan angka 79 sebagai simbol dari 'ain' (mata/visi) dan 'tet' (rahim/kemuliaan), yang mencerminkan ketajaman visi Syaykh dan masa kelahiran transformasi revolusioner pendidikan.
"Saya berdoa, di usia 80 nanti akan lahir 500 kota pendidikan berasrama. Visi ini bukan sekadar mimpi, tapi amanah suci," katanya. Tak lupa, ia mempersembahkan hadiah dari Israel: miniatur Kubah El-Sakhrah dan syal bertuliskan Yerusalem untuk Umi, sebagai lambang perjumpaan kasih lintas iman dan bangsa.
Kenangan, Komitmen, dan Kearifan yang Tak Lekang
Samuel Siahaan, putra dari Pendeta Dr. Siahaan yang dahulu mengajar Bahasa Ibrani di Al-Zaytun, mengenang betapa cepatnya para pengajar Al-Zaytun memahami bahasa suci itu. "Ini bukti kualitas intelektual dan spiritual mereka luar biasa. Ayah saya sangat kagum," ujarnya.
Samuel juga berbagi kenangan ketika Syaykh Panji menghentikan kereta api demi mempermudah ayahnya mengajar di Al-Zaytun. "Di negeri ini, kereta api hanya bisa diberhentikan oleh presiden. Tapi Syaykh melakukannya demi pendidikan," katanya, menandaskan bahwa semangat pengabdian sang Syaykh adalah nyata dan mendalam.
Pendeta Johnaren Tarigan Purba pun tak kalah menyentuh. Dalam doanya, ia menyerukan agar Al-Zaytun menjadi tempat lahirnya tokoh-tokoh pemersatu bangsa. "Lewat Syaykh Panji, kita dipanggil untuk menyatu, bukan dalam agama atau suku, tapi dalam cinta untuk Indonesia," ucapnya.
Suara dari Tanah Adat dan Pinggiran Bangsa
Santiamer dari Galaruwa menegaskan bahwa Syaykh Panji Gumilang adalah satu dari sedikit tokoh yang mengakui dan merangkul masyarakat hukum adat dan kelompok-kelompok yang seringkali terpinggirkan. "Hanya Al-Zaytun dan Galaruwa yang menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza. Ini bukan basa-basi. Ini komitmen kebangsaan sejati," katanya.
Ia pun mengajak semua untuk menjaga dan melindungi nilai-nilai Al-Zaytun dari politisasi dan diskriminasi. "Nilai-nilai transformasi pendidikan, karakter kebangsaan, dan toleransi ini bukan sekadar milik Syaykh, tapi milik kita semua. Kita harus menjaganya bersama."
Epilog: Refleksi Cinta dalam Usia 79 Tahun
Milad ke-79 Syaykh AS Panji Gumilang bukan sekadar momentum pribadi, tetapi telah menjadi ruang spiritual nasional. Di usianya yang tak lagi muda, Syaykh menunjukkan bahwa cinta pada bangsa dan iman tak pernah lekang. Ia hadir bukan sekadar sebagai guru, tapi juga sebagai jembatan, penghubung lintas agama, lintas generasi, dan lintas kebudayaan.
Apa yang terbangun di Al-Zaytun bukanlah menara gading, melainkan rumah besar bangsa yang merangkul semuanya. Dari tanah adat hingga kampus-kampus di Jerman, dari pesantren hingga gereja, dari doa hingga visi pembangunan, semuanya berpadu menjadi satu: Indonesia yang damai, cerdas, dan merdeka sejati.
Dari podium, dari doa-doa yang terlantun, dan dari mata yang berkaca-kaca, kita menyaksikan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari kekuasaan. Kadang, ia lahir dari doa yang tulus, dari tangan yang mengajar, dan dari hati yang mencinta tanpa batas. Di usia 79, Syaykh Panji Gumilang kembali mengajarkan satu hal: bahwa pendidikan adalah jalan pulang menuju persaudaraan.
Merdeka!


