lognews.co.id, Jakarta, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Namun, produktivitas kedelai di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). Akibatnya, Indonesia mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai untuk produksi tahu dan tempe. Artikel ini akan membahas konsumsi kedelai di Indonesia, produktivitas rendah, dan ketergantungan pada impor.
Impor dan Produktivitas Kedelai di Indonesia:
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 2,32 juta ton dengan nilai 1,63 miliar dolar AS. Sebagian besar impor kedelai berasal dari Amerika Serikat. Produktivitas kedelai di Indonesia hanya berkisar antara 1,5-2 ton per hektar, sementara di AS mencapai 4 ton per hektar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan penyinaran matahari, dengan AS memiliki durasi penyinaran yang lebih panjang daripada Indonesia.
Perkiraan Impor dan Kebutuhan Kedelai di Indonesia:
Made Astawan, Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia, memperkirakan impor kedelai Indonesia rata-rata mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total impor tersebut, sekitar 70 persen digunakan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Perbandingan dengan Swasembada Kedelai:
Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada tahun 1992 dengan produksi dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. Namun, saat ini produksi kedelai di Indonesia menyusut drastis menjadi di bawah 800.000 ton per tahun, sementara kebutuhan nasional mencapai 2,5 juta ton. Kedelai lokal memiliki keunggulan sebagai bahan baku tahu, namun memiliki kelemahan sebagai bahan baku tempe karena ukuran yang kecil dan tidak seragam serta proses peragian yang lebih lama.
Perbedaan Budidaya dan Kualitas Kedelai Lokal dan Impor:
Kedelai lokal memiliki umur tanaman yang lebih singkat daripada impor, namun produktivitasnya lebih rendah. Produktivitas kedelai lokal umumnya di bawah 2 ton per hektar, sedangkan impor bisa mencapai 3 ton per hektar. Selain itu, kedelai impor umumnya memiliki biji yang lebih besar. Keterbatasan produktivitas kedelai lokal ini tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi pertanian yang efisien, dan lahan khusus kedelai yang luas.
kedelai cukup tinggi. Meskipun kedelai lokal memiliki kelebihan sebagai bahan baku tahu, namun memiliki kelemahan dalam hal bahan baku tempe. Sebagai hasilnya, sebagian besar impor kedelai dialokasikan untuk produksi tempe dan tahu. Menurut data Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), kedelai impor Indonesia berasal dari negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Brasil, dan Uruguai.
Ketergantungan ini terjadi karena produktivitas kedelai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti AS. Petani cenderung memprioritaskan menanam padi dan jagung karena keuntungan per hektarnya lebih tinggi. Selain itu, faktor penyinaran matahari yang lebih rendah di Indonesia juga mempengaruhi produktivitas kedelai lokal.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan pada impor kedelai, beberapa upaya dapat dilakukan. Pemerintah dapat mendorong peningkatan produktivitas kedelai lokal melalui pengembangan varietas unggul, penerapan teknik budidaya yang efisien, dan pendekatan dalam meningkatkan mekanisasi pertanian. Selain itu, perbenihan yang berkualitas dan dukungan industri perbenihan yang kuat juga penting untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal.
Peningkatan swasembada kedelai di Indonesia dapat memberikan manfaat dalam hal keberlanjutan pangan, stabilitas harga, dan pengurangan ketergantungan pada impor. Namun, upaya ini perlu diiringi dengan dukungan dan kerjasama dari pemerintah, pelaku industri, petani, serta institusi pendidikan dan penelitian guna mengatasi tantangan dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas kedelai lokal. (rifAI)