PEMILU
الإثنين، 27 كانون2/يناير 2025

MENYOAL MODERASI BERAGAMA, PERSPEKTIF MENTERI AGAMA RI

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

lognews.co.id - Profesor Dr. Nazarudin Umar Menteri Agama RI dalam wawancara di "podcast" Rhoma Irama baru baru ini mengemukakan kurang "sreg" dengan istilah "moderasi beragama", lebih memilih istilah "kerukunan umat beragama".

Sebagai Menteri Agama beliau "Par excellence", yakni menteri "paling" pas di posisinya dalam kategori "zaken kabinet", sebuah kabinet ahli dalam teori politik modern, tidak mewakili piramida kekuatan representasi politik 

Berkarier panjang sebagai birokrat di kementerian yang ia pimpin saat ini tapi sekaligus memiliki kualitas keilmuan sangat memadai di bidangnya dan integritas personal sangat akuntabel untuk memimpin kementerian agama.

Dalam beberapa tahun terakhir narasi "moderasi beragama" memang massif digerakkan dalam program kemenag di ruang publik, di branding dan dinarasikan dalam beragam pidato dan sambutan para pejabat hingga level Kantor Urusan Agama (level kecamatan).

Secara konseptual "moderasi beragama" dimaknai sebagai "cara beragama jalan tengah, tidak ekstrim dan tidak berlebihan". Moderasi beragama bertujuan untuk me moderasi penganut agama agar tidak terjebak dalam pemahaman dan sikap ekstrim dan radikal .

Profesor Dr. Nazarudin Umar dalam "podcast" Rhoma Irama di atas tidak memberikan secara langsung "distingsi" perbedaan definitif antara "moderasi beragama" dan "kerukunan umat beragama" kecuali dalam konteks toleransi beragama ia menekankan bahwa :

"Toleransi beragama adalah "kesediaan untuk menerima yang berbeda, tidak menyamakan yang seharusnya dibedakan dan tidak membedakan yang seharusnya bisa disamakan", ujarnya.

Dengan kata lain mengutip pakar sosiologi agama, Profesor Robert Wuthnow dari Princeton University bahwa "toleransi bukan sekedar menerima kehadiran yang berbeda tetapi menciptakan ruang di mana semua merasa dihormati".

Dalam konstruksi pemahaman itulah Menteri Agama lebih cenderung menggunakan istilah "kerukunan umat beragama" dibanding "istilah "moderasi beragama".

Aksentuasi dan tekanannya adalah "kerukunan" dan toleransi atas perbedaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bhinneka dan beragam , tidak menggeser "cara" beragama yang diyakininya.

Konsensus final kebangsaan kita adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Semangat keberagaman dikelola dengan harmoni dan spirit saling menghormati.

Tidak boleh tumbuh intensi dan niat untuk ambisi melakukan hegemoni atas nama "mayoritas" terhadap "minoritas" tetapi pada saat yang sama tidak boleh ada hak hak "istimewa" primordial atas nama "minoritas" secara ekslusif untuk mengkerdilkan "mayoritas".

Semua ruang publik di negeri ini dalam imajinasi kebangsaan kita terbuka untuk menyerap berbagai aspirasi, menjadi wadah yang menampung keragaman dan meruntuhkan sekat sekat sosial yang memicu isolasi primordial atas nama "agama" apa pun.

Dalam konteks itu penulis bersetuju dengan statement Menteri Agama Profesor Nazarudin Umar yang selama ini dicitrakan terlalu "mesra" dengan kelompok agama agama lain 

Tapi justru secara terbuka ia merasa tidak "happy", tidak ada masjid dan suara adzan di sepanjang jalan Sudirman Tamrin, Jakarta dan di kompleks perumahan elite Pantai Indah kapuk (PIK) Jakarta.

Menurutnya syiar Islam harus terdengar di setiap jengkal tanah di negara dengan mayoritas muslim. Dalam pandangan "sekuler" misalnya jaringan "Islam liberal" ala Ade Armando dkk hal ini bisa dituding sebagai "mayoritanisme" Islam politik.

Pun mayoritas muslim penting bukan sekedar membuka diri menerima kehadiran umat yang berbeda tetapi menciptakan ruang di mana mereka merasa dihormati. Itulah imajinasi kita tentang Indonesia yang bhinneka dan beragam.

Memang tidak sederhana mengkonstruksi relasi perbedaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warisan politik "aliran" yang dibelah ekstrim oleh Clifford Geertz :dalam khasanah politik masa lalu kita.

Tidak memadai hanya sekedar merubah istilah "moderasi beragama" menjadi "kerukunan umat beragama" secara naratif dan artificial. 

Terlebih di era makin menguatnya politik "populisme" di mana identitas agama selalu ditarik tarik secara konfliktual dalam isu persaingan politik elektoral yang dalam banyak peristiwa politik justru mempertajam konflik dan segregasi sosial.

Inilah tugas kita bersama untuk membangun kesadaran baru tentang urgensi kebutuhan kita untuk hidup "harmoni" dalam kehidupan berbangsa tanpa kecurigaan untuk menggeser "cara" beragama masing masing kecuali intens dalam dialog secara "open minded". 

Wassalam.