lognews.co.id, Jakarta - Anggapan masyarakat mengenai berita kesesatan Al Zaytun bermula dari media sosial dan tayangan televisi nasional, diperkuat oleh Organisasi Masyarakat MUI yang berfatwa mengharamkan untuk bersekolah di Al Zaytun.
Rupanya anggapan sesat tersebut diperkeruh lagi melalui adanya demo berjilid jilid sehingga dikhwatirkan mempengaruhi secara psikis ribuan anak didik yang sedang menempuh pendidikan di lembaga Al Zaytun.
Dari wawancara bersama wartawan senior Nasution, H. Adlan Daie warga Indramayu keturunan Madura yang pernah menjabat menjadi Wakil Sekertaris PWNU Jawa Barat (2009 -2017) mengungkapkan perlu adanya deteksi dini dibalik alur yang terjadi di masyarakat yang digerakkan untuk melakukan demo berjilid jilid, dan framing media yang masif menyerang Al Zaytun.
Mengawali perbincangan, Adlan menegaskan sama sekali tidak mengenal orang Al Zaytun, dan menganggap adanya demo yang ramai perlu dilakukan penelitian juga, bukan Cuma terkesan Al Zaytun saja yang harus ditelliti.
“demo mereka yang berjilid jilid, kemudian framing media itu beraliansi, TSM itu (terstruktur, sistematik, masif), perlu dilakukan penelitian yang sama, aktor intelektualnya juga, karena itu bisa menjadi instabilitas menjelang pemilu” tegas Adlan.
“apakah benar ada aktor intelektual dibalik demo berjilid jilid ini ?” tanya Nasution.
“saya tidak sampai kesitu, tapi normalnya demo kan tidak berjilid jilid, kemudian dimedia sosial diframing sebegitu rupa Al Zaytun, saya kira ada korelasi” jawab Adlan, maka menurutnya perlu adanya penelitian dan investigasi untuk deteksi dini bagi pemerintah agar tidak mengacaukan pemilu.
Ditambahkan Adlan bahwa tidak mungkin bisa sistematis berjilid jilid, tanpa adanya korelasi, artinya ada otak yang menggerakkan, dan menjadi aneh ketika dalam rangka menjaga stabilitas politik namun aksi demonstrasi terus berlanjut ditengah proses penanganan terhadap AL Zaytun.
Ditanyai soal tulisan Adlan Daie di kabar online inakoran.com dengan judul persekusi terhadap pesantren Al Zaytun dan efek bahayanya, Adlan menerangkan, televisi nasional menyajikan tayangan yang tidak masuk akal ketika narasumber yang hadir menceritakan disuruh merampok dan berzinah, dengan pernyataan itu kemudian dijadikan alat untuk menyerang.
Sehingga kata persekusi dalam artikel tersebut, dianggap sudah tepat dengan kondisi dimana demonstrasi yang terjadi sudah tidak masuk akal, dan tidak normal ketika yang dituduhkan adalah perzinahan santri, karena menurutnya tidak perlu didemo, orangtuanya sendiripun secara beramai ramai pasti akan memulangkan anaknya jika memang terjadi.
“Al Zaytun itu jangan dikepung seperti itu, serahkan saja kepada hukum, kepada lembaga lembaga negara yang memiliki kredibilitas kewenangan, dan instrumen yang cukup untuk melakukan penelitian, jangan dituduh tuduh begitu” jelas Adlan.
Adlan menyayangkan adanya persekusi sehingga tidak melindungi kelompok masyarakat lainnya.
“kalau negara itu kalah pada tekanan tekanan publik, ya nanti yang merasa besar itu menang terus, tidak melindungi semuanya nanti” kritis Adlan.
Adlan tidak menyetujui jika Al Zaytun ditutup, karena dianggap jika Pesantren Al Mukmin Ngruki Jawa Tengah milik Abu Bakar Ba'asyi yang jelas pemimpinnya dianggap teroris namun pesantrennya tetap tidak dibubarkan, dengan tetap berpedoman bahwa selama tidak melanggar undang undang dan pancasila.
Soal MUI yang membuat fatwa sesat, Adlan mengingatkan MUI untuk tidak terburu buru dalam memfatwakan.
“jangan sampe bikin fatwa, datang sebentar lalu memfatwakan sesuatu, bukan soal fatwanya, tapi basic datanya dari video dijadikan dasar berfatwa repot juga, tidak kredibel” tegas Adlan
Menurutnya, fatwa tersebut dianggap lemah.
“bukan soal metode yang salah, tapi bahan mengambil produk fatwa yang lemah, sampeyan ambil bahan lemah ya Outpiutnya lemah" ujar Adlan.
Ungkapan salam diganti shalom, dari sudut pandang Adlan, jika sekedar salam sapaan atau salam budaya seperti sampurasun, sama seperti almarhum Gusdur yang mengganti ucapan Assalamualaikum jadi selamat pagi, tidak menjadi masalah selama tidak dijadikan salam sebagai rukun sholat.
Namun jika khutbah Jumat dilakukan oleh perempuan, dirinya tidak setuju, dalam artian bukan pula situasi ini menjadi persoalan besar, mengingat secara konteks bukan pada kontroversinya melainkan adanya lembaga pendidikan seperti Al Zaytun sebagai objek yang dikenakan target demo berjilid jilid.
Diterangkan Adlan, anggapan MUI yang tidak bisa masuk Al Zaytun karena melakukan penolakan, dianggap lumrah karena MUI memang tidak punya alat paksa sehingga dirinya menyarankan MUI untuk menyerahkan saja kepada pemerintah atau polisi.
“ya berhak juga dia menolak. ya bukan lembaga negara yang punya hak paksa. sampeyan mau wawancara saya, saya tidak mau, ya boleh”
Adlan mengungkapkan, cara pandang sepintas membuat banyak ormas salah persepsi, pasalnya ada perbedaan media, lembaga atau perorangan yang dipersilahkan masuk akan berbeda dengan mereka yang tidak pernah masuk.
Dengan tegas Adlan juga tidak menyetujui anggapan media mainstream, bahwa Al Zaytun dijadikan sumber instabilitas.
Ditengah riuh soal isu yang lebih besar, Adlan mengibaratkan soal isu Al Zaytun seperti sedang berbelanja isu baru untuk menunggangi isu politik namun dianggap tidak elok caranya karena berimbas pada penghuni lembaga pendidikan.
“bayangkan ribuan santri, tertindas dengan tekanan psikis, kalau trauma bagaimana masa depannya” ujar Adlan.
Lebih dalam Adlan lantang menunjuk gubernur yang dianggap tidak presisi melihat data karena ucapannya dibantah Kemenag soal pernyataan kucuran dana miliaran dari negara kepada Al Zaytun, faktanya Al Zaytun menerima dana dari Bantuan Operasional Sekolah atau dana BOS biasa yang pesantren lain juga dapat, sehingga sebenarnya secara hukum sudah terbantah, namun kadung menjadi pemantik demo dimasyarakat karena tidak kredibilitasnya ikut memframing.
“Imanjinasi orang pasti berpendapat, pantas bangunannya mewah, karena yang ngomong seorang gubernur, menjadi pemantik orang untuk melakukan demo” ujar Adlan.
Lebih lanjut Adlan membenarkan cara Mahfud MD mengambil alih urusan isu Al Zaytun ini karena lebih mempunyai otoritas dibanding Ormas MUI, dan untuk konteks ini Adlan mengaku setuju dengan pernyataan sikap tenaga ahli Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Ali Mochtar Ngabalin yang terang melihat isu AL Zaytun.
Dipenghujung wawancaranya, Adlan mengucapkan terima kasihnya dan menegaskan tidak punya hubungan apapun dengan Alzaytun, dan menyimpulkan perlu adanya langkah termasuk kepada demo sebagai deteksi dini adanya aksi yang ditunggangi pihak tertentu sehingga dapat menyebar, meluas terhadap eskalasi politik yang tidak perlu.
Kemudian ditegaskan pula Al Zaytun bukanlah lembaga yang tidak mudah disentuh, “toh tiap tahunnya, memperbaharui izinnya” ujarnya “terus terang saja dengan berani saya nyatakan tidak setuju al zaytun ditutup” pungkasnya lantang. (Amr-untuk Indonesia)


