LOGNEWS201.COM-LOMBOK TIMUR. Dijumpai di Masjid Jami Baiturrahman di desa Apitaik, Lombok Timur. Zainul Majdi atau biasa disebut TGB menanggapi soal surat edaran Mentri Agama No. SE 05 tahun 2022 tentang surat edaran Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid Dan Musala.
Ada dua poin yang disampaikan TGB terhadap Mentri Agama Yaqut Cholil, pertama Menurutnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menerbitkan aturan tersebut merupakan tokoh dari organisasi Islam terbesar di Indonesia.
"Kemudian juga putra dari seorang ulama besar Almagfurlah Kiai Cholil Bisri Rembang. Jadi, niat beliau pasti baik itu yang pertama,"
TGB yang baru terpilih sebagai Ketua umum Pengurus Besar Nadhatul Wathan Diniah Islam iyah pada 30 Januari 2022 lanjut mengungkapkan, penerbitan kebijakan publik sejatinya harus memperhatikan aspek imparsial.
"Artinya rata seimbang, adil tidak memihak. Karena itu kalau ingin menciptakan pengaturan maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala," ujarnya, lanjut menurut TGB pengeras suara tak hanya digunakan di musala dan masjid.
Namun juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar.
"Sehingga menurut saya kalau memang mau membuat satu surat edaran untuk mengatur penggunaan pengeras suara di rumah ibadah jauh lebih baik tidak hanya menyangkut masjid dan musala," ujar dia.
Hal ini, katanya supaya tidak kemudian menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensial mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala.
Sementara semua tahu, rumah ibadah agama lainnya juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.
Pengeras suara masjid atau musala memiliki juga fungsi sosial budaya. Jadi, menurut TGB di daerah-daerah seperti misalnya di NTB justru pengeras suara masjid itu bukan mengganggu sebaliknya malah menjadi rujukan dari masyarakat di desa.
"Karena di situ sekali lagi bisa juga digunakan untuk banyak pengumuman-pengumuman yang menjadi perhatian dari masyarakat," ujarnya.
TGB mengatakan pengaturan pengeras suara rumah ibadah memang cocok dilakukan di perkotaan karena masyarakatnya yang heterogen.
Meski begitu, lanjut TGB, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama, salah satunya didiskusikan di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
"Diserahkan kepada FKUB untuk kemudian membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan itu lahir dan dibicarakan di tingkat masyarakat dan disepakati itu akan jauh lebih mudah diterima. Dibandingkan surat edaran yang isinya berlaku untuk semua padahal situasi masing-masing daerah itu beda-beda," tuturnya.
Misalnya seperti di NTB yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, ucap TGB, suara dari masjid justru dirindukan. Suara yang justru menjadi penyejuk, tidak ada yang merasa terganggu.
"Bila hal ini berkenan dikoreksi menjadi hal bagus, sehingga tidak terkesan hanya menyasar kepada masjid dan musala," katanya.
(Red)