Saturday, 06 December 2025

Mengukir Sejarah di Balik Layar: Kisah KH. Faqih Maskumambang, Wakil Rais Akbar NU yang Terlupakan

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh: Ali Aminulloh 

lognews.co.id -nKetika nama Nahdlatul Ulama (NU) disebut, ingatan publik otomatis tertuju pada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, Rais Akbar (Pemimpin Tertinggi) pertama. Namun, di balik kebesaran itu, berdiri tegak seorang ulama sepuh yang perannya tidak kalah vital, namun kurang dikenal luas: KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar dari Pesantren Maskumambang, Gresik.

Beliau adalah Wakil Rais Akbar NU yang pertama, dan ironisnya, jejaknya tak banyak diceritakan dalam buku sejarah populer. KH. Faqih bin Abdul Jabbar ini adalah kakek buyut dari Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, pendiri Ma'had Al Zaytun. Kisah KH. Faqih adalah pengingat bahwa fondasi organisasi raksasa ini dibangun oleh pilar-pilar keilmuan yang membentang melintasi zaman.

Ulama Sepuh dan Pilar Pendiri NU (Muassis)

nur fakih

KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar (sekitar 1857–1937 M) adalah sosok ulama besar dan sepuh dari Pesantren Maskumambang, Gresik, Jawa Timur. Kehadiran dan keterlibatan beliau dalam proses kelahiran Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 sangat fundamental, menjadikannya salah satu tokoh kunci (Muassis) organisasi tersebut.

1. Jabatan Tertinggi dalam Kepengurusan Perdana

Secara resmi, KH. Faqih Maskumambang tercatat sebagai salah satu ulama yang berperan langsung dalam kelahiran Nahdlatul Ulama.

Wakil Rais Akbar: Dalam struktur kepengurusan NU yang pertama kali dibentuk, beliau menduduki posisi yang sangat tinggi dan terhormat: Wakil Rais Akbar. Posisi ini menempatkan beliau sebagai pendamping utama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari yang menjabat sebagai Rais Akbar (pemimpin tertinggi).

Wibawa Keilmuan: Beliau dikenal sebagai ulama yang usianya lebih sepuh (tua) daripada KH. Hasyim Asy'ari sendiri. Keilmuan dan kewibawaannya menjadi rujukan utama bagi para Kiai di Jawa Timur pada masa itu, bahkan sebelum inisiasi pendirian NU dilakukan

2. Kontribusi Intelektual Penjaga Aswaja

Jauh sebelum NU berdiri, KH. Faqih Maskumambang sudah dikenal sebagai ulama yang sangat gigih mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) di Nusantara dari berbagai gempuran ideologi baru.

Penulis Kitab Kontra-Wahabi: Semangat perlawanan beliau terlihat jelas dalam karya tulisnya. Pada tahun 1922, empat tahun sebelum NU resmi berdiri, beliau menulis kitab yang berjudul An-Nushush al-Islamiyah fi Raddi ‘ala Madzhab al-Wahhabiyah. Karya ini adalah kritik keras dan argumentatif terhadap gerakan Wahabi, menunjukkan konsistensi beliau dalam membela tradisi keislaman Nusantara.

Tujuan Organisasi: Keikutsertaan beliau dalam mendirikan NU memiliki tujuan utama untuk melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja dengan berpegangan pada salah satu dari empat mazhab.

3. Jaringan Santri dan Warisan Keilmuan

Pesantren yang diasuhnya di Maskumambang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting, melahirkan banyak ulama besar yang kelak menjadi tokoh penting di berbagai pesantren terkemuka di Indonesia. Di antara murid-murid beliau yang terkenal adalah: KH. Abdul Hadi (Langitan), KH. Zubair Dahlan (ayah KH. Maimoen Zubair), dan KH. Imam Khalil bin Syuaib (Sarang).

Singkatnya, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar bukan hanya pendiri, tetapi juga pilar keilmuan dan spiritual yang memberikan bobot dan legitimasi pada pergerakan ulama dalam mendirikan Nahdlatul Ulama. Keberadaan beliau menjadi bukti bahwa fondasi NU adalah hasil musyawarah dan kerja sama ulama-ulama besar dari berbagai pesantren.

Warisan Darah dan Visi Peradaban

Kebesaran dan semangat juang KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar, sang Wakil Rais Akbar NU pertama, ternyata tidak berhenti pada zamannya. Darah pejuang dan pembangun peradaban itu mengalir hingga ke cucu buyutnya, Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.

Syaykh Panji Gumilang meneruskan warisan leluhurnya dengan mendirikan Ma'had Al Zaytun di Indramayu, yang kini dikenal sebagai pesantren peradaban modern. Jika KH. Faqih berjuang mempertahankan Ahlussunnah Wal Jamaah melalui tulisan dan pendirian NU, maka Syaykh Panji Gumilang mewujudkannya dalam visi pendidikan yang progresif.

Al Zaytun dibangun di atas motto: "Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian menuju Masyarakat Sehat, Cerdas, dan Manusiawi." Visi ini mencerminkan semangat inklusif dan pembaharuan, yang sejalan dengan cita-cita besar para pendiri NU terdahulu, yakni mencerdaskan bangsa sambil menjaga nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin.