PEMILU
Thursday, 19 September 2024

PROBLEM KONSTITUSI WAKIL KEPALA DAERAH, BERDAYUNG BERSAMA DITENDANG SENDIRIAN

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

lognews.co.id - Dalam konstitusi, yakni UUD 1945 (hasil amandemen 2001), pasal 18 ayat 4 posisi jabatan politik "wakil" kepala daerah baik "wakil" Gubernur, "wakil" Bupati maupun "wakil" Walikota tidak disebutkan secara eksplisit, "non imperatif". 

Dengan kata lain jabatan "wakil" kepala daerah hakekatnya "tak dirindukan" kehadirannya dalam perspektif konstitusi (UUD) kecuali "pemanis" atau justru "pelengkap penderita" hanya diatur dalam Undang Undang turunannya.

Ini berbeda dengan posisi "wakil" Presiden disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 pasal 8 ayat 1 tentang kedudukan dan fungsi "wakil" Presiden dalam tata kelola politik kenegaraan menurut konstruksi UUD 1945.

Dalam catatan Kemendagri hampir 80% kepala daerah "tidak harmonis" dengan pasangan "wakilnya" baik karena intrik persaingan politik atau "egoisme bawaan"' kepala daerah tidak mau berbagi peran dan tugas dengan "wakilnya".

Posisi "wakil" hanya berdayung "bersama" saat memenangkan kontestasi politik tapi dengan mudah "ditendang" sendirian, "dipreteli" hak hak protokolernya tanpa berdaya "melawannya". Posisi politiknya begitu lemah dalam konstitusi dan Undang Undang turunannya.

Di beberapa daerah posisi kepala daerah tanpa "wakil" tampaknya "happy happy" saja, justru tidak berminat mengisi kekosongan posisi "wakil" karena mundur dan lain lain. Ini bukti lain posisi "wakil" adalah posisi politik "tak dirindukan" oleh kepala daerah.

Posisi "wakil" hanya sebuah keterpaksaan politik karena amanat Undang Undang memaksanya wajib "berpasangan" dan tentu saja dalam rangka sharing bersama untuk pemenangan walaupun kelak potensial ditendang sendirian.

Dalam proyeksi ke depan penting Kemendagri melakukan telaah konstruksi yuridis terkait pilkada "tanpa wakil" persis seperti pilihan kepala "desa" tunggal tanpa berpasangan selain UUD 1945 tidak memerintahkan harus "berpasangan', juga meminimalisasi "konflik" dan efesiensi anggaran.

Hal ini tidak membutuhkan "amandemen" UUD 1945 kecuali revisi Undang Undang turunannya saja tentu dengan kajian mendalam dalam beragam perspektif yuridis dan sosiologis.

Misalnya apakah pilihan kepala daerah tanpa "wakil" jika "berhalangan tetap" otomatis ditunjuk pejabat dari "pusat" atau "pemilu sela" secara langsung atau pemilihan lewat DPRD untuk memilih kepada daerah untuk menyelesaikan periode berakhirnya sisa jabatan pendahulunya.

Pilkada serentak 2024 (terlepas dari kerumitan posisi yuridis terkait posisi politik "wakil" kepala daerah di atas) penting publik diberikan pencerahan pendidikan politik untuk memilih pemimpin tidak sekedar motive "kesukaan" belaka, tidak sekedar "bibit", "bebet" dan "bobot" dalam arogansi feodalistik.

Bersamaan dengan itu seberapa kuat gestur politiknya memelihara "keharmonisan" politik antara kepada daerah dan "wakilnya". 

Pasalnya pilihan "mundur" atau "dimundurkan" di tengah jalan karena tidak harmonis atau karena "deal deal" tertentu adalah pengkhianatan atas mandat pilihan langsung rakyat. 

Pengalaman, track record dan "ego personal" akan menentukan. Itulah kuncinya agar memilih "pasangan" tidak sia sia dan menghambur hamburkan uang rakyat untuk membiayai "pesta" pemilihan mereka.

Wassalam.