Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
lognews.co.id - Judul di atas adalah tema diskusi yang disodorkan "anak anak" PMII Indramayu kepada penulis saat acara diskusi publik menghadirkan penulis sebagai "Nara sumber" di sekretariat PMII Indramayu (Rabu, 15/1/2025).
Seorang kawan "pensiunan" pejabat sengaja penulis ajak dalam forum diskusi tersebut untuk memperluas perspektif atas harapan publik dari bupati baru terutama tentang dinamika politis dalam proses teknokrasi birokratis.
Itulah "meaning full participation", mengutip diksi Helmut Schmidt, politisi moralis Jerman, sebuah cara mahasiswa dalam partisipasi bermakna dalam demokrasi. "Jika demokrasi hanyalah panggung tontonan anda salah menonton drama", ujar Helmut Schmidt.
Bupati adalah "jabatan" - bukan "orang" sebagaimana jabatan publik lainnya bupati adalah jabatan "mulia dan berabad" dengan kuasa diskresi dan kewenangan yang diamanahkan publik saat memilihnya
Mahasiswa sebagai kekuatan "civil society", sebagai anak kandung sejarah dinamika politik penting mengontrol siapa pun yang menduduki jabatan bupati agar tidak "terpeleset" dari "khittah" kemuliaan dan keadaban jabatan yang didudukinya.
Dalam perspektif itu pilihan tema "apa yang diharapkan publik dari bupati baru" adalah cara mahasiswa PMII indramayu memaknai bahwa kontestasi pilkada bukan sekedar 67% publik memilih "seseorang" secara demokratis dan legitimated.
Lebih dari itu, demokrasi adalah sistem bahwa publik saat memilih menitipkan harapan dan kecemasan masa depan hidupnya kepada bupati yang dipilihnya. Itulah peran historis mahasiswa dan itu pula resiko menjadi seorang bupati.
Tentu terlalu dini membaca kalkulasi politis tentang harapan publik terhadap bupati yang belum dilantik meskipun sayangnya sudah "ditengarai" oleh O'usjh Dialambaqa mulai ada potensi relasi "disharmoni" dan "ketidakmesraan" dengan wakilnya.
Bupati baru kelak akan diuji ketrampilan teknokrasi politiknya saat memimpin birokrasi sebagai "pelayan publik", bukan tukar tambah sebagai "pesuruh politik" selain kemampuan komunikasi dengan DPRD di mana partai pengusung bupati terpilih sangat minimalis jumlahnya (5 kursi).
Kehadiran bupati, sekali lagi, siapa pun perlu dikritik dan dikontrol publik - sesekali boleh "dipuji" asal tidak "dipuja" agar tidak "attakastur", mengutip diksi Al Qur an, yakni tidak pongah karena setiap kepongahan politik ujungnya "Al maqobir", kuburan kehinaan.
Nina Agustina, bupati memimpin di era covid 19 dengan segala kelemahan cara komunikasi politiknya harus diletakkan secara "fair play" dalam periode efektif kepemimpinannya (2022 - 2024).
Di periode tersebut bertumbuh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan indeks turunnya angka kemiskinan meskipun secara peringkat kumulatif lintas periode masih di papan bawah di Jawa Barat.
Dari sisi "kecepatan" prosentase kenaikannya - Indramayu di peringkat ketiga (IPM), peringkat ketujuh (PDRB) dan peringkat ke 16 turunnya angka "kemiskinan" dalam perbandingan periode yang sama (2022 - 2024) dari 27 kab/kota di Jawa Barat (Analisis data BPS Jawa Barat).
Bupati baru dengan semangat baru, spirit kegairahan perubahan yang membuncah dan harapan publik yang melambung tinggi harus mampu menaikkan tiga indeks variabel di atas secara signifikan. Itulah cara menjawab harapan publik secara terukur, tidak "menghayal tingkat tinggi".
Problem covid 19 di era bupati nina sudah berlalu dengan proses recovery nya dan pajak "kendaraan" telah mengalami perubahan nomenklatur dari "dana bagi hasil" menjadi "pendapatan asli daerah (PAD) sehingga lebih leluasa dalam desain kebijakan anggaran di level Bupati.
Dalam kerangka itulah penulis meletakkan kegairahan intelektual mahasiswa PMII di atas penting untuk menjaga moralitas demokrasi tidak hanya menghadirkan kehebohan dan "selfi selfi" para pejabat secara narsis tapi menghadirkan kualitas kehidupan publik secara "mulia dan beradab". Semoga.
Wassalam.