PEMILU
Friday, 20 September 2024

H. DEDI WAHIDI DAN PANGGUNG KOMISI V DPR RI

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan. 

lognews.co.id - H. Dedi Wahidi, Anggota komisi V Fraksi PKB DPR RI tampil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menteri PUPR, Basuki Hadimuliyo (6/6/2204) ditayangkan antara lain di "YouTube" channel "Merdeka com" dan sudah ditonton 162 ribu orang dalam waktu tiga hari.

Penulis mengenal dekat secara "politik" H. Dedi Wahidi dengan panggilan inisial "Dewa" dalam pergaulan politik menarik meletakkan tampilannya di forum RDP di atas dalam teori komunikasi politik Tedy Roselvert, Presiden AS, awal abad 20.

Tedy Roselvert memberi ilustrasi bahwa "podium" atau panggung politik dalam konteks H. Dedi Wahidi, yakni ruang parlemen bagi politisi di negara dengan sistem demokrasi modern dan kuat adalah "the bully pulpit", mimbar "pengganggu".

Tentu diksi "mengganggu" dalam konteks teori komunikasi Tedy Roselvert di atas tidak dalam artikulasi dan frame "negatif" terhadap gaya tampil H. Dedi Wahidi anggota DPR RI dari Dapil Jawa barat VIII (Kab/kota Cirebon dan kab Indramayu) yang terpilih empat kali berturut turut hingga pemilu terakhir 2024 dengan sistem "open list", suara terbanyak, di forum "RDP" di atas. 

Dalam catatan penulis setelah menyimak berkali kali vidio "RDP" di atas ada tiga program "ambisius" pemerintah yang "diganggu" H. Dedi Wahidi dalam arti diletakkan dalam rasionalisasi anggaran multi sektor publik yang sama pentingnya saat "RDP" tersebut, yaitu : 

Pertama, tentang program "makan siang gratis" diletakkan dalam skala prioritas secara demografis untuk anak anak sekolah di luar 'pulau Jawa" dan "aksentuasi program di pulau Jawa pada level perbaikan sarana pendidikan "layak pakai".

Kedua, program "ambisius" dan "ngebut" pembangunan ibukota "baru" Nusantara (IKN). Kritik atau daya "ganggu" Dewa bukan soal urgensinya tapi pada eksekusinya untuk tidak buru buru agar kualitas "simbol" negara IKN tidak "kedodoran" dalam branding bernegara.

Ketiga,"Tapera" (Tabungan Perumahan Rakyat) diartikulasikan Dewa untuk menjadi program "suka rela" bukan "wajib paksa" negara terhadap ASN. Dewa menangkap kesulitan ASN di daerah begitu banyak SK mereka "nginep" di bank bank setempat.

Dari sisi "konten" mungkin sederhana pikiran pikiran Dewa dalam "RDP" di atas tapi "cara" menyampaikannya dengan tenang, diksi terukur, tidak retorik,, percaya diri tapi tidak marah marah, apalagi "gebrak gebrak" meja di tengah sorot "podium" panggung "RDP" secara teori komunikasi politik modern menunjukkan: 

Pertama, panggung besar untuk mengartikulasikan keberpihakan ideologi politik yang dianutnya bahwa setiap program "ambisius" out put

nya lebih banyak "mudorot", ia "mengganggunya" dengan cara "NU", yakni meletakkannya di jalan "moderat" dalam breakdown program program maslahat publik secara berimbang.

Kedua, menunjukkan kematangan seorang tokoh publik berimprovisasi menghadapi moment moment di panggung podium yang datang tiba tiba. Itulah yang dimaksud Tedy Roselvet sebagai "mimbar pengganggu".

Dua hal di atas tampaknya sudah menjadi "lapangan bermain" Dewa out put dari perjalanan panjang di organisasi politik sehingga "built in" membentuk diri "tidak gagap" di "podium" politik besar. 

Sayangnya tim "lingkar dalam" Dewa tidak meletakkannya dalam ruang "speak up" publik dalam varian konten kreatif di era media sosial untuk memperkaya literasi publik tentang perjuangan politik parlemen untuk maslahat publik. 

Wassalam