PEMILU
Monday, 30 September 2024

GUSMUS DAN PUISI POLITIK DINASTI

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan

Begini bait bait puisi karya KH.Mustofa Bisri ("Gusmus"), Ulama kharismatik NU yang dibacakannya di taman budaya Solo baru baru ini (31/10/2023) dan viral di media sosial :

"Ada sirup rasa jeruk dan durian

Ada kripik rasa keju dan ikan

"Ada republik rasa kerajaan".

Penyair Rusia, Joseph Brodsky begitu percaya dengan makna sebuah puisi. Ia menulis :

"Pada periode periode tertentu dalam sejarah hanya puisi yang mampu "menohok" kenyataan menjadi sesuatu yang bisa digenggam dengan padat, tersimpan dalam pikiran, sulit dilakukan diluar cara puisi", tulis Josep Brodsky

Gusmus, penulis buku antologi puisi "balsem" (1984) menohok kenyataan "politik dinasti" kekinian dengan lirik puisi lirih di atas "ada republik rasa kerajaan". Tajam menohok dahsyat.

Penyair Gunawan Muhamad, penulis buku antologi puisi "Parikesit" (1981) mengungkapkan kegundahan yang sama dengan Gusmus di atas tentang "politik dinasti" meskipun lebih "straight news". Ia menulis begini :

"Jika Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang terbiasa culas, nepotisme yang menghina kepatutan, lembaga hukum yang melayani kekuasaan. Saya bertekad mengalahkan dan menggagalkan sandiwara ini", tulisnya.

Puisi Gusmus dan prosa liris Gunawan Moehamad di atas (dan juga perlawanan Gusdur dulu terhadap "demokrasi seolah olah" Soeharto dalam perspektif penulis mengingatkan minimal dua hal :

Pertama, bahwa dalam catatan sejarah sidang BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Juni 1945 para pendiri bangsa bersepakat bahwa negara Indonesia yang hendak didirikan bersama adalah "negara republik" bukan "kerajaan". Dalam bentuk negara republik itulah sistem demokrasi adalah niscaya.

Demokrasi dalam konstruksi Francis Fukuyama adalah "jalan politik mulia dan beradab". Artinya dalam demokrasi mekanisme sirkulasi kekuasaan tidak boleh disandarkan semata mata pada "aturan" yang "direkapaksa" dan disesuaikan dengan syahwat politik pengiasa tapi pada level "ambang batas" kepatutan publik.

Kedua, dulu (1998) Soeharto "dijatuhkan" tidak satupun pasal dalam konstitusi dan peraturan perundang undangan yang dilanggarnya kecuali Soeharto abai pada ambang batas "kepatutan publik". 

Akal sehat publik selalu menemukan jalan takdirnya sendiri untuk melawan penguasa siapa pun dan di mana pun yang melampaui "ambang batas" kepatutan publik. Berkali.kali sejarah politik modern membuktikannya. Penguasa terbuai puja puji lalu secepat kilat dijatuhkan dengan cara hina dan nista.

Itulah pesan puitis Gusmus dan Gunawan Moehamad di atas dalam perspektif politik penulis dalam konteks fenomena "politik dinasti" dalam kontestasi pilpres 2024.

Maka sungguh diluar akal sehat jika ada pihak pihak mengklaim diri "gusdurian" (pengikut Gusdur) dan Gusmus tapi tidak mencegah praktek culas "politik dinasti" justru menjadi pendukungnya, sebuah praksis politik pengingkaran atas ambang batas kepantasan publik dan mewariskan prilaku politk mengangkangi hukum secara culas.

Wassalam.