PEMILU
Wednesday, 25 September 2024

KRIMINALISASI CAK IMIN DAN KEJAHATAN SKENARIO KUDETA PKB

User Rating: 1 / 5

Star ActiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

Pemanggilan KPK terhadap Cak Imin (kamis 7/9/2023) dibaca publik dalam percakapan di dunia maya dan ruang ruang publik sebagai bentuk aksi "kriminalisasi" politik. 

Pasalnya dari sisi momentum politiknya pemanggilan Cak Imin di atas terkait kasus dua belas tahun silam terjadi hanya selang beberapa hari pasca Cak Imin dideklarasikan sebagai cawapres dari capres Anies Baswedan (disingkat pasangan "AMIN").

Konstruksi atas dugaan "kriminalisasi" tersebut mudah dibaca publik berkaitan dengan pilihan politik Cak Imin yang "melompat" ke koalisi "perubahan", yakni koalisi di luar skenario bidak catur kepentingan politik dalam perspektif Jefry Wonters disebut "rejim oligarkhi" politik.

Hal ini tidak terjadi saat PKB selama satu tahun berkoalisi dengan partai Gerindra, partai yang taat "bermakmum" mengikuti kehendak politik "pak lurah" tetapi meletakkan PKB hanya subordinatif dari kepentingan dominan politiknya.

Analis politik Slamet Ginting dari Universitas Nasional (UNAS) menduga dibalik politik "kriminalisasi" ini ada "invisible hand", tangan tangan tersembunyi yang bekerja merancang "kudeta" Cak Imin dari posisi ketua umum PKB (Konten islam, 5/9/2023).   

Dugaan itu dalam persepsi politik terkoneksi dengan Yeny Wahid, puteri Gusdur yang selalu menyuarakan "wasiat" Gusdur untuk" take over" PKB dari Cak Imin , tokoh politik yang tak henti henti dinarasikan mengkudeta PKB dari Gusdur.

Jika "dugaan" spekulasi politik di atas benar adanya maka inilah cara paling "bar bar", biadab, merusak sendi sendi negara hukum dan prinsip negara demokrasi, tentu sangat berbahaya bagi stabilitas sosial politik.secara demokratis. 

Sejarah selalu menuntun bangsa ini untuk "chek out" dengan cara dan jalannya sendiri melepaskan diri dari rejim otoritarian jika hukum tercerabut dari "ruh" keadilan dan bergeser menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan rival rival politik.

Dalam perspektif penulis Yeny Wahid, generasi NU "well educated", generasi terdidik di negara AS dengan kematangan sistem demokrasi tidak perlu "tergoda" terlibat menjadi "pion" dalam permainan catur politik secara "inkonstitusional" untuk mengubah haluan koalisi PKB mengikuti skenario "oligarkhi politik" dalam konteks pilpres 2024.

 

Cara cara "inkonstitusonal" akan meruntuhkan reputasi Yeny Wahid sendiri sebagai aktivis pro demokrasi dalam mewarisi keteguhan Gusdur, ayahandanya, dalam perjuangan demokrasi. 

 

Justru Yeny Wahid seharusnya berdiri di lini paling depan untuk mengingatkan KPK tidak "tebang pilih" dalam pemberantasan korupsi, KPK tidak bekerja menjadi bagian dari instrument skenario kepentingan politik oligarkhis.

 

Terlepas dari spekulasi dugaan "kriminalisasi" Cak Imin dan kemungkinan kejahatan kudeta PKB di atas - hal penting harus membentuk kesadaran bersama bahwa sistem demokrasi yang sehat dan matang mengutip Willem Liddle mensyaratkan ketaatan pada hukum dan hukum bekerja dalam prinsip prinsip keadilan. 

 

Tanpa keadilan negara potensial "dilawan" oleh rakyatnya sendiri secara tak terduga dan sekuat apapun rejim politik di back up beton beton politik akan mempercepat "puing puing" keruntuhannya. Berkali kali bangsa ini telah membuktikannya.

 

Maka dalam konteks pilpres 2024 ini nikmatilah proses dinamikanya secara politik, penuh etika keadaban publik dalam kontestasi gagasan untuk membawa bangsa ke jalan peradaban masa depan. 

Pilpres 2024 satu sisi harus dijauhkan dari "cawe cawe" instrument hukum, tidak perlu terlibat jegal menjegal dalam.politik dan di sisi lain tidak perlu bermain "drama politik" berlebihan hendak menipu Tuhan seolah olah merasa "dikhianati" lalu mengadu kepada Tuhannya sambil meratap dan di ekspose di ruang publik. Menjijikan.

 

Demokrasi yang matang menunjukkan bangsa ini tidak angkuh sekaligus tidak "cengeng" - akan tetap "waras", adil dan beradab.

 

Wassalam.