lognews.co.id, Batam - Nelayan tradisional Batam, Kepulauan Riau terlempar keluar dari kapal akibat manuver yang dilakukan kapal patroli, polisi perairan Singapura (Police Marine Singapura) di perairan Pulau Nipah, Kota Batam, Selasa (24/12/2024) lalu.
Konflik dialami Mahadir bersama lima kapal nelayan lainya yang hendak memancing di Perairan Pulau Nipah, tiba-tiba ombak besar dari belakang menerjang kapalnya.
Salah satu korban bernama Hang Tuah mengatakan bahwa kejadian serupa sering kali terjadi. Nelayan sering diganggu seperti ini setiap kali melaut di daerah tersebut.
“Kapal patroli mereka datang dan membuat ombak besar yang membuat kami terjatuh atau kesulitan melaut,” kata Tuah.
Hang Tuah juga merasa kecewa dengan sikap yang ditunjukkan oleh kapal patroli Singapura. “Kami merasa seolah-olah mereka tidak senang dengan keberadaan kami di perairan tersebut. Padahal, itu masih wilayah Indonesia,” katanya.
Hang Tuah berharap agar pemerintah Indonesia dapat segera mengambil tindakan untuk melindungi nelayan lokal dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Konflik yang berulang di perairan perbatasan Singapura kepada Nelayan tradisional belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau, mendapat intimidasi tersebut Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Kepri dan Batam mendatangi Konsulat Jenderal (Konjen) Singapura di Batam pada Jumat, (27/12/2024), di Wyndham Panbil Hotel, Batam, untuk menyampaikan protes dan meminta klarifikasi mengenai insiden yang meresahkan nelayan setempat.
Ketua HNSI Kepri, Distrawandi, didampingi oleh pihak kepolisian untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan diterima dengan baik untuk menunjukkan bukti video asli kejadian tanpa adanya pemotongan atau editan. Video tersebut menggambarkan dengan jelas aksi intimidasi yang dilakukan oleh kapal patroli Singapura terhadap nelayan Indonesia.
“Pertemuan ini kami lakukan untuk menyampaikan secara langsung kejadian yang dialami oleh nelayan Belakangpadang. Kami datang hanya untuk bersilaturahmi dan menyampaikan keresahan nelayan yang merasa terganggu akibat manuver kapal patroli Singapura,” katanya.
Dijelaskannya bahwa mereka belum menerima keputusan dari pihak Konjen Singapura terkait peristiwa tersebut. Alasan dari pihak Konjen Singapura adalah terbatasnya kewenangan yang mereka miliki, sehingga mereka perlu berkomunikasi dengan pihak Marine Police Singapura sebelum memberikan tanggapan lebih lanjut.
“Kami akan melakukan langkah hukum, seperti somasi. Permintaan kami jelas, agar kejadian ini tidak terulang dan ada upaya untuk menghormati keberadaan nelayan Indonesia,” ujarnya.
Meskipun Singapura memiliki aturan sendiri terkait batasan wilayah laut mereka, tindakan manuver yang dilakukan oleh kapal patroli Singapura dapat dianggap sebagai bentuk arogansi.
“Jika ini terus terjadi, kami bisa saja melakukan tindakan yang serupa, karena kami memiliki lebih dari 8.000 nelayan di Batam yang dapat melakukan hal yang sama,” kata Wandi.
Ia mengharapkan agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi dan tidak menambah ketegangan antarnegara. (Amri-untuk Indonesia)