lognews.co.id – Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ma’had Al-Zaytun, Ustadz Mochammad Iqbal Aulia, S.Sos., menekankan pentingnya pendidikan berasrama sebagai sarana menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan kemandirian pada anak sejak usia dini. Hal ini ia sampaikan dalam program Obrolan Sore di 95,85 FM Prima, Senin (16/9).
Tantangan Pendidikan Berasrama
MI Al-Zaytun berbeda dengan sekolah dasar pada umumnya karena menerapkan sistem berasrama penuh. Sejak masuk, siswa tinggal di asrama tanpa pulang mingguan, kecuali pada waktu liburan tertentu.
“Memang usia SD biasanya masih butuh bonding dengan orang tua. Tapi di sini guru mengambil peran itu. Guru bukan hanya pendidik, melainkan juga orang tua pengganti selama mereka belajar,” ujar Ustadz Iqbal.
Untuk menjaga kedekatan dengan keluarga, pelajar tetap difasilitasi berkomunikasi dengan orang tua lewat jadwal khusus telepon maupun kunjungan. Pola ini, menurutnya, justru lebih efektif dalam membentuk kemandirian anak.
“Kalau tiap pekan pulang, mereka sulit kembali fokus belajar. Dengan sistem berasrama penuh, anak-anak jadi lebih mandiri, mentalnya lebih kuat, dan belajarnya lebih bagus,” tambahnya.
Strategi Pembentukan Karakter
Menurut Ustadz Iqbal, usia 6 -12 tahun adalah masa penting penanaman karakter. Karena itu, ada dua strategi utama: guru menjadi orang tua pengganti dan memastikan setiap anak memiliki teman dekat.
“Pertemanan yang kuat akan menjadi faktor penguat. Makanya dalam satu kamar hanya ada 6-8 murid, sementara di kelas 18-24 murid. Dengan begitu, ikatan sosial lebih mudah terbentuk,” jelasnya.
Guru pun harus aktif mengajarkan disiplin, tanggung jawab, empati, hingga cinta ilmu. Anak-anak juga dilatih mandiri, mulai dari membereskan kamar, mengatasi masalah sendiri, hingga bekerja sama dengan teman.
Rutinitas dan Kehidupan Pelajar
Sistem berasrama membuat keseharian Pelajar berlangsung dalam ekosistem pendidikan yang utuh.
“Sampai murid itu hanya mengenal dari asrama, ke sekolah, kemudian rumah makan, kemudian ke kantin. Terus kita itu ke asrama lagi,” ungkap Ustadz Iqbal.
Meski demikian, anak-anak tetap difasilitasi kegiatan luar kelas agar tidak jenuh. “Melalui kegiatan pelajaran luar kelas itu, kita buat kelompok-kelompok. Lalu kita berikan proyek kecil. Dari situ mereka belajar kerja sama, membagi tugas, bahkan belajar memimpin dalam lingkup kecil,” tambahnya.
Kurikulum Nasional dan Kekhasan Al-Zaytun
Sebagai madrasah di bawah naungan Kementerian Agama, MI Al-Zaytun tetap mengikuti kurikulum nasional yaitu Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Madrasah. Namun, ada kekhasan tambahan berupa kurikulum berbasis L-STEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics).
“Kurikulum ini dikembangkan melalui pembelajaran berbasis proyek, dengan pendekatan interdisipliner,” jelasnya.
Ustadz Iqbal menambahkan, kurikulum madrasah juga mengacu pada penguatan profil pelajar Pancasila dan Rahmatan lil ‘Alamin. Selain itu, pendekatan deep learning diterapkan melalui tiga unsur utama: mindful (berkesadaran), meaningful (bermakna), dan joyful (menyenangkan).
“Kami juga mengembangkan kurikulum cinta. Cinta kepada Allah dan Rasul, cinta tanah air, cinta sesama manusia, cinta lingkungan, dan cinta ilmu,” ujarnya.
Belajar di Alam dan Lingkungan Pesantren
Dengan luas area 1.800 hektar (300 hektar untuk fasilitas pendidikan), MI Al-Zaytun memiliki banyak sarana belajar. Dua hari dalam sepekan, pelajar diajak belajar di alam.
“Kalau sekolah lain bingung alamnya di mana, di sini kita bisa langsung bawa anak-anak ke sawah, kebun, istana pisang, rumah potong ayam, sampai penggilingan beras. Semua ada dalam satu ekosistem,” kata Ustadz Iqbal.
Kegiatan ini disesuaikan dengan usia. Siswa kelas 1 hanya menggambar ayam setelah melihatnya di rumah potong, sedangkan kelas 6 sudah diminta menulis karya ilmiah sederhana.
Sistem Keuangan dan Kemandirian Pelajar
Dalam kehidupan berasrama, siswa MI Al-Zaytun tidak diperbolehkan memegang uang tunai. Semua transaksi dilakukan melalui tabungan asrama dan diawasi wali kamar.
“Kalau mau jajan, anak melapor ke wali kamar. Data belanja dimasukkan ke sistem, lalu dibelanjakan di Toko Al-Zaytun. Transaksinya by data, bukan cash. Orang tua pun bisa memantau saldo dan pengeluaran lewat aplikasi E-Maz,” jelasnya.
Penanaman Nilai Nasionalisme
Selain aspek akademik dan sosial, penanaman nasionalisme juga menjadi bagian penting. “Sejak tahun 2013, setiap pagi siswa Al-Zaytun selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya,” ujar Ustadz Iqbal menegaskan.
Dengan sistem pendidikan berasrama, strategi pembentukan karakter, kurikulum terpadu, serta ekosistem pembelajaran yang luas, MI Al-Zaytun berupaya mencetak generasi muda yang mandiri, berkarakter, disiplin, dan siap menghadapi tantangan zaman. (Sahil untuk Indonesia)


