PEMILU
Thursday, 19 September 2024

Kemandirian Intelektual Syaykh Panji Gumilang Dalam Naskah Pembelaan, Menjawab Dengan Kecerdasan dan Merdeka Fikir

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

PLEDOOI ABDUSSALAM R. PANJI GUMILANG

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ .الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ .مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ .إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ .اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ .صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Pada hari ini, Rabu, 6 Maret 2024, saya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, atas nama diri saya, akan membacakan pledooi di hadapan Majelis yang terhormat.

Mohon ijin kepada Ketua Majelis Hakim  Yang Mulia dan Yang Arif, untuk saya dapat  membacakan pledooi ini.

 

Yang Mulia  Majelis Hakim,

Yang terhormat Jaksa Penuntut Umum,

Yang terhormat Penasehat Hukum,

Dan semua pengunjung  yang dihormati,

  السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Merdeka…!

Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa, saya mulai membaca pembelaan saya dengan judul : Pembunuhan Karakter Pribadi, Karakter Ilmiyah, dan Karakter Pendidikan.

 

Setelah saya simak dan baca Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap diri saya Abdussalam Panji Gumilang, yang dibacakan pada persidangan tanggal 22 Februari 2024, No.Reg.Perk: PDM-138/M.2.21/Eku.2/10/2023 Pada Pengadilan Negeri Indramayu.   

Surat Tuntutan tersebut pada intinya menuntut agar Majlis Hakim Pengadilan Indramayu yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan untuk menyatakan diri saya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia yang mengacu kepada pasal 156a huruf a KUHP. 

Pada Surat Tuntutan juga menuntut untuk menjatuhkan pidana terhadap diri saya dengan pidana penjara 1 (Satu) Tahun 6 (Enam) Bulan.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut sangatlah jauh panggang daripada api, jauh dari kesesuaian fakta persidangan yang terang benderang tidak dapat membuktikan dakwaan terhadap diri saya.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terasa sangat dipaksakan dan telah meruntuhkan nilai Kebenaran dan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sering digaungkan dan kita junjung bersama.

Maka, hal ini sangat berbahaya bagi kemajuan kehidupan peradaban bangsa Indonesia yang kita cintai, karena hal ini merupakan bentuk pembunuhan karakter pribadi anak bangsa, pembunuhan karakter ilmiah dan intelektual, serta pembunuhan karakter pendidikan yang merdeka. 

Adapun mengenai pendapat saya tentang beberapa hal dalam pemahaman dan gagasan keagamaan Islam yang saya yakini, dari yang saya pelajari dan alami dengan penuh kecintaan dan penghormatan sepanjang hidup saya, yang dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan ke-Islaman yang kuat, terdidik dan juga mendidik, dalam dunia pendidikan Islam bahkan lebih luas dari itu, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu masa ke masa yang lainnya hingga saat ini. 

Maka oleh karena itu izinkan saya, membaca dan menyampaikan nota pembelaan, sanggahan serta pendapat saya, terutama pada beberapa hal yang telah secara gegabah difatwai oleh lembaga non pemerintah yang bernama Majlis Ulama Indonesia atau disingkat MUI, yang mungkin karena kekurangan informasi, kelemahan penelusuran ilmiah, serta ketinggian hati mereka sehingga keluar fatwa MUI nomer 38 dan 47 tahun 2023.

Sesungguhnya fatwa tersebut sangatlah lemah dan seyogyanya tidak layak dijadikan dasar dan mempengaruhi proses hukum negara terutama pada Majelis persidangan yang mulia ini.

 

Dasar menegakkan shalat Jum’at (dalilnya) hanyalah wahyu Allah 

Didalam Al-Qur’an Surat ke 62 (Al-Jumu’ah) ayat : 9

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

Hai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.  Bagaimana kedudukan ayat ini ?  

Al-Qur’an surat ke 6 (Al-An’am) ayat 115  menjelaskan :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ115

Telah sempurna wahyu/firman (Al-Qur’an) Tuhanmu, dengan benar dan adil, tidak ada yang dapat mengubah wahyu/firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Karena ayat-ayat Al-Qur’an sering menjelaskan dan menguatkan ayat-ayat serta selalu berhubungan. 

Dari penjelasan ayat tersebut, bahwa ayat 62 Surat AlJumu’ah adalah sempurna, benar, dan adil, tidak boleh dirubah oleh apapun, tentunya dengan alasan apapun. Artinya: Hukum yang timbul dari perintah shalat Jum’at dari ayat tersebut (Surat Al-Jumu’ah ayat 9) adalah wajib bagi setiap individu orang yang beriman (Islam) laki-laki maupun perempuan, dan yang mukalaf (dewasa).

Jika MUI telah menetapkan hukum wajib bagi muslim laki-laki, dan tidak wajib bagi muslim perempuan, itu artinya MUI telah menganggap ayat tersebut (QS. Al-Jumu’ah ayat 9) tidak sempurna, tidak benar, dan tidak adil, dan telah merubah hakikat kebenarannya, dan telah mensubstitusi (memansukh) ayat (dasar/dalil) Shalat Jum’at yang benar itu.

Jika orang yang berkeyakinan dengan menetapkan hukum yang berbeda bagi kaum muslim laki-laki yakni wajib dan kaum wanita yakni tidak wajib, sedangkan dasarnya sama, itu artinya memansukh hukum wajib shalat Jum’at bagi seru sekalian muslim, muslimat yang telah mukalaf.

Hakikat nasikh/mansukh dalam Al-Qur’an telah dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri. Seperti yang tertera dalam QS. 2, AlBaqarah ayat 106 :  

مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ106

Ayat-ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.

Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Jika dasar/dalil shalat Jum’at itu dimansukh/disubstitusi nilai hukumnya, yakni menjadi tidak wajib bagi muslim perempuan, sudah barang pasti ada ayat lain penggantinya. Namun di dalam Al-Qur’an penggantinya tidak ada.

Bagaimana kalau ada matan hadits yang membatalkan hukum wajib shalat Jum’at bagi wanita?

Satu pertanyaan, dapatkah hadits membatalkan ayat  AlQur’an ?. Misal hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Thariq bin Syihab:

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Terjemahnya:

Dari Thariq bin Syihab RA bahwa Nabi SAW bersabda (shalat) Jum’at itu adalah suatu kewajiban atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat (golongan), yaitu hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit. (HR. Abu Dawud)

Jawabnya jelas: Sudah barang pasti tidak dapat. Karena kedudukan hadits dibawah wahyu Ilahi. Al-Qur’an, dalam hal tersebut, menjelaskan sebagaimana tercatat dalam Surat ke 8 – 45 (Al-Jatsiyah) ayat 6 

تِلْكَ اٰيٰتُ اللّٰهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّۚ فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَ اللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ يُؤْمِنُوْنَ6

Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan sebenarnya. Maka  dengan perkataan (hadits) mana lagi mereka akan beriman setelah Allah dan ayat-ayat-Nya? (6) 

وَيْلٌ لِّكُلِّ اَفَّاكٍ اَثِيْمٍۙ7

Celakalah setiap pembohong lagi bergelimang dosa (7)

يَّسْمَعُ اٰيٰتِ اللّٰهِ تُتْلٰى عَلَيْهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسْتَكْبِرًا كَاَنْ لَّمْ يَسْمَعْهَاۚ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ8

(Yaitu) orang-orang yang mendengar ayat-ayat Allah ketika dibacakan kepadanya, kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan tidak mendengarnya. Peringatkanlah dia dengan azab yang amat pedih. (8)

 

Dalam surat lainnya : QS.  7 (Al-A’raf) ayat 185-186:

 اَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ وَّاَنْ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ قَدِ اقْتَرَبَ اَجَلُهُمْۖ فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَهٗ يُؤْمِنُوْنَ185

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu, berita (hadits) mana lagi setelah ini/itu yang akan mereka percayai? (Ayat 185)

مَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ۖوَيَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ186

Barang siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk. Allah membiarkannya (mereka) terombang-ambing dalam kesesatan (ayat 186)

Keyakinan kami terhadap QS. 62 (Al-Jumu’ah) ayat 9 adalah: Wahyu Allah yang menunjuk kepada wajibnya shalat Jum’at bagi mukmin mukminat atau muslimin muslimat itu final, dan tidak dapat dihapus/dimansukh dengan apapun.

Adapun pihak yang menetapkan hukum Shalat Jum’at: Wajib bagi kaum muslim laki-laki dan tidak wajib/boleh bagi kaum muslimin perempuan, telah mengingkari makna perintah wahyu yang termaktub dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9.

Dalam hal seperti itu, kami tidak dapat melarang pendapat mereka. Namun ayat-ayat Al-Qur’an yang telah kami sampaikan, adalah menguatkan pendirian dan keyakinan kami, dalam menjalankan keyakinan keagamaan, maupun kebebasan kami, dalam menjalankan ibadah, menurut yang kami yakini.

Memang Al-Qur’an dalam perjalanan waktu, banyak kejadian kejadian dengan sengaja ataupun tidak       disengaja, meminggirkan, mengecilkan posisinya dalam meletakannya pada dasar-dasar keagamaan (Islam). Rasulullah telah bersabda dalam QS. ke 25 (Al-Furqan) ayat 30:

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا 30

Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan (disingkirkan).”  

 

Berbeda Pemahaman Maka Berbeda Kesimpulan.

Bagi pihak yang mengingkari hukum wajib bagi muslim perempuan, dalam melaksanakan Jum’at, maka kesimpulannya dalam pelaksanaan Jum’at tersebut, menjadi bertolak belakang dengan pihak kami yang berpegang wajibnya shalat Jum’at bagi seru sekalian muslim, laki-laki maupun wanita.

Pihak yang tidak mewajibkan shalat Jum’at bagi muslim wanita, menetapkan berbagai kaifiyat/cara pelaksanaan shalat Jum’at yang meletakkan wanita pada posisi yang tidak setara dengan muslim laki-laki dalam segala perlakuannya, dimulai dari hilangnya hak-hak muslimah sebagai imam shalat, khatib Jum’at dan lain-lain, sekalipun wanita muslimah itu mumpuni dalam berbagai hal tersebut.

Untuk menguatkan kesimpulannya, pihak MUI, yang jelas jelas melanggar kesetaraan muslim dan muslimah, pihak tersebut mengambil dalil QS. ke 4 An-Nisa ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ 34

Diterjemahkan sebagai berikut  :

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara ketika suaminya tidak ada.

Sedangkan kami menerjemahkannya mengikut terjemah AlQuran dari Departemen Agama Republik Indonesia sebagai berikut :

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki/suami) atas sebagian yang lain (perempuan-istri) dan karena mereka (laki-laki/suami) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga mereka. 

Kalau kita ikuti terjemah pihak kami, maka kita dapat memahami ayat tersebut, berkait dengan kehidupan suami istri yang semestinya suami menjadi pelindung istri, dan ayat ini didahului oleh ayat-ayat sebelumnya yang berkait dengan tata kehidupan rumah tangga. Ayat-ayat lanjutannya juga berkenaan dengan ketertiban dan keserasian hidup berumah tangga.

Lain halnya dengan terjemah pihak MUI yang tidak menampakkan ayat tersebut dengan etika kehidupan suami istri, namun sengaja menonjolkan kelebihan yang harus dimiliki oleh kaum laki-laki. 

Dapat kita telaah terjemah pihak MUI, secara logika, semua kaum lelaki harus menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, dan sebaliknya tidak ada kesempatan untuk perempuan. Ternyata pihak MUI  bermaksud meletakkan ayat ini sebagai pagar untuk Wanita, agar tidak menerobos hak-hak spesial laki-laki dalam hal kaifiyat shalat Jum’at yang sedang kita bahas.

 

Benarkah kaum laki-laki mutlak  pemimpin kaum perempuan ?

Dalam hal ini, kami tidak sedang membantah validitas QS ke 4 (An-Nisa) ayat 34. 

Yang kami bantah adalah diposisikannya oleh pihak MUI untuk memagari dan melindungi kaum wanita dalam hal kaifiyat shalat Jum’at. 

Yang kami pahami dari Al-Qur’an, keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia itu adalah untuk siapa yang paling tinggi ketaqwaannya kepada Tuhan YME.

Memang terjemah QS  ke 4 (An-Nisa) ayat 34 yang dibuat oleh pihak MUI itu, merupakan terjemahan yang aneh, dicari cari, dicocok cocokkan, ujungnya tampak kekeliruannya.

Mari kita baca QS ke 49 (Al-Hujurat) ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 13

Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Pemimpin itu bisa juga disebut imam. 

Akar kata imam dari kata ummun / أ  م / أ م م ,  berarti ibu/induk.

Daripadanya keluar ummatun أ مة  /  ام م ة, berarti para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama, penganut nabi atau juga makhluk manusia. 

Berlanjut kepada imaamun    إ ما م   /  ا م ا م   berarti pemimpin shalat (pada shalat Jum’at dll) atau pemimpin.  

Daripadanya  keluar kata imamah  إ ما مة/   إم ا م ة  , berarti kepemimpinan. 

Daripadanya keluar kata ummiyyun  أ   مي  / ا م م ي ي  artinya keibuan. Menurut banyak orang, bahkan hampir semua kamus bahasa mengartikan buta huruf, sedangkan menurut pemahaman hasil bacaan sejarah yang kami dapatkan, arti

ummiyyun  أ  مي   adalah bukan ahli kitab -  غير  الكتا بيين 

Kami maksudkan dengan uraian kata  أ م  (ibu) diharapkan jangan ada pemahaman yang meletakkan kaum wanita itu rendah posisi, yang posisi super hanya pria.

Terjemahan pihak MUI terhadap QS ke 4 (An-Nisa) ayat 34 bertentangan dengan maksud QS 49 (Al-Hujurat) ayat 13. “Kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum Perempuan”.

Sedangkan maksud QS 49 (Al-Hujurat) ayat 13, menampilkan kesetaraan kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Kemudian yang dapat mengangkat dirinya ke taraf terbaik, yakni taraf pemimpin/imam atau taraf utama lainnya, adalah nilai keutamaannya kepada Tuhan YME.

Semangat Al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah Swt (wahyuNya) mengangkat derajat manusia dan kemanusiannya dalam kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum Wanita. Menghapus sikap jahiliyah (masa sebelum bi’tsatun Nabi), dimana wanita tidak dihargai keberadaannya dan hanya mengagungkan kaum laki-laki.

Kesetaraan, maknanya persamaan hak. Artinya juga tidak mengagungkan wanita dari kaum laki-laki, seperti zaman Fir’aun di Mesir. Dalam sejarah, Fir’aun membasmi kaum lelaki. Dan membebaskan hidup kaum wanita. 

Risalah Rasulullah dengan ajaran Al-Qur’annya menuju kesetaraan dan saling menguatkan antara kaum laki-laki dengan kaum Wanita, berdasar kebaikan dan ketaqwaan.

Al-Qur’an menasehati kita dalam QS 5 (Al-Maidah) ayat 2:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ انَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Janganlah sampai kebencianmu kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan (berdasar) ketakwaan kepada Tuhan YME,  dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (berdasar) permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh sangat berar siksa Allah itu.

Bimbingan Al-Qur’an dalam kebersamaan dan kesetaraan antara mukminin dan mukminat: Al-Qur’an mengingatkan kepada kita, kaum beriman dalam QS ke 8 (Al-Anfal) ayat 73

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ73

Dan orang-orang yang kafir (menentang), sebagian mereka pelindungi  yang lain, jika kamu tidak melaksanakannya (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan besar.

Itulah sikaf orang-orang yang kafir (menentang) kepada Allah, mereka saling tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala hal urusan merteka. Kalau kita tidak berbuat seperti itu, menurut Al-Qur’an, akan terjadi kekacauan besar di bumi.

Saling melindungi disegala bidang kehidupan sosial maupun kehidupan keagamaan. 

Al-Qur’an menjawab tantangan ini dengan menggambarkan, sikap mukmin semestinya seperti yang tercermin dalam QS ke 9 (At-Taubah) ayat 71:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ 71

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Menjadi penolong disini dalam segala hal, dalam arti seluas- luasnya, dalam mewujudkan darma bakti sampai pelaksanaan pengabdian, peribadatan, dalam bentuk ibadah mahdhah atau ibadah ghairu mahdhah.

Ajaran Al-Qur’an semakin jelas, mendudukkan perkara kesetaraan dalam peribadatan, seperti yang dibimbingkan  kepada kita di dalam QS ke 33 (Al-Ahzab) ayat 35:

اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذَّاكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا 35

Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, lakilaki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.  

Lebih rinci lagi kesetaraan dalam beribadat kaum muslimin muslimat dan mukminin serta mukminat, dijelaskan di dalam QS ke 48 (Al-Fath) ayat 29:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗ 29

Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.

Rentetan ayat-ayat yang kami nukil, semuanya meletakkan kedudukan muslimin muslimat, mukminin mukminat, dalam kesetaraan, tidak ada yang lebih tinggi diatara mereka. Penilaiannya terletak seberapa tinggi nilai ketaatan maupun ketaqwaan mereka kepada Tuhan YME.

 

Bimbingan Rasulullah Tentang Teknis Penetapan Kepemimpinan Dalam Beribadat (Shalat misalnya) :

Rasulullah secara spesifik memberi bimbingan teknis memilih imam shalat (dalam shalat berjamaah) mengingat masa kebersamaan baginda bersama ummat pasti terbatas, sedangkan perjalanan risalah dan agama yang didakwahkannya, pasti terus berkembang, dan umat akan semakin membanyak.

 

Siapakah yang lebih pantas menjadi imam shalat berjamaah? 

Sesungguhnya yang lebih pantas menjadi imam shalat berjamaah, ialah orang pilihan diantara yang ada. 

Bimbingan Rasulullah Saw mengenai hal ini, sabda beliau dalam hadits riwayat Daruquthni dari Ibnu Umar sebagai berikut:

إِجْعَلُوا أَئِمَّتَكُم خِيَارُكُم فَإِنَّهُمْ وَفْدُكُمْ فِيمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبُّكُمُ

Jadikanlah imam imam untuk kamu semua, orang pilihan diantara kamu, karena mereka (imam-imam) itu adalah perantara kamu semua dengan Tuhan kamu semuanya.

Apabila kita melaksanakan shalat jamaah bersama pimpinan Negara, maka pimpinan Negara itulah yang lebih patut untuk menjadi imam shalat tersebut.

Dan hendaklah diutamakan untuk menjadi imam, orang yang lebih baik dalam membaca Al-Qur’an, sesudah itu yang lebih memahami sunnah (hukum-hukum ibadah), sesudah itu yang lebih berumur.

Tuntunan Nabi SAW dalam HR Muslim, Abu Dawud:

يوم القومَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءٍ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءٍ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءٍ فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا

Jamaah di imami oleh orang yang lebih pandai membaca kitab Allah, maka jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka orang yang lebih ‘alim tentang sunnah, jika sama-sama ‘alim tentang sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah, jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua usianya

Dari semua uraian, baik bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an, maupun Al-Hadits, memberi bimbingan kepada kita bahwa wujudnya kesetaraan wanita-pria, muslim-muslimat dijunjung tinggi. Dalam hal penetapan imam shalat berjamaah pun, tidak terdapat pembedaan kedudukan pria maupun wanita.

Berbagai perintah pelaksanaan ibadah, baik berdasar AlQur’an maupun Al-Hadits, secara etimologi lafadz perintah selalu menggunakan wazan mudzakar, namun secara makna adalah ditujukkan kepada seluruh umat muslim laki-laki maupun wanita.

Contoh :  Perintah shalat 

أَقِيمُوا الصَّلوة

perintah zakat   

وأتُوا الزَّكوة  

Perintah shaum/puasa :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنْتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Perintah haji :

وَأَتِمُوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

Secara kebahasaan semua perintah tadi, berwazan mudzakar, namun maknanya untuk seluruh umat Islam, pria maupun wanita. 

Karenanya kami dapat menyimpulkan, terutama untuk kewajiban shalat Jum’at, hukumnya wajib bagi semua orang beriman/islam laki-laki maupun perempuan. Sedangkan imam shalat Jum’at maupun khutbahnya, dapat dilaksanakan oleh wanita maupun pria, menurut syari’at/ketentuan Allah yang telah diurai terdahulu.

Tentang hadits Thariq bin Syihab

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ

عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Dari Thariq bin Syihab RA bahwa Nabi SAW bersabda: shalat Jum’at itu adalah suatu kewajiban atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali 4 golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak kecil, dan orang sakit. (HR. Abu Dawud)

Penjelasan dan Pendapat

Bahwa mereka yang dikecualikan, yakni hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit adalah pengecualian bagi mereka. Yakni tidak wajib menghadiri jamaah Jum’at bukan tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at.

 

 

Sanggahan terhadap Fatwa MUI

Ketetapan fatwa:  Fatwa tentang Hukum Wanita menjadi khatib dalam rangkaian Shalat Jum’at

Pertama : Ketentuan hukum

1. Shalat Jum’at wajib atas muslim laki-laki dan boleh bagi perempuan.

Sanggahan kami :

Berdasar QS ke 62 (Al-Jumu’ah) ayat 9: Ayat ini sempurna, benar dan adil, dan tidak dimansukh oleh ayat-ayat apapun yang ada dalam Al-Qur’an. 

Adapun Hadits Riwayat Abu Dawud dari shahabat Thariq bin Syihab tertera dalam uraian terdahulu, tidak dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at bagi seluruh mukmin laki-laki maupun perempuan. 

Fungsi hadits tersebut, mengecualikan 4 kelompok untuk tidak menghadiri shalat Jum’at secara berjamaah, yakni bagi mereka wajib melaksanakan Shalat Jum’at di tempat masing-masing, tanpa harus hadir ke masjid. Itulah bentuk tafsir Al-Qur’an oleh hadist atau sunnah rasul. Bukan memansuhkan al-Qur’an.

Shalat apa mereka? 

Mereka wajib shalat Jum’at.

Bagimana pelaksanaannya?   

الأَصْلُ يَوْمَ الجُمعَةِ الجُمعَةُ لَا الظُهْرِ

Hukum pokok pada hari Jum’at, adalah shalat Jum’at, bukan Dhuhur. 

 

Maka pelaksanaan shalatnya kita ikuti bimbingan Rasulullah:

صَلَاةُ السّفَرِ رَكْعَتَانِ وَالجُمعَةِ رَكْعَتَانِ، وَالْعِيْد رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ» عَلَى لسَانِ نبيكم صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Shalat musafir dua rakat, shalat Jum’at dua rakaat, shalat ‘id dua rakat, sempurna bukan qashar. Demikian perintah Allah atas lisan

Nabimu. (HR. Ibnu Majah)

Nyata bahwa shalat hari Jum’at dua rakaat, baik dikerjakan berjamaah, maupun dikerjakan bersendiri.

Ringkasnya: Kami tidak sanggup memansukhkan sedikitpun QS ke 62 (Al-Jumu’ah)  ayat  9                

نعوذ بالله من الشيطان الرجيم

2.    Khutbah Jumat merupakan rukun dalam shalat Jum’at.

Khutbah sebagaimana pada angka 2 merupakan bagian dari ibadah mahdhah yang harus mengikuti ketentuan syari’at yang diantaranya adalah harus dilakukan oleh laki-laki.

3.    Khutbah sebagaimana pada angka 2 yang dilakukan wanita dihadapan jamaah laki-laki, hukum khutbahnya tidak sah.

4.    Shalat Jum’at yang khutbahnya dilakukan oleh wanita dihadapan jamaah laki-laki hukum shalat Jum’atnya tidak sah.

Sanggahan kami :

Ketentuan hukum poin 2, 3, dan 4 yang ditetapkan oleh Fatwa MUI bukan merupakan syarat mutlak yang wajib dita’ati oleh siapapun, sebab bertentangan dengan uraian ayat-ayat Al-Qur’an yang telah kami cantumkan di awal uraian kami.

5.    Meyakini bahwa wanita boleh menjadi khatib dalam rangkaian shalat Jum’at dihadapan jamaah laki-laki merupakan keyakinan yang salah yang wajib diluruskan dan yang bersangkutan wajib bertaubat.

Sanggahan kami :

Keyakinan kami dalam beragama berdasar ajaran ilahi, tidak siapapun dapat menghalangi, apalagi menyalahkan dengan menggunakan dasar yang tidak jelas. 

Disinilah makna suatu kebebasan melaksanakan keyakinan dalam beragama. Kekuasaan apapun tidak boleh mengganggu pelaksanaan sebuah keyakinan beragama. Saya sepakat atas perbedaan yang ada. Bagimu keyakinanmu dan bagi kami keyakinan kami.

Hanya Fir’aunlah yang mengaku     

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَي 

(Akulah penguasa pemilik hukum yang paling unggul).

 

 

Rekomendasi Fatwa MUI

1.    Umat Islam dihimbau untuk berpegang teguh pada ajaran agama yang lurus dan mewaspadai segala bentuk penyimpangan.

2.    Umat Islam diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan untuk anak-anak mereka.

3.    Negara wajib menjamin perlindungan terhadap ajaran agama dari penyimpangan, penodaan, dan penistaan.

 

Tanggapan:

Rekomendasi poin 1, 

Kalau mengaku sebagai lembaga yang kredible, semestinya menampilkan lisanul hal  bukan lisanul maqal, karena lisanul maqal seperti yang tertera dalam fatwa ini hanya membikin bodoh sebagian umat dan membikin munafik sebagian lainnya.

Rekomendasi no. 2

Ungkapan umat Islam diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan untuk anak anak mereka.

Tanggapan :

Kami selaku pemangku Lembaga Pendidikan, anjuran semacam ini sangat tendensius. Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi cita-cita kemerdekaan, utamanya adalah mencerdasakan kehidupan bangsa. Sejak dahulu kala, berpartisipasi untuk mewujudkannya dalam bentuk pelaksanaan pendidikan yang sebagian besar melalui Lembaga-lembaga pendidikan swasta dengan usaha yang telah diakui oleh negara.

Sebagaimana yang kami wujudkan, sebuah pendidikan swasta penuh, berdiri dengan izin Departemen Agama sejak tahun 1999 sampai dengan hari ini, berjalan dengan baik dan lancar. 

Dari sejak awal diberi izin berdiri, dilanjutkan dengan diakui, selanjutnya diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional. Lembaga Pendidikan kami dari Tingkat Dasar/Ibtidaiyah sampai Tingkat Menengah Atas/Aliyah, keseluruhannnya mendapatkan Akreditasi A Unggul.

Inilah sebuah Lembaga Sosial Masyarakat yang beraktivitas secara lisanul hal dan bukan lisanul maqol, yakni cuap cuap dibungkus Fatwa oleh Lembaga Sosial Masyarakat yang mengeluarkan fatwa tersebut.

 

Rekomendasi no.3 

Lembaga wajib menjamin perlindungan terhadap agama dari penyimpangan, penodaan dan penistaan.

Tanggapan  :

Negara Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945,  berlandaskan Pancasila. Dalam hal keagamaan, negara menjamin kebebasan pelaksanaan keyakinan beragama bagi setiap warga negaranya.

Umat beragama Indonesia memiliki kebebasan menjalankan apa yang diyakini, dalam menjalankan agama dan keyakinan yang dipercayainya itu. Hendaknya jangan ada Lembaga apapun yang merasa punya wewenang lebih dari yang dimilikinya.

Pembelaan kami terhadap kebebasan beragama, wa bil khusus terhadap umat islam, melibatkan dua prinsip yang saling bertautan: 

  • Pemisahan Negara Pancasila dari pengendalian terhadap praktek agama yang sepenuhnya atas hati Nurani dan kebebasan individu.
  • Negara Pancasila bukan negara agama.

Kami faham/tahu tanpa ditetapkannya prinsip pertama sebagai kebijakan pemerintah, tidak akan ada jaminan terwujudnya prinsip kedua. Dan sejujurnya bahwa pemerintah semestinya, dia hanya memiliki otoritas sipil, bukan spiritual terhadap rakyatnya.  Selama rakyatnya tetap taat hukum positif yang ditetapkan negara, pemerintah semestinya tidak memiliki hak untuk turut campur dalam hal kehidupan spiritual keagamaan mereka, apapun agama yang dianut oleh rakyatnya, Islamkah agamanya, atau agama apapun yang dianut oleh rakyatnya.

 

Ketentuan Penutup Fatwa MUI 

Diktum : 

Jika dikemudian hari diperlukan penyempurnaan, akan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Tanggapan :

Sejak diberlakukannya fatwa ini, tanpa menunggu waktu lama, sudah bernilai tidak sempurna, sebab dalam meletakan dalil yang mereka ingat ayat QS. Al-Jumuah itu, diyakini tidak sempurna, tidak benar dan tidak adil, sehingga menghasilkan hukum yang tidak integrited, mendua, menyakini sebagian dan mengingkari sebagian lainnya, atau munafiq.

Penyempurnaanya adalah: mengabaikannya, yakni dipandang rendah, tidak diindahkan, dilalaikan, tidak digunakan, tidak dipedulikan, dibiarkan terlantar, tidak perlu dipegang teguh.

Diktum:

Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan ini.

Tanggapan: 

Kami faham pihak yang memerlukan fatwa yang dimaksud oleh MUI adalah Dirtipiddum Bareskrim Polri, dengan suratnya Juli 2023 perihal permintaaan Fatwa MUI.

Dengan fatwa ini menjadi dasar utama Dirtipiddum Bareskrim Polri dan juga Jaksa Penuntut Umum, untuk mendakwa Abdussalam Panji Gumilang sebagai penista agama.

Kami teringat keterangan saksi ahli dari pihak MUI Prof. Amin Suma mengatakan Nabi adalah Mufti. Rupanya setinggi itu imajinasi para Mufti MUI ini, memosisikan diri setara dengan Nabi, ada hadis melayu berbunyi: hidung tak mancung pipi didorong-dorong pula.

Kalau dicermati fatwa MUI nomor 38 ini adalah fatwa transaksional. Dalam sekejap waktu telah memproduksi beberapa fatwa pesanan. Setelah fatwa nomor 38, maka ada lanjutannya nomor 47 dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (kami ulas setelah nomor 38)

Karena imajinasinya terlalu tinggi (menyamakan nabi dengan mufti), sedangkan kemampuannya sudah kadaluarsa, sehingga kecerdasannya dalam memahami wajibnya sholat Jum’at, dapat membikin sebagian umat menjadi bodoh dan membikin sebagian lainnya menjadi munafiq

Mufti MUI terjebak dalam karakter anal, yakni perilaku yang menampilkan ketiadakmampuan untuk mengendalikan inpuls (gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang benar).

Al-Qur’an  Kalam Nabi Muhammad Yang Didapat Dari Wahyu Allah .

Kalam adalah perkataan, artinya Al-Qur’an adalah perkataan Nabi yang didapat dari wahyu Allah.

▪     Adapun wahyu adalah petujuk dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi dan Rasulnya, melalui berbagai cara, mimpi dan sebagainya.

▪     Yang dimaksud Rasul disini adalah: menurut Islam, orang yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk disampaikan kepada umat manusia. Sedangkan menurut Kristen adalah murid Nabi Isa AS yang mula-mula mengajarkan agama Kristen.

▪     Dan Al-Qur’an bukan kalam Allah, dimaksudkan, bahwa Allah kalam-Nya tidak dapat dimisalkan dengan kalam / perkataan makhluk (manusia), sekalipun Allah memiliki sifat mutakallim (berbicara) dan kalam berdasar wahyuNya dalam QS ke 42 ( Asy-Syuro)  ayat 11

 لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Tidak ada sesuatupun yang menyerupai dengan Dia. Dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat. 

Artinya segalanya 

مُخَالِفٌ لِلْخَلْقِ بالاطلاق 

 (berbeda dengan mahluk secara mutlaq) termasuk didalamnya adalah kalam-Nya.

▪     Akan halnya wahyu yang didapat oleh Rasulluah Muhammad Saw berupa Al-Qur’an benar-benar dari hadirat Allah SWT, bukan dari pada yang lainnya. Sebagaimana termaktub dalam QS ke 69 Al-Haqqoh ayat 40 sd. 48 .

اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ40

40.  Sesungguhnya ia (Alquran) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia,

وَّمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍۗ قَلِيْلًا مَّا تُؤْمِنُوْنَۙ41

41.  dan ia (Alquran) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu yang beriman kepadanya.

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ42

42.  Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu yang mengambil pelajaran darinya.

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ 43

43.  Ia (Alquran) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْاَقَاوِيْلِۙ44

44.  Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,

لَاَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِۙ45

45.  pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya.

ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَۖ46

46.  Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya.

فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَۙ47

47.  Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).

وَاِنَّهٗ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ 48

48.  Dan sungguh, Alquran itu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

 

Dalam QS ke 53 (An-Najm) ayat 2 sd. 5 

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ 2

2.    Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى3

3.    Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya.

اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ 4

4.    Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),

عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ 5

5.    Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.

 

Dalam QS ke 36 ( Yasin) ayat 69 sd.70 

وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ69

69.  Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas,

لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ70

70.  agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.

Bahasa yang dipergunakan oleh Al-Qur’an.

Bahasa al-Qur’an baik verbal maupun scripta, menggunakan bahasa arab, yakni bahasa umat manusia suku bangsa Arab yang detailnya dapat dipelajari oleh siapa saja dari umat manusia. Berbentuk berhuruf, berkata dan berkalimat, dapat dipelajari (يُكَيَفْ ) sedangkan bahasa Tuhan (kalam Tuhan) tidak dapat dimisalkan dengan apapun  مُخَالِفٌ لِلْخَلْقِ بالاطلاق  berbeda secara mutlak dengan mahluknya.

Namun karena Al-Qur’an itu adalah wahyu Allah, yakni petunjuk Allah kepada Rasulluh Muhammad SAW, sudah barang pasti baginda Rasulluh dengan kecerdasan tinggi yang dimiliki dari Allah, baginda mampu mendzahirkan dengan bahasa baginda yakni Bahasa Arab, seperti yang dapat kita dengar dan baca saat ini.

Baginda Rasullauh SAW juga para utusan Allah yang lainnya dianugerahi karakter yang unggul yakni sifat kejiwaan, akhlak, atau budipekerti yang membedakan diri baginda (para Rasulullah) dengan yang lain (berbentuk watak maupun tabi’at). Sehingga terjauh dari karakter anal (perilaku yang menampilkan ketidak mampuan untuk mengendalikan inpuls) (gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba) untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan.

Karakter unggul anugerah Allah itu berbentuk Al-Fathonah ( الفطانة) yakni kecerdasan/ cerdas, yaitu sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, untuk mengerti atau tajam pikiran.

Dalam kecerdasan yang dianugerahkan kepada baginda Rasulullah Saw itu sudah barang pasti meliputi:

▪     Kecerdasan emosional: kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, mahluk lain, dan alam sekitar .

▪     Kecerdasan intelektual: kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan diri untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain. Sudah barang pasti Rasulullah yang seperti ini bukan orang yang ummi buta-huruf. Karena arti dari pada ummiyun adalah ghoiruul kitabbiyin ( َغَيْرُ الْكِتَابِيِّيْن)   Kecerdasan spritual: kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, mahluk lain dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.  

Itulah karakter dasar Rasulullah SAW (para Rasul). Karakter dasar ini, tegak berdiri diatas trismegistus (tiga sifat agung) ass-sidqu (الصدق), al-tabligh (التبليغ) al-amanah (الامانة) atau dalam kata lain :     

الْفَطَانَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى ثَلَاثِ صِفَاتٍ عَظِيمَةِ يَعْنِي الصِّدْقُ وَالتَّبْلِيغُ وَالْامَانَةُ

 

Sifat Nabi :

Sifat berarti rupa dan keadaan yang tampak pada nabi, atau tanda lahiriah pada nabi yaitu :

Sifat al-shidqu (الصِدْقُ) adalah sifat selalu benar atau jujur dalam segala hal.

Sifat al-tabligh (التَّبْلِيغ):  Sifat menyiarkan, menyampaikan wahyu, ajaran Allah, atau segala yang didapat dari risalah Tuhan (ilmu pengetahuan dari Tuhan) kepada segenap umat manusia.

Sifat al-amanah (الأمَانَة):  Sifat dapat dipercaya, atas segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya.

Dari berbagai sifat yang dianugerahkan Allah kepada nabiNya inilah, maka baginda Rasulullah SAW terpelihara dari dosa dan kesalahan/terbebas dari dosa dan kesalahan (maksum/معصوم), melebihi maksumnya malaikat.

Dari karakter cerdas (  الفطانة) dan trismegistus (tiga sifat agung) al-sidiq (الصِدْقُ ), al-tabligh (  التَّبْلِيغ ), al-amanah (الأمَانَة) inilah maka dari seorang Rasulullah Muhammad

SAW,  pertumbuhan demografi umat Islam menjadi sangat menakjubkan. Tidak sampai satu milenium setengah (1392 tahun), sejak wafat baginda jumlah umat islam di dunia mencapai 2.190.000.000 orang (27,3%) dari 8 milyar orang penduduk dunia.

Maka jika diurai secara lingustik, Rasulullah SAW merupakan ummun, induk (   أ م  ) berkembang menjadi ummatun (  أُمَّة) Sehingga wujudlah pimpinan dari masa ke masa imamun (  إ مَا م), maka perkembangan seperti itu Rasulullah tampil sebagai ummiyyun       (أُمّي )       keibuan/induk, dari umat muslim/islam  

أم - أمَّة - إمَامَةٌ - إِمَامٌ - أُمّي

Untuk mengabadikan wujud Al-Qur’an yang berbahasa arab ini, Rasulullah dengan fathonahnya (kecerdasannya) dalam hal al-Qur’an, baginda selalu menyimpannya dalam hafalan beliau dan dibacakan untuk disimpan dalam hafalan para sahabat baginda. 

Sejak baginda hidup, Al-Qur’an sudah dicatat/dituliskan dengan menggunakan tulisan, yang ditulis oleh segenap sekretaris baginda. Baginda sangat faham bahwa : verba volant, scripta manent (ungkapan hanya dengan kata-kata akan lenyap, yang dituliskan berlaku abadi).

Maka Al-Qur’an sampai hari ini tetap dihafal dalam dada para huffadz dan tertulis abadi dalam mushaf seperti yang kita baca hari ini dan sampai kapanpun.

Simpul kata: Al-Qur’an adalah kalam/kata-kata Rasullah yang didapat dari wahyu ilahi/Allah SWT berhasa arab bahasa Rasulullah bukan kalamullah karena Allah  

ليْسَ كَمَثَلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 dan Allah   مُخَالِفٌ لِلْخَلْقِ بِالِاطْلَاقُ

Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia bahkan kitab ini menamakan dirinya ”petunjuk bagi manusia”, sebagaimana termaktub dalam QS ke 2 ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 185

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan AlQur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

Karenanya Al-Qur’an itu kohesif, ayat-ayatnya saling  menjelaskan (menafsir) 

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, kecuali Kami datangkan kepadamu kebenaran dan penjelasan (tafsir )yang terbaik.    QS. Al-Furqan (25) : 33.

Keterangan ahli  yang dihadirkan oleh JPU, dalam menjawab pertanyaan Yang Mulia Majlis Hakim, tentang : Bahasa apa yang digunakan oleh Nabi Sulaiman terhadap semut?. Ahli menjawab : Dengan bahasa Tuhan, yang tidak dapat divisualkan dengan bahasa manusia. Sebab kalamullah tidak dapat dibayangkan oleh manusia. Dengan menggunakan istilah:  

مَالَا عَيْنُ رَاءَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ ، وَلَأَخَطَّرَ فِي قَلْبِ بَشَرٍ

Yang maksudnya: sesuatu yang mata tidak dapat melihat (menyipati) dan telinga tidak dapat mendengarnya, dan hati (pedalaman) manusiapun tidak dapat merasakannnya.

Dengan jawaban itu seluruh yang mendengar jawaban ahli, merasa sangat janggal karena sedang berbicara tentang Nabi Sulaiman AS bicara dengan semut. 

Sedangkan perkara itu diabadikan didalam QS ke 27  ayat 16-18:

وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاوٗدَ وَقَالَ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَاُوْتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍۗ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِيْنُ 16

16.  Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, "Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia

 yang nyata."

وَحُشِرَ لِسُلَيْمٰنَ جُنُوْدُهٗ مِنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوْزَعُوْنَ 17

17.  Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin,  manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib.

حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ 18

18.  Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, "Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarangsarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari."

Dialog ini tertera dalam Al Qur’an yang merupakan wahyu Tuhan YME ( Allah SWT) jelas dalam Bahasa Arab yang dapat ditelaah dengan mata, didengar dengan telinga dan dibaca dengan lisan. Ungkapan-ungkapan/dialog tentang Sulaiman dan semut ini adalah bahasa yang digunakan oleh

Nabi Muhammad SAW atas bimbingan wahyu dari Allah SWT.

Lantas apa yang menjadi penghalang jika ada yang menyampaikan bahwa Al-Quran adalah kalam Nabi Muhammad yang didapat dari wahyu Allah dan bukan Kalamullah, maka singkatnya bahasa yang digunakan Nabi Sulaiman terhadap semut adalah Bahasa Arab, bahasa manusia, menurut tuntunan Al-Qur’an .

Tentang Lafadz Tafassahu dalam QS ke 58 (Al-Mujadilah) ayat 11,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ11

11.  Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Sesungguhnya bagi orang yang memiliki kecerdasan, tidak terlalu sulit memahami ayat ini, kalau tidak dibuat sulit. Kemudian menjadi sulit karena semua diletakkan serba sulit, artinya tidak terlalu cerdas. Kalau difahami secara perlahan, ayat ini menganjurkan memperluas jarak atau menciptakan jarak yang bagus dalam majelis. Kitab-kitab Tafsir sudah mengurai tentang ini, seperti halnya Syaykh Muhammad Thahir Ibnu Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa Tanwir menjelaskan bahwa yang dimaksud majelis itu adalah majelis ilmu, ada yang mengatakan majelis shaf shalat, dan ada pula yang mengatakan majelis Nabi atau majelis khair.

Lebih netral lagi seperti Abu Ja’far bin Muhammad Ibnu Jarir Ath-Thabary, yang hidup pada 224-310 H / 803 – 889 M. menyampaikan kalau sudah diperintah berdiri maka berdirilah untuk mengerjakan kebaikan dan shalat. 

Kemudian, apalagi yang membikin pening kepala para mufti MUI. Tentang ayat ini saja sudah kewalahan membaca dan menyimpulkannya. Bacalah baik-baik wahai saudara-

saudaraku. Kalau malu bertanya,  sesat dijalan. Kalau malas membaca, fatwanya membikin bodoh sebagian orang dan juga membikin  munafik sebagian lagi. 

Sesungguhnya hal ini tidak perlu ditanggapi. Namun karena ini bab kebebasan ilmiyah,  maka perlu disampaikan. 

Kelompok manusia itu ada 4. 

Kelompok pertama

رَجُلٌ يَدْرِى وَيَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِى فَهُوَ عَالِمٌ فَا تَّبِعُوْهُ

Biasanya orang yang masuk kelompok ini, itulah orang alim yang suka membaca dan mengerti apa yang dibaca dan tidak bakal menghukumi orang, karena memang memiliki karakter yang kuat, cerdas dan pasti tidak berkarakter anal. 

Kelompok kedua:

رَجُلٌ يَدْرِى وَلَا يَدْرِى أَنَّهُ يَدْرِى فَهُوَ نَائِمٌ فَاسْتَيْقِضُوْهُ

Orang yang mengerti namun tidak faham bahwa dirinya mengerti, itulah orang yang mungkin “ kebanyakan makan”, ia tertidur. Maka bangunkanlah orang yang tertidur itu.

 Kelompok ketiga:

رَجُلٌ لَا يَدْرِى و يَدْرِى أَنَّهُ لَا يَدْرِى فَهُوَ مُسْتَرْشِدٌ فَارْشُدُوْهُ

Golongan ini, merupakan golongan orang yang tidak mengerti, namun dirinya memahami dan menyadari bahwa dia tidak mengerti, maka inilah orang-orang yang mencari petunjuk. Tunjukilah orang-orang ini supaya mengerti.

 Kelompok keempat: 

رَجُلٌ لَا يَدْرِى وَلَا يَدْرِى أَنَّهُ لَا يَدْرِي فَهُوَجَاهِلٌ مُرَكَّبٌ فَاجْتَنِبُوهُ

Golongan keempat orang yang tidak mengerti kemudian tidak mau mengerti, Itulah orang Jahil kuadrat. Amit amit jauhilah dia.

Fatwa MUI no. 38 dan No. 47 nilainya setali tiga uang. Intinya fatwa orang-orang yang kurang membaca ajaran ilahi. Maka hasil fatwanya mengajari Tuhan YME dengan pemahaman  agamanya. Itulah orang yang gumede, adigung bahkan somb-somb. Sebagaimana bimbingan Nabi yang didapat dari wahyu ilahi dalam QS ke 49 ayat : 16

قُلْ اَتُعَلِّمُوْنَ اللّٰهَ بِدِيْنِكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 16

Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberi tahu ( mengajari ) Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi serta Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Pada saat ini para ahli muslim menghadapi berbagai problem: 

  • Mereka kurang menghayati relevansi Al-Qur’an untuk masa sekarang dan ke depan. Oleh karenanya mereka tidak dapat menyajikan Al-Qur’an untuk memenuhi kebutuhan umat manusia masa kini. Pantas Rasulullah mengeluh dalam QS ke 25 ayat 30:

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا 30

Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan (disingkirkan).”  

  • Dan yang lebih penting: Mereka khawatir (yang mengaku ahli) jika penyajian Al-Qur’an yang seperti diterangkan di atas, didalam berbagai hal, akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional. Memang pendapat yang dianggap menyimpang ini tidak dapat dihindarkan. Menurut kami, resiko ini harus dihadapi dengan ketulusan hati dan terus menggali makna yang lebih jauh pemahaman kita terhadap Al-Qur’an. 

Bagaimana menyikapi fatwa  MUI No. 38 dan No. 47 ?

Insya Allah dengan bimbingan Rasulullah yang didapat dari wahyu ilahi yang terdapat dalam : 

1.    Hak tasyri’, hanya Allah

QS ke 42  (As-Syura) ayat 13

وَيَضِيْقُ صَدْرِيْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِيْ فَاَرْسِلْ اِلٰى هٰرُوْنَ 13

13.  Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

2.    Apakah setelah hak tasyri’ Allah ada hak manusia mengajari Allah?

QS ke 49 (Al-Hujurat) ayat : 16

قُلْ اَتُعَلِّمُوْنَ اللّٰهَ بِدِيْنِكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 16

Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberi tahu ( mengajari ) Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi serta

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3.    Sinyalemen Rasulullah, banyak ummat yang mengenyampingkan Al Qur’an dan mengedepankan fatwa-fatwa

QS ke 25 (Al-Furqon) ayat 30:

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا 30

Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan (disingkirkan).”  

4.    Semestinya mengedepankan Allah ( Al-Qur’an) setiap menghadapi berbagai masalah

QS ke 6 (Al-An’am) ayat 153

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ 153

153.  dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.

QS ke 6 (Al-An’am) ayat 114-116 :

اَفَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْتَغِيْ حَكَمًا وَّهُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ اِلَيْكُمُ الْكِتٰبَ مُفَصَّلًا ۗوَالَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَعْلَمُوْنَ اَنَّهٗ مُنَزَّلٌ مِّنْ رَّبِّكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ 114

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ115

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ 116

Maka, apakah (pantas) aku mencari selain Allah sebagai hakim, padahal Dialah yang menurunkan Kitab.

  

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan (mengandung) kebenaran dan keadilan. Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Semestinya tidak harus mengambil perduli kepada pendapat mayoritas ataupun minoritas, namun lebih mengedankan kebenaran al-Qur’an :

وَانْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ

هُمْ إِلَّا يَخْرُصُوْنَ

Jika engkau mengikuti (kemauan) kebanyakan orang  di bumi ini (dalam urusan agama), niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.     

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.

Walhasil, dengan dasar berbagai ayat Al-Qur’an  yang telah disampaikan tersebut diatas, saya menyikapi fatwa MUI No. 38 dan No. 47 adalah mengabaikannya, yakni  dipandang rendah, tidak diindahkan, dilalaikan, tidak digunakan, tidak dipedulikan, dibiarkan terlantar, tidak perlu dipegang teguh. 

Sekali lagi fatwanya membikin bodoh sebagian umat dan membikin munafiq sebagian lainnya.

Semua yang kami sampaikan ini bukan fatwa, dan bukan memfatwai MUI , melainkan sedang menjalankan kebebasan keilmuan.

Tentang Tuntutan JPU

Fatwa MUI No. 38 dan No. 47 yang pada intinya membikin bodoh sebagian umat dan membikin munafiq sebagian lainnya , itulah yang dijadikan dasar Tim Jaksa Penuntut Umum untuk menetapkan tuntutannya. 

Sebab dalam perjalanan pemeriksaan para saksi fakta dan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak JPU semuanya nihil, sama sekali tidak bisa membuktikan apa yang terkait dengan tuduhan sesat terhadap Abdussalam R Panji Gumilang terkait fatwa MUI yang menganggapnya sebagai penyimpangan, penistaan dan penodaan agama.

Terlebih lagi tatkala Jaksa Penuntut Umum mengadakan / melaksanakan pemeriksaan terhadap terdakwa ( Abdussalam R. Panji Gumilang ) sama sekali tidak dapat menggali dan menampilkan hal-hal yang dianggap penodaan maupun penyimpangan yang dimaksud oleh Majlis Ulama tersebut.

Kesempatan pemeriksaan terdakwa (Abdussalam R Panji Gumilang) yang diberikan seluas-luasnya oleh Yang Mulia dan Yang Arif Majelis Hakim tidak dapat dilakukan oleh JPU.

Hal itu menurut kami, JPU tidak menguasai permasalahan yang sedang dihadapi atau memang tidak profesional.

Sedangkan tema JPU semua yang dilakukan adalah demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Andainya dasar yang dikedepankan itu ditambah satu kata lagi yakni ; demi keadilan dan kebenaran serta kejujuran, maka JPU sesungguhnya secara jujur dari lubuk hatinya dan hati nuraninya serta dhomir pribadinya telah mengatakan dan berucap : Sungguh terdakwa Abdussalam R. Panji Gumilang sama sekali tidak terbukti dengan apa yang dituduhkan  itu, yaitu :

Melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Baik, kita ulas satu persatu kejujurannya : 

Melakukan perbuatan bersifat permusuhan .

JPU secara sadar dan jujur bisa menilai bahwa tak ada suatu apapun tindakan yang dilakukan oleh terdakwa ( Abdussalam R Panji Gumilang ) menciptakan permusuhan, karena yang ada tema hidup yang dijunjung tinggi oleh Abdussalam Panji

Gumilang adalah mewujudkan pendidikan demi pengembangan budaya toleransi dan perdamaian menuju masyarakat cerdas, sehat dan manusiawi.

JPU secara jujur telah mengakui itu. Pasti tidak akan terpropokasi oleh fatwa Majlis Ulama yang bersifat membikin bodoh sebagian umat dan membikin munafiq sebagian lainnya. Itu kalau JPU mau jujur, dan pastinya akan jujur.

Adapun kami Abdussalam R Panji Gumilang ya seperti tadi, itu jiwa hidupnya , menciptakan pusat pindidikan, pengembangan budaya toleransi dan perdamaian menuju masyarakat sehat, cerdas dan manusiawi sampai kapanpun.

Dimana titik permusuhannya ?, tak ada  satu cercah sekecil apapun yang dapat mewujudkan gambaran jiwa permusuhan terdakwa terhadap siapapun.

Mengenai dakwaan yang dianggap sebagai penyalahgunaan/ penodaan suatu agama yang dianut di Indonesia.

Lagi-lagi JPU telah terjebak untuk kedua kalinya dalam perangkap Fatwa Majlis Ulama yang membikin bodoh sebagian umat dan membikin munafiq sebagian lainnya.

Apa yang disalahgunakan ? 

Apapula bentuk penodaan terhadap suatu agama ?

Agama apapula yang dinodai ? 

Agama siapa yang dinodai ? 

Dan bagaimana menodainya ? 

hayhata hayhata ( هيهاتا هيهات ) !!!   fa aina tdzhabun ( فأين  تذهبون ) ???  quo vadis    Majelis Ulama dan JPU ?.

Semua ungkapan uraian yang disampaikan oleh terdakwa adalah diskursus juga diskusi keilmuan, dihadapan orangorang yang kompeten, pelajar, mahasiswa, guru, dosen dll, diarena yang sangat terbatas yakni di dalam kampus.

Temanya bermacam-macam. Kebetulan saja tema yang tersiar ( yang bukan disiarkan oleh terdakwa ) itu hal hal yang wajar wajar saja dan penyampaiannya pun menggunakan bahasa lisan 

Seperti yang kita ketahui dalam bahsa Indonesia, ragam bahasa lisan itu macam macam. 

Meliputi ragam bahasa : 

Ragam bahasa cakapan atau naauul alughoh al- mukalamah نوع اللغة المكالمة

ada juga ragam bahasa pidato naauul lughoh takhotub نوعاللغة التخاطب

ada juga ragam bahasa kuliyah atau naauul lughoh al- muhadhoroh نوع اللغة المحاضرة

dan juga ada ragam bahasa panggung naauul lughoh al- masrohiyyah  نوع اللغة المسرحية

Semua ragam bahasa lisan   inilah yang digunakan oleh terdakwa (Abdussalam R. Panji Gumilang ) dalam penyampain diskursus dan diskusinya.

Terkadang bentuk cakapan, ya layaknya orang bercakap cakap, saling sahut menyahut, sekali waktu bergaya pidato, bak orator, ada juga ragam bahasa kuliyah, menunjukkan sesuatu dengan dasar yang jelas dan rujukan yang jelas dan semua pendengar disuruh membuka rujukannya, dan kadang-kadang bahasa panggung. 

Bahasa panggung ini layaknya panggung seperti lenong, sandiwara, ludruk yang disertai gurauan, bahkan tertawa, bahkan menggambarkan sesuatu yang sulit ditulis.

Nah dari Alfa sampai Omega ya menggunakan ragam bahasa seperti tadi ( Alfa – Omega bahasa Yunani berarti dari awal sampai akhir).

Kemudian oleh JPU , ungkapan yang disampaikan oleh terdakwa tersebut di transkrip. Maka bahasa JPU menjadi bahasa ragam tulis yakni meliputi:  

Ragam bahasa teknis

Ragam bahasa undang-undang 

Ragam bahasa catatan 

Ragam bahasa surat.

JPU dalam memeriksa terdakwa, karena ucapan lisan terdakwa sudah ditranskrip dan di potong-potong, maka ragam bahasa JPU menggunakan bahasa undang-undang yakni Naauul lughoh al-qoonuniyyah  نوع اللغة القانونية   , maka berubahlah makna dari ragam lisan yang, bersifat gembira ria, bak nyanyian bung Karno “ Mari kita bergembira “ atau nyanyian “hafa nagila”, berubah menjadi ragam bahasa  yang serius, dan menghilangkan inti suasana kebathinan, yang semangatnya penuh kegembiraan, dan keceriaan, mengejar inti dari pada ilmu yang bisa didapat daripadanya.

Lain halnya dengan Ragam Bahasa  Tulis,  bahasa JPU , yang daripadanya menggiring terdakwa agar dapat masuk kedalam dakwaan pasal 156a KUHP.

Sudah barang pasti tidak ketemu, ungkapan terdakwa yang satu jam lebih yang ditranskrip hanyalah kata kata “ nah kalau Allah berbahasa Arab , susah nanti ketemu oang Indramayu , prewe , itu  engga ngerti, gusti Allah engga ngerti “

Semua ragam bahasa lisan yang disampaikan hilang karakternya . karakter bahasa cakapannya hilang, karakter ragam bahasa pidatonya hilang, ragam bahasa kuliyahnya hilang, apalagi ragam bahasa panggunya, senyumnya hilang, gerak lucunya hilang, teringat lagu Dewi Yul (kau bukan dirimu).

JPU dalam menggali fakta kepada terdakwa hanya sampai disitu, yang lain-lain tidak ada, baru menunjukkan vedio . yang vedio itu sendiri bukan vedio asli walau gambarnya terdakwa. Inilah tidak profesionalnya JPU.

Tentang transkrip yang terurai tadi , itupun belum sempat ditanyakan. Namun sebagai terdakwa yang selalu kooperatif, ungkapan prewe, itulah bahasa cakapan, bahasa panggung, yang diikuti dengan canda dan merupakan  istifham ingkari , suatu pertanyaan, yang pertanyaan itu sendiri menjawab bahwa tidak seperti itu. Atau dalam bahasa lain merupakan gaya bahasa  majas ironi. 

Begitu saja kok repot., terus dimana penistaan agamanya ? itukan agama saya. Itu keyakinan saya, quran, quran saya, islam agama saya, lah kok aneh. Seorang muslim menistakan agamanya sendiri ? . Amit amit jabang bayi ada fatwa kok seperti itu “kumaha bieuna iyeu” ?

Ada yang belum digali oleh JPU salah satunya bab tanah suci kenapa ungkapan “suci-suci, Indonesia tanah suci, engga usah mau mati di tanah suci yang jauh dari Indonesia, hidup dan matimu di Indonesia tanah suci...” 

Kemudian apa yang dipermasalahkan dari frasa tersebut tadi ?.

Tujuan kami, menanamkan nasionalisme dan patriotisme kepada generasi muda bangsa, yang sedang menuntut pendidikan di kampus kami. 

Mengapa seperti itu? 

Agar generasi muda ini dalam menanamkan niat ibadahnya agar jejeg, tegak, lurus, istiqomah, jenjem. 

Orang yang beribadah, bertujuan ingin mati “ditanah suci yang jauh dari Indonesia” itu tidak pas. Sedangkan sebagai bangsa Indonesia kita harus menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan patriotisme kita, dimana dalam anthem (lagu kebangsaan) nasional Indonesia sudah ditetapkan sejak tahun 1928 sebelum merdeka terdiri dari 3 stanza. 

Stanza pertama: 

Indonesia tanah airku, 

Tanah tumpah darahku 

Disanalah aku berdiri  Jadi pandu ibuku 

 dst...... 

Stanza dua 

Indonesia tanah yang mulia 

Tanah kita yang kaya, 

Disanalah aku berdiri  Untuk selama-lamanya

 dst..... 

Stanza ke tiga

Indonesia tanah yang suci 

Tanah kita yang sakti 

Disanalah aku berdiri  Njaga ibu sejati, 

 Indonesia tanah berseri, 

Tanah yang aku sayangi,  Marilah kita berjanji,  Indonesia abadi.

 dst.....  

Kalau menanamkan nasionalisme dan patriotisme, kita harus berani membandingkan kesucian tanah air kita dengan kesucian suatu tempat  yang disakralkan, katakanlah Makkah Al Mukaromah (Makkah yang dimuliakan), itu bukan berati mengecilkan kesakralan tempat yang sudah dianggap suci dalam keagamaan khususnya Islam, sebab lagu kebangsaan Indonesia ini di ciptakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia dengan latar belakang apapun.

Maka di stanza dua disebut tanah yang mulia bisa jadi mengadopsi Makkah yang Al-Mukaromah yakni yang mulia yang dimuliakan.

Stanza tiga dikatakan Indonesia tanah yang suci mengadopsi makna dari pada Bait Al Maqdis atau Al Muqoddas rumah yang suci. Juga masih dalam stanza tiga Indonesia tanah berseri bisa jadi mengadopsi dari pada Madinah AlMunawaroh yakni kota Madinah yang berseri.

Jadi semua ini sedang ditanamkan kepada generasi muda dengan tamsilan-tamsilan transkrip yang pertama tadi, jadi jangan salah niat dalam beribadah seperti ingin mati di tanah suci yang jauh.

Jadi membentuk jiwa nasionalisme dan patriotisme sekaligus menanamkan niat beribadah yang benar persis seperti istilah Baitul Maqdis yang ada di Yerusalayim dan Masjidil Haram yang ada di Makkah.

JPU tidak bisa menggali makna dan tujuan frasa kritik sosial yang sebenarnya itu ditujukan untuk diri sendiri (oto kritik) yakni lingkungan Al-Zaytun tatkala mempersiapkan berdirinya Lembaga Kesejahteraan Masjid (LKM) Masjid Rahmatan lil ‘Alamin Al-Zaytun Indonesia, agar tidak terjadi salah tata kelola yang berkenaan dengan masjid khususnya yang berkaitan dengan antara lain Kotak Amal,  karena sangat memungkinkan dengan cara seperti itu tidak dapat mencapai tujuan melalui kesejahteraan masjid.

Adapun istilah-istilah seperti masjid diisi oleh orang-orang yang putus asa, itu bukan mengecilkan, namun menggambarkan atau menamsilkan betapa tidak layaknya memberikan shodaqoh disaat upacara syar’i  sedang berjalan. 

Dan yang pasti hampir rata-rata yang dishodaqohkan bukan nilai yang terbesar di kantongnya. Kita berharap berdirinya LKM tidak seperti itu namun termanege dengan baik melalui sistem yang terbaik.

Adapun tamsil Vatikan memang managemen sumbangan gerejanya sudah tertib, sebaiknya masjid bisa seperti itu. Maka jangan melihat atau berjalan seperti yang ada, kalau menggambarkan Vatikan dengan kebaikannya, itu bukan berarti Vatikan lembaga masjid namun tujuan masjid ada di sana lamasjidun ussisa ‘ala taqwa.

Walhasil, dakwaan dan tuntutan yang disampaikan oleh JPU tidak tepat sasaran atau jauh panggang daripada api = seperti menggantang asap = رجع بخفي حنين  . Justru bentuk semua usaha JPU merupakan : Pembunuhan karakter, baik karakter pribadi, karakter keilmuan/intelektual maupun karakter pendidikan.

Namun apapun yang dilakukan oleh JPU , terdakwa tampil dengan sikap satria wiratama ngeluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake, mempertanggungjawabkan semuanya didepan pengadilan dengan kooperatif. Sekalipun harus menanggung kesengsaraan berbulan-bulan dihadapi dengan rawe-rawe rantas, malang-malang putung sekalipun dalam situasi binakul nangkup binoyo mangap, ora sambat kaningngoyo.

Majlis Hakim Yang Mulia,

Inilah pledooi  saya, yang kami sampai dihadapan  Majlis yang Mulia ini dengan ikhlas dan suci hati, dengan mengharap ridho Allah semata-mata.

Selanjutnya izinkan dengan kerendahan hati dan penuh harap memohon agar Majlis Hakim Yang Mulia, yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini , dapat mengabulkan amar putusan seperti yang disampaikan oleh Penasihat Hukum kami.

Mendidik dan membangun semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah demi menanamkan sikap merdeka ruh, merdeka fikir, merdeka ilmu. هذا والله يرعانَ ويَغظنا واالحمد لله ر دب العالمين Merdeka !!!!!!!