PEMILU
Sunday, 26 January 2025

Presiden Santri Al Zaytun Angkatan XVI ; "RUU DKJ dan Insinuasi Mematikan Demokrasi"

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh ; Basthotan Milka, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Tim Pengkajian Komunitas Debat dan Penulisan Kombad Justitia.

lognews.co.id - Pengabsahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menjadikan Ibu kota harus berpindah dari Jakarta ke pulau seberang, yaitu menuju ke Daerah Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berada di Provinsi Kalimantan Timur.

Pemindahan Ibu Kota ini berimplikasi pada lahirnya Rancangan UndangUndang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi usul inisiatif pada Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2023 - 2024 tepatnya pada Selasa, 5 Desember 2023.

RUU tersebut dihadirkan pemerintah untuk merespons perihal Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang sudah dianggap tidak ada lagi relevansinya. Dalam kata lain Jakarta membutuhkan regulasi baru yang menjadi angin segar bagi Jakarta supaya mampu beradaptasi dengan realitas yang ada, yakni dengan mengganti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terlalu Tergesa-Gesa dalam menciptakan sistem dan konsep ketatanegaraan yang ideal patut diamini bahwa progresivitas hukum suatu bangsa itu diperlukan, salah satunya melalui pembaharuan hukum atau regulasi. Tetapi, RUU DKJ yang baru diinisiasikan ini tampaknya terlalu tergesa-gesa dalam prosesnya dan tidak menjadikannya sebagai wacana produk hukum yang memanifestasikan

kerja empat sistem secara paripurna dan ideal.

Kita mengetahui bahwa suatu undang-undang yang dihadirkan sepatutnya merupakan hasil dari kerja empat sistem. Pertama, hasil kerja teknokratik yang mengidealkan suatu undang-undang harus memiliki sentuhan keilmuan melalui kerja teknokratik dengan adanya riset, kajian, dan substansi akademis

yang mendalam.

Kedua, hasil kerja politik yang tidak dapat dinafikan bahwa undang-undang merupakan resultan politik sebagaimana yang yakini oleh Max Webber.

Ketiga, hasil kerja ideologis yang mana seharusnya penyusunan suatu undang-undang harus disesuaikan atau senada dengan konsep negara maupun dokumen pembangunan bangsa. Keempat, hasil kerja partisipatif yang dimaknai dengan adanya keterlibatan dari berbagai kalangan dan elemen masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Saya beropini bahwa RUU DKJ ini hanya mencerminkan hasil kerja politik, tetapi tidak mampu menjadi suatu RUU yang menampakkan hasil kerja tiga sistem lainnya. Sangat ironis ketika menyadari bahwa RUU ini tidak menampakkan wajah teknokratik, wajah ideologi, dan wajah partisipatif. Entah

sampai berapa purnama lagi untuk pemerintah sadar bahwa lemahnya partisipasi itu berdampak pada lemahnya legitimasi suatu regulasi.

Kegagalan penguasa untuk menghasilkan suatu RUU yang memadukan kerja empat sistem ini berimplikasi pada substansi regulasi yang mencekam asa berdemokrasi.

Pasal 10 RUU DKJ menjadi buktinya yang mana berisi klausul bahwa nantinya presiden dapat kewenangan secara langsung menunjuk gubernur Daerah Khusus Jakarta. Entah apa yang menjadi ratio legis penguasaparlemen untuk mencetuskan pasal yang demikian.

Mematikan Demokrasi.

Pasal dalam RUU DKJ tersebut menjadi postulat bahwa adanya upaya tak berujung yang terus dilakukan oleh pemerintah untuk mematikan prinsip dan konsep berdemokrasi di negeri ini. Ada suatu dalil yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln yang menjadi prinsip bagi negara yang menganut demokrasi, yakni democracy is a government of the people, by the the people and for the people.

Kemudian Indonesia adalah negara yang berpijak pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dalam konstitusi Pasal 18 ayat (4) yang menegaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Kemudian juga sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kita meyakini bahwa manifestasi dari kedaulatan rakyat dengan dilaksanakannya pemilu harus tetap diselenggarakan tanpa kompromi sekalipun ada disparitas pemahaman perihal demokrasi antara pemerintah yang pro dan masyarakat yang kontra akan regulasi tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa selain menghunjam prinsip dan konsep berdemokrasi, meniadakan kontestasi politik melalui pesta demokrasi dalam melahirkan gubernur Daerah Khusus Jakarta itu juga mencederai konstitusi.

Kewenangan presiden dalam menentukan gubernur Daerah Khusus Jakarta juga menjadi bukti konkret adanya hegemoni dari penguasa yang khawatir akan adanya pemimpin yang lahir dari rahim rakyat nan jauh dari lingkaran oligarki atau rekan sejawat penguasa.

Kecemasan akan matinya nadi demokrasi menjadi alasan mengapa wacana regulasi di Pasal 10 RUU DKJ tersebut janganlah sampai menjadi nyata.

Penguasa perlu menyadari bahwa regulasi tersebut sangat mungkin diasumsikan oleh masyarakat sebagai insinuasi untuk mematikan demokrasi.

Sebagaimana kita memaknai, insinuasi adalah tindakan yang samar-samar, dalam artian dengan melenggangkan regulasi tersebut merupakan tindakan samar-samar atau tidak langsung yang menjegal masyarakat luas untuk memiliki hak dan kesempatan menjadi gubernur Daerah Khusus Jakarta

nantinya.

Negara janganlah sampai mengabaikan hak penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 10.562.088 orang untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerahnya. Gelombang suara penolakan dan aspirasi terbaik untuk kemajuan kehidupan berbangsa bernegara maupun nafas demokrasi harus terus digaungkan dan dihidupkan agar jutaan rakyatnya nanti tidak terperangkap dalam labirin ketidakpastian perwujudan demokrasi ke depannya dengan lahirnya langkah kebijakan atau hukum yang keliru.