lognews.co.id, Jakarta - Para advokat yang tergabung dalam pergerakan advokat nusantara (perekat nusantara) dan tim pembela demokrasi indonesia (TPDI) melaporkan Prof. Dr. Anwar Usman, S.H. M.H.- Hakim Konstitusi merangkap Ketua Mahkamah Konstitusi dan 9 (Sembilan) hakim mahkamah konstitusi republik indonesia, atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Para advokat melapor atau memberi informasi tentang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim terlapor, akibat banyak reaksi publik berupa kritik, saran dan pertimbangan yang disampaikan secara terbuka melalui media terutama media sosial hingga Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dijuluki sebagai mahkamah keluarga, hanya karena terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda antara Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu terlapor dengan Ir. Joko Widodo (Jokowi) yang adalah Presiden RI.
UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman serta peraturan perundang-undangan lainnya telah memasang rambu-rambu untuk menghindari atau mencegah agar tidak terjadi benturan kepentingan atau conflict of interest atau konflik kepentingan dalam diri seorang Hakim dan Hakim Konstitusi dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan ketentuan pasal 17 Undang Undang No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakim yang tentu saja mengikat atau berlaku juga bagi Hakim Konstitusi, karena bagaimanapun Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan pasal 24 UUD 1945 dan pasal 1 butir 3 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan secara tegas bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
Didalam rilis yang dibuat para advokat, memuat bahwa dalam kaitan Permohonan Uji Materiil beberapa pihak seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), No. 29/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Maret 2023, Partai Garuda No. 51/PUU-XXI/2023, tanggal 9 Mei 2023, beberapa Kepala Daerah No. 55/PUU-XXI/2023, tanggal 17 Mei 2023, Sdr. Almas Tsaqibbiru RE A No. 90/PPU-XXI/2023, tanggal 15 Agustus 2023, Sdr. Arkaan Wahyu RE A No. 91/PUU-XXI/2023, tanggal 15 Agustus 2023 dan Sdr. Melisa Mylitiachristi Tarandung, S.H No. 92/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Agustus 2023 bahkan masih banyak Permohonan Uji Materiil lainnya, dipastikan bahwa setiap persidangan Permohonan Uji Materiil UU terhadap UUD 1945, dipastikan Mahkamah Konstitusi selalu memanggil Pihak DPR RI dan Presiden RI untuk memberikan tanggapan dan/atau jawaban terkait permohonan Uji Materiil dimaksud.
Bahwa perlunya DPR RI dan Presiden RI dipanggil Mahkamah Konstitusi untuk memberika tanggapan atau jawaban atas setiap Permohonan Uji Materiil sebuah UU terhadap UUD 1945, oleh karena DPR RI dan PRESIDEN RI secara konstitusi merupakan Lembaga Negara yang diberi wewenang untuk membentuk UU, terlebih-lebih setiap UU yang dibentuk memerlukan pengesahan dan tandatangan seorang PRESIDEN.
Lebih lanjut diterangkan bahwa Permohonan Uji Materiil, terkait langsung atau tidak langsung dengan kepentingan, keinginan dan tujuan dari beberapa pihak (termasuk Gibran Rakabuming Raka sendiri) untuk menjadikan Sdr. Gibran Rakabuming Raka menjadi Calaon Presiden atau Wakil Presiden RI pada tahun 2024, nampak pada Permohonan Uji Materiil dari Sdr. Almas Tsaqibbiru RE A No. 90/PPU-XXI/2023, tanggal 15 Agustus 2023 dan dari Sdr. Arkaan Wahyu RE A No. 91/PUU-XXI/2023, tanggal 15 Agustus 2023, secara terang benderang menyebutkan nama Sdr. Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta periode 2020-2025 yang adalah putra sulung Presiden Jokowi dan atau keponakan dari Hakim Terlapor dan sedangkan Permohonan Uji Materiil dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), No. 29/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Maret 2023, meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama Sdr. Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta, putra sulung Presiden Jokowi, keponakan Hakim Terlapor, akan tetapi dengan diangkatnya Sdr. Kaesang Pangarep jadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang adalah adik kandung Sdr. Gibran Rakabuming Raka, anak bungsu Presiden JokowI dan/atau Keponakan Hakim Terlapor, maka hal itu menyebabkan kedudukan Hakim Terlapor dalam konflik kepentingan, dalam benturan kepentingan atau oleh UU Kekuasaan Kehakiman disebut dengan “berkepentingan”, yang oleh ketentuan pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, Saudara Hakim Terlapor harus mengundurkan diri. (Amr-untuk Indonesia)


