الأحد، 07 كانون1/ديسمبر 2025

Toleransi di Al-Zaytun: Persatuan yang Mengalir dalam Kesadaran Berbangsa

تقييم المستخدم: 4 / 5

تفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id - Pada Ahad, 16 November 2025, atmosfer intelektual begitu terasa dalam Pelatihan Pelaku Didik Al-Zaytun ke-24. Acara ini menjadi momentum istimewa karena bertepatan dengan peringatan Hari Toleransi Internasional, yang turut menghadirkan narasumber utama Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., seorang Guru Besar UGM di bidang Antropologi.

Namun, sebelum sesi kuliah umum dimulai, Dr. Haryadi Baskoro, M.A. selaku Ketua Tim Ensiklopedia Toleransi dan Perdamaian Al-Zaytun, menyampaikan sambutan pembuka yang hangat. Dalam kesempatan itu, Dr. Haryadi menyerahkan cendera mata kepada Syaykh Al-Zaytun, berupa buku hasil penelitian timnya selama satu setengah tahun, berjudul "Menjadi Indonesia di Ma’had Al-Zaytun". Buku ini merupakan apresiasi atas kepemimpinan Syaykh yang dinilai konsisten dalam menegakkan Persatuan Indonesia.

Selanjutnya, Syaykh Al-Zaytun (Syaykh AS. Panji Gumilang, S.Sos., MP), memberikan penggulungan materi kuliah umum di akhir sesi. Dengan gaya bicara yang mengalir dan penuh refleksi historis, Syaykh membahas esensi toleransi, persatuan, dan kesadaran dalam bingkai kebangsaan.

Akrab Bahasa, Membentuk Bangsa: Kisah dari Dusun Terpencil hingga Klub Sepak Bola

Syaykh Panji Gumilang membuka kuliahnya dengan membandingkan pengalaman masa kecilnya dengan Profesor Paschalis. Lahir di era 40-an, Syaykh mengenang masa Sekolah Rakyat (SR) dan menemukan fakta unik: pendidikan di kampung halamannya jauh lebih maju dalam pengajaran Bahasa Indonesia daripada kota pelajar seperti Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Bahasa Indonesia baru dipelajari di kelas empat SR. Sementara di dusun tempatnya lahir—yang saat itu jauh dari mana-mana bahkan pernah dijadikan buangan air oleh Belanda—beliau sudah diajarkan Bahasa Indonesia sejak kelas tiga.

Kecintaan pada bahasa persatuan ini mendorong Syaykh muda untuk mendirikan klub sepak bola. Klub tersebut diberi nama unik, Tiada Bola Tendang Orang (TBTO). Syaykh menetapkan aturan tegas: setiap pertandingan wajib menggunakan Bahasa Indonesia, atau pertandingan dibatalkan. Aturan ini memicu perubahan kebahasaan yang signifikan, memaksa anak-anak sekolah menggunakan bahasa nasional.

Lebih jauh, Syaykh menceritakan bagaimana pada tahun seribu sembilan ratus lima puluh tujuh, orang-orang tua (bukan orang tua kandung) di sekitarnya masih menyebut Bahasa Indonesia sebagai ‘Coro Melayu’. Bahasa ini berfungsi sebagai lingua franca atau al-lughoh al-musytarakah—bahasa umum yang digunakan semua kalangan, dari penguasa hingga masyarakat pasar.

Ikhlas dan Nekat: Membaca Ulang Filosofi Keimanan

Pembahasan Syaykh kemudian merambah ke ranah filosofi bahasa dan keimanan. Ia mengisahkan diskusinya dengan pamannya, Kiai Amarna, mengenai kata 'nekat' saat menerjemahkan kalimat syahadat. Dalam Bahasa Jawa, 'nekat' sering diartikan sebagai "berani menabrak gerobak" (wani nabak gerobak) atau melakukan sesuatu tanpa perhitungan.

Namun, Kiai Amarna menggunakan kata itu dengan makna mendalam saat menerjemahkan syahadat: “Nekatakan Engsun” (saya nekat/berani memastikan). Dalam konteks agama, nekat ini disetarakan dengan Al-Ikhlas. Seseorang yang ikhlas adalah orang yang berani memegang teguh, tanpa keraguan dan perhitungan, bahwa "Tuhan itu Allah".

Syaykh juga menyelipkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, karena ada kata dari bahasa kita yang diakui secara internasional. Salah satu dari dua kosa kata Bahasa Indonesia yang masuk ke dalam kamus besar Bahasa Inggris adalah "amok".

Mengapa Bukan "Kesatuan"? Mendudukkan Persatuan dalam Bingkai Kebinekaan

Salah satu poin kritis yang diajukan Syaykh adalah perbedaan filosofis antara "Persatuan" dan "Kesatuan". Beliau mempertanyakan, mengapa dasar negara menetapkan frasa “Persatuan Indonesia”, tetapi yang kita teriakkan dan praktikkan adalah “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI)?

Syaykh menjelaskan perbedaannya melalui analogi yang mudah dicerna:

• Kesatuan diibaratkan menggiling berbagai bahan yang berbeda—seperti ceker ayam, daging, dan leher—hingga menjadi satu adonan yang homogen (bakso ayam). Hasilnya adalah satu benda yang tidak dapat diurai kembali ke bentuk asalnya.

• Persatuan diibaratkan menyajikan berbagai elemen yang berbeda—seperti kopi, cangkir, tutup, dan tatakan—secara bersamaan. Masing-masing elemen tetap mempertahankan identitas dan fungsinya, namun bekerja sama mencapai satu tujuan, yakni minum kopi.

Menurut Syaykh, Persatuan lebih sesuai dengan esensi toleransi dan keragaman Indonesia. Kesatuan, jika dipaksakan, berisiko menghilangkan makna dan keberagaman setiap unsur yang ada. Persatuan adalah ketika setiap unsur, meski berbeda, tetap bersama untuk mencapai tujuan yang satu.

Toleransi Praktis: Penyakit, Obat, dan Rumah Sakit Tak Beragama

Syaykh memberikan contoh nyata praktik toleransi dalam kehidupannya sehari-hari melalui pengalaman kesehatan. Beliau bercerita tentang langganannya berobat di Rumah Sakit Borromeus.

Tindakan ini sempat menuai kritik dari sebagian orang, yang mempersoalkan adanya salib atau nama Santo Yosef di rumah sakit tersebut. Jawaban Syaykh tegas: “Penyakit tidak beragama. Juga obat tidak beragama. Rumah sakit juga tidak beragama, yang beragama manusia.”

Syaykh percaya, jika tidak ada toleransi, seseorang akan membiarkan penyakitnya. Namun, toleransi justru mendorongnya untuk bertanya dan mencari tahu penyakitnya demi kesehatan. Ia menceritakan kejadian terbaru di pagi hari ia diperiksa dengan USG karena merasakan nyeri seperti ditusuk-tusuk. Setelah diperiksa, ternyata hasilnya baik-baik saja dan rasa nyeri itu hanyalah nyeri otot perut yang tidak membutuhkan obat.

Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan

Menutup kuliah umum, Syaykh menekankan bahwa inti dari pendidikan kontemporer adalah menanamkan Kesadaran, yang mencakup tiga dimensi:

1. Kesadaran Filosofis: Dorongan untuk selalu bertanya: mengapa, bagaimana, dan untuk apa.

2. Kesadaran Ekologis: Memahami bahwa alam adalah karunia yang harus dipersiapkan, ditanam, dan dijaga, bukan sekadar dibabat dan dirusak.

3. Kesadaran Sosial: Mampu menimbang, bersikap toleran, dan selalu menampilkan yang terbaik tanpa merusak citra dan ucapan.

Filosofi ini dirangkum dalam lirik Himne Politeknik Al-Zaytun, "Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan". Syaykh menjelaskan, kemanusiaan bukan seruan semata, ia hidup dalam tindakan nyata. Tindakan nyata itu terwujud dalam Tasamuh (toleransi) yang berarti menghormati dan memberi hak kepada siapa pun yang berhak.

Tasamuh ini harus berlandaskan Ilahiah (Ketuhanan Yang Maha Esa), karena Rabbul Alamin adalah Tuhan bagi segala yang ada (baik apa maupun siapa) di jagat raya. Hasil dari sikap ini adalah “lahir dunia yang saling menjaga”, di mana kerukunan tidak perlu dijadikan semboyan, melainkan menjadi tindakan yang mengalir secara alami dalam kehidupan berbangsa.