Penulis : Randy Akbar Maulana Rasyid
Laut Indonesia, permata biru yang menghampar, banyak menyimpan kekayaan alam yang tak terhitung adanya, setiap kali ombak berdesir adalah sebuah nyanyian sejarah, dan setiap pulaunya merupakan kisah menarik untuk diceritakan. Dari keindahan terumbu karang hingga kekayaan hayati yang melimpah ruah, laut Indonesia adalah sumber kehidupan yang tidak hanya mengasihi melainkan juga memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menghargai dan melindungi karunia Tuhan. Slogan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” seharusnya menjadi narasi yang mampu menyadarkan masyakat Indonesia mengenai tradisi maritim yang dimiliki oleh bangsa ini.
Namun nyatanya, kekayaan laut Indonesia seringkali direnggut begitu saja. Seperti kasus penangkapan ikan illegal (illegal fishing) yang pernah terjadi di Laut Natuna oleh kapal asing milik Cina. Peristiwa tersebut memberikan dampak buruk terhadap pendapatan negara maupun nelayan lokal di sana. Selain itu, adanya aktivitas lain seperti mengonversi lahan pesisir yang dijadikan untuk reklamasi dan pembangunan pemukiman juga mengancam habitat alami serta mengurangi luas kawasan mangrove. Belum lagi dengan adanya kerusakan ekosistem laut yang diakibatkan oleh limbah industri. Lalu, mau sampai kapan bangsa ini sadar bahwa kekayaan lautnya seringkali dirampas?
Potensi laut Indonesia
Di balik gelombang dan riak ombaknya, tersembunyi kehidupan yang kaya dan beragam. Setiap pulau adalah permata, dan setiap terumbu karang merupakan rahasia yang menunggu untuk diungkap. Di bawah laut yang membentang itu, kehidupan menyala dengan warna warni coral dan ikan yang menari. Laut ini bukan hanya batas, melainkan jembatan pemersatu budaya dan jiwa bangsa, mengajak masyarakat Indonesia untuk menghargai keindahan serta kekayaannya yang tak terhingga. Dari pesona pulau-pulau yang tersebar hingga hutan bakau yang melindungi, laut Indonesia adalah jantung bagi kehidupan bangsa dan negara.
Seperti semboyan yang digelorakan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (TNI AL), Jalasveva Jayamahe, memiliki arti bahwa “Dengan kekuatan laut, kita akan meraih kemenangan.” Semboyan ini mengandung makna yang sangat dalam dan multifaset, serta tentunya sejalan dengan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Maka, agar tidak menjadi isapan jempol belaka, hal tersebut perlu menjadi cita-cita yang wajib diwujudkan. Jalasveva Jayamahe bukanlah sebatas ungkapan atau semboyan semata, melainkan juga pernyataan komitmen untuk masa depan Indonesia yang lebih kuat, aman, sejahtera dan abadi melalui pemanfaatan dan perlindungan sumber daya lautnya.
Sebutan Indonesia sebagai negara maritim tentunya tidak bisa dipisahkan dari luas kawasan perairannya. Dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah laut Indonesia mencakup Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), laut teritorial, serta area lain dalam batas yurisdiksinya. Secara keseluruhan, luas laut Indonesia mencapai lebih dari 5,8 juta kilometer persegi. Selain itu, laut Indonesia juga memiliki terumbu karang terluas di dunia. Diperkirakan, luas terumbu karang di Indonesia melebihi 51 ribu kilometer persegi, mencakup sekitar 18% dari total terumbu karang global. Menariknya lagi, karena termasuk dalam kawasan Coral Triangle, Indonesia menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman terumbu karang.
Dikutip dari laman website Kemenparekraf, terdapat fakta menarik tentang laut Indonesia yang mungkin jarang diketahui, yakni laut Indonesia telah menjadi rumah bagi 6 dari 7 spesies penyu global. Menurut WWF, beberapa jenis penyu yang ada di perairan Indonesia antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), dan penyu tempayan (Caretta caretta).
Bicara potensi laut Indonesia, maka sektor perikanan menjadi topik bahasan yang wajib dikupas. Dilansir dari wantimpres.co.id, website resmi milik Dewan Pertimbangan Presiden, dijelaskan bahwa potensi perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia, mencakup perikanan tangkap dan budidaya dengan potensi produksi lestari sekitar 67 juta ton per tahun. Dari angka tersebut, potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) untuk perikanan tangkap laut adalah 9,3 juta ton per tahun, sementara perikanan tangkap di perairan darat (danau, sungai, waduk, dan rawa) mencapai sekitar 0,9 juta ton per tahun, sehingga total perikanan tangkap adalah 10,2 juta ton per tahun. Sisanya, yaitu 56,8 juta ton per tahun, berasal dari perikanan budidaya, termasuk dari budidaya laut (mariculture), tambak di perairan payau, dan budidaya di perairan tawar.
Selain itu, mengenai potensi ekonomi maritim Indonesia bukan hanya sebatas perikanan tangkap dan budidaya saja, melainkan ada 9 sektor lainnya seperti :
1) industri pengolahan hasil perikanan,
2) industri bioteknologi perikanan,
3) pertambangan dan energi (ESDM),
4) pariwisata bahari,
5) hutan bakau,
6) perhubungan laut,
7) sumber daya wilayah dari pulau-pulau kecil,
8) industri dan jasa maritim, dan
9) SDA non-konvensional. Jika dihitung, total potensi kekayaan dari 11 sektor tersebut dapat mencapai 1,33 triliyun dolar AS/tahun. Dengan potensi sebesar itu, tentunya kekayaan laut Indonesia akan berperan besar pada pertumbuhan lapangan pekerjaan menjadi 45 juta orang. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa kekayaan laut NKRI perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Pertanyaannya ialah, apakah kekayaan laut tersebut akan segera dikelola? Atau selama-lamanya akan menjadi harta karun yang tersimpan rapih di etalase samudera Indonesia? Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut menunggu untuk dijawab. Bukan hanya sebatas dengan kata-kata, melainkan melalui langkah-langkah strategis agar Republik ini bisa tersenyum melihat sirip-sirip ikan berkilauan, serta mengundang rakyatnya agar senantiasa menjaga dan merawat pesona laut Indonesia. Mari wujudkan semboyan Jalasveva Jayamahe, bersama lautnya Indonesia akan meraih kejayaan.