Program : Zona Damai Indonesia
Penulis : Randy Akbar Maulana Rasyid
lognews.co.id - Kehidupan yang otoritorianistik tentunya akan membawa suatu bangsa pada kehancuran dan ketidakberdayaan dalam menjaga ketahanan nasional mereka. Hal ini bisa saja terus menghantui jati diri bangsa apabila gagal merawat kemajemukan dengan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Kendati demikian, sangat disayangkan bahwa kemajemukan atau keberagaman seringkali dianggap biang keladi rusaknya persatuan bangsa, padahal itu merupakan suatu paradigma yang keliru.
Jika mengacu pada ajaran ilahi yang termaktub dalam QS. Al Hujurat ayat 13, hal tersebut tentunya sangat bertolak belakang. Secara eksplisit ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT yang maha pandai dan maha pencipta menciptakan keberagaman agar manusia dapat saling mengenal, menyapa, dan menyayangi. Ayat tadi bukanlah sebuah paradoks yang perlu diragukan kebenarannya, melainkan inilah ayat ilahi yang perlu diejawantahkan dalam berkehidupan.
Tema ini diangkat semata-mata untuk mengingatkan kembali kepada setiap insan tentang pentingnya ajaran toleransi dan menerima keberagaman sebagai hadiah Tuhan yang paling indah. Islam dan toleransi terus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan, begitulah rekam jejak sejarah mencatatnya. Romantisme keduanya merupakan karunia yang tidak ternilai dengan apapun. Wajar bila dalam perjalanannya, gerak gerik islam selalui diwarnai oleh ajaran toleransi, baik menyangkut aspek peribadatan (ubudiyah), interaksi sosial (muamalah), ataupun hukum pidana sekalipun (jinayah).
Semisal dalam aspek hukum, islam tidak serta merta menyatakan bahwa syariatnya yang wajib dipakai, melainkan ajaran-ajaran terdahulu juga tidak ditinggalkan. Ini mengacu pada pijakan hukum yang berbunyi: syar’u man qablana syar’un lana, yang memiliki arti bahwa syari’at umat terdahulu juga menjadi syari’at untuk kita. Hal ini menunjukkan kesamaan nilai-nilai universal yang ada di dalam agama islam serta ajaran sebelumnya. Tentu juga menjaga bukti bahwa ajaran sebelum islam berasal dari Tuhan yang sama, yakni Allah SWT. Maka, menanggapi keberagaman dengan semangat toleransi merupakan harga mati demi menjaga keutuhan suatu bangsa.
Islam bukanlah sebatas agama fomalitas yang hanya menuntut penghambaan kepada Tuhannya (habluminallah), melainkan Islam juga menjadi agama sosial (habluminannas) yang mengajarkan umat manusia agar memiliki hubungan baik kepada sesamanya. Berani menyuarakan kebaikan dan kebenaran serta senantiasa melindungi yang lemah. Jika umat Islam hanya fasih dalam persoalan ibadah saja, namun tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali, maka keimanannya pun tidak sempurna. Islam mengajak manusia pada kebaikan dan keselamatan, dan salah satu yang membawa pada keselamatan itu ialah dengan hidup berdampingan tanpa harus saling menyakiti. Itulah kiranya yang perlu dilakukan oleh republik ini untuk menjaga persatuan Indonesia.
Bicara bangsa Indonesia dan keberagaman, tentunya 2 (dua) hal yang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Dengan kekayaan seperti komunitas adat yang berjumlah 2.161 komunitas per tahun 2022; 300 kelompok etnik atau suku bangsa; serta ragam seni budaya seperti seni tari, seni musik, seni teater, maupun seni kriya; dan juga pulau yang mencapai angka 17.001. Hal tersebut merupakan kekayaan yang perlu dijaga bersama-sama agar terus abadi. Kemerdekaan NKRI pada tahun 1945 juga menjadi bukti bahwa bangsa yang besar ini beserta kemajemukannya bisa bersatu di bawa bendera merah putih.
Untuk menjaga keberagaman tersebut, konsep Bhineka Tunggal Ika memiliki peranan yang cukup vital dalam menjaga persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Layaknya lukisan mozaic dimana keserasiannya dapat dihasilkan dari keragaman warna dan bentuk yang ada pada lukisan itu dan menjadikannya indah nan cantik untuk dilihat. Begitulah Indonesia yang dipertemukan dengan beragam warna etnik, agama, maupun ras. Bhineka Tunggal Ika yang dikutip dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kemajukan tersebut mampu menjadi potensi yang luar biasa dalam mencapai integrasi nasional maupun cita-cita menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Maka dari itu, pemahaman nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang telah termaktub pula di dalam Pancasila sebagai falsahah dan pandangan hidup bangsa, perlu segera diaktualisasikan untuk mencapai integrasi nasional yang diharapkan. Dengan Policy Bhineka Tunggal Ika sebagaimana yang digelorakan oleh Sjamsyudin, setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Seperti memperkuat kebersamaan, pembangunan yang merata di berbagai daerah, memperkokoh lembaga politik, menghapuskan identitas lokal yang diganti dengan identitas nasional, serta menyatukan antara tradisi dan kebudayaan lokal.
Lebih dari pada itu, yang mendasari lahirnya Bhineka Tunggal Ika tetaplah berasal dari masing-masing individu. Tatkala individu memiliki kesadaran akan adanya persatuan dan kesatuan Indonesia, maka hal tersebut akan tercapai. Namun jika individu tidak memahami dan menjalankannya, tentu disintegrasi nasional menjadi mungkin untuk terjadi. Di samping itu, perlu adanya keselerasan antara masyarakat dengan para penegak hukum demi mewujudkan keadilan sosial. Maka persamaan hak didepan hukum perlu dikedepankan agar setiap individu memiliki akses keadilan yang sama tanpa memandang jabatan atau status sosial mereka.
Dalam harmoni Bhineka Tunggal Ika, republik ini menemukan kekuatan di tengah banyaknya ragam etnik, ras, maupun agama sekalipun. Di dalamnya termaktub pelajaran bahwa persatuan dan kesatuan bukan keseragaman semata, melainkan merayakan keberagaman yang memperkaya jiwa bangsa. Setiap langkah yang diambil menjadi bukti cinta terhadap bumi pertiwi. Dengan sikap saling menghargai perbedaan, Indonesia telah menuliskan kisah menawan tentang kebersamaan.