Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN)! dalam Keputusan Presiden (Keppres) no 22 tahun 20215 adalah puncak pengakuan "resmi" negara atas komitmen, konsistensi dan kontribusi historis politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).
Akar historis penetapan Hari Santri Nasional (HSN) adalah spirit "Resolusi Jihad NU" 22 Oktober 1945, sebuah fatwa "wajib" mempertahankan "tanah air" (kemerdekaan RI) dengan perlawanan fisik terhadap agresi militer Belanda di Surabaya.
Fatwa KH Hasyim Asyari Rois Akbar NU dalam peristiwa heroik di atas menegaskan "hubbul Wathon minal iman", cinta tanah air adalah ekspresi keimanan bagi seorang muslim. Spirit "keislaman" melebur dalam satu tarikan nafas "kebangsaan" (cinta tanah air).
Komitmen politik kebangsaan NU tentu tidak terbatas dalam ekspresi perlawanan "fisik" terhadap agresor Belanda sebagaimana spirit "Resolusi Jihad" NU di atas tetapi konsisten dalam pandangan keagamaan tentang "keabsahan" negara kebangsaan Indonesia, sejak NU didirikan tahun 1926 baik sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Ada tiga Muktamar NU setidaknya dalam pandangan penulis dapat dipandang paling "Iconic" dan "historis" sebagai "amal jariyah" politik kebangsaan NU dalam meneguhkan relasi "keislaman" dan "kebangsaan" dalam relasi yang disebut Gus Dur relasi "komplementer", saling menguatkan, tidak saling dipertentangkan "vis a vis" satu sama lain.
Pertama, Muktamar NU ke 11 tahun 1936, sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka, di Banjarmasin Kalimantan. NU memutuskan bahwa negara kita secara syara" adalah "Darul Islam".yakni."wilayah islam" wajib dipertahankan karena dulu menjadi bagian dari wilayah kerajaan Islam Nusantara meskipun secara de fakto dalam penguasaan penjajah (kafir).
Status "Darul Islam" di atas menurut Gus Dur pijakan keagamaannya diambil dalam khazanah kitab "Bughyatul Musytarsidin" dalam pengertian "fiqih syiasah" bahwa para pejuang yang membela wilayah Nusantara adalah membela "tanah air" dan mereka masuk dalam kategori mati syahid jika meninggal dalam status wilayah yang dipertahankannya adalah "Darul Islam" atau "wilayah islam".
Istilah "Darul Islam" dalam konteks Muktamar NU ke 11 jelas bukan konsepsi politik "negara islam" seperti dikehendaki Kartosuwiryo dkk atau pemahaman konsepsi politik Islam modernis melainkan murni pandangan keagamaan NU dalam pengertian "wilayah islam".
Kedua, Muktamar NU ke 20 tahun 1954 di Surabaya mengukuhkan hasil Munas Alim Ulama di Cipanas Cianjur Jawa Barat tahun1952 atas pemberian gelar "Waliyul Amri Ad dhoruri Bil syaukah" terhadap Presiden RI Soekarno.
Pemberian gelar "Waliyul Amri Ad dharuri Bil syaukah", yakni "pemimpin darudat dengan kekuasaan penuh" pada Bung Karno tidak bersifat pribadi dan bukan karena politik kekuasaan NU seperti dituduhkan kelompok politik islam modernis terhadap NU.
Pemberian gelar di atas murni legitimasi keagamaan atas posisi politik bung Karno sebagai Presiden RI yang tidak dipilih melalui mekanisme pemilu untuk memberikan wewenang sah secara keagamaan kepada Bung Karno dalam menumpas sejumlah pemberontakan dan separatis serta pelimpahan wewenang untuk wali hakim dalam syari'at pernikahan secara islam.
Ketiga, penerimaan asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam keputusan Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur.
Pancasila dalam pandangan keagamaan NU adalah dasar falsafah Negara Republik Indonesia bersifat final dengan penegasan bahwa Pancasila bukan agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama"
Konsekuensi dan sikap di atas bahwa pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya dan NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Itulah sebagian catatan "Iconic" dan "historis" tentang konsistensi "amal jariyah" politik kebangsaan NU dalam mengawal "negara kebangsaan" Indonesia dalam dinamika perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsistensi pandangan keagamaan politik kebangsaan NU di atas begitu penting dalam posisinya sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia untuk :
Pertama, mencegah menguatnya legitimasi politik atas kehendak sebagian kecil "kelompok Islam" yang masih memperjuangkan "negara Islam" di Indonesia atau bercita cita kembali ke konsepsi Pancasila 22 Juni 1945, sering disebut "piagam Jakarta" (negara dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya).
Kedua, meneguhkan integrasi relasi "keislaman" dan "kebangsaan", tdak dipertentangkan satu sama lain melainkan saling menguatkan, bahkan melebur dalam satu tarikan Nafas untuk meneguhkan "negara bangsa" (nation state) Indonesia yang beragam.
Di sinilah kewajiban kita untuk merawat dan menjaga "legacy" konsistensi pandangan politik kebangsaan NU di atas tentu dengan akomodasi kreatif terhadap tantangan zaman dan kebutuhan peradaban masa depan di tengah era "disrupsi" media sosial, sebuah era di mana realitas buatan selalu menarasikan pertentangan "keislaman" dan "kebangsaan".
Ke sanalah spirit hari santri hendaknya kita hidupkan dalam bingkai kokoh untuk merekatkan"sarung tenun" kebangsaan kita dari nilai nilai kejuangan "Resolusi Jihad NU 1945" yang mengilhami ditetapkannya "Hari Santri Nasional".
Selamat Hari Santri Nasional (HSN) tahun .2024.
Wassalam.