PEMILU
الجمعة، 20 أيلول/سبتمبر 2024

TANTANGAN KEPEMIMPINAN DI ERA "QUARTER LIFE CRISIS", PENGANTAR DISKUSI BEM UNWIR INDRAMAYU

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan 

lognews.co.id -Tulisan ini sekedar pengantar singkat penulis sebagai salah satu nara sumber diskusi yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Wiralodra (UNWIR) Indramayu dengan tema "Membangun Kesiapan Mental Kepemimpinan Menghadapi Era Quarter Life Crisis".

Istilah "Quarter Life Crisis" sependek ingatan penulis pertama kali dikemukakan Alexander Robbins (2001), seorang jurnalis "New York Times", pakar psyikhologi pendidikan, tidak dimaksudkan dalam arti sebuah "era" atau "jaman" melainkan sebuah periode "psyikhologis" seseorang. 

Dalam konteks itulah "Quarter Life Crisis" dalam definisi Wikipedia adalah periode ketidakpastian dan kekhawatiran yang dialami oleh individu pada usia di ujung "remaja" transisional menuju usia "dewasa" di sekitar usia 20 tahun hingga 30 tahun.

Secara demografis periode "Quarter Life Crisis" dari sisi kategori usia adalah gabungan rumpun generasi "Z" ("gen-z") dan generasi milenial di Indramayu berdasarkan survey "indekstart" (2020) sebesar 41% 

Tipologi dan karakteristik mereka menurut hasil penelitian "Boston Consulting Group" (2017) adalah generasi gampang bosan, "no gadget no life" (hidup tanpa hape mati gaya), instan , ingin serba cepat' dan secara emosional mengutip lirik salah satu lagu Rhoma Irama "masa muda maunya menang sendiri".

Dalam konteks kepemimpinan politik di Indramayu tentu tidak mudah melahirkan model pemimpin misalnya bupati sebagai "elected leader", yakni "pemimpin yang dipilih" yang adaptif dan "manageable", piawai mengelola tantangan yang dihadapi di era "Quarter Life Crisis" dalam pengertian di atas. 

Tidak memadai hanya modal popularitas dan elektabilitas lalu menjadi "bupati" kecuali disempurnakan dengan minimal menurut Kattelen A. Ellen, tiga variabel lain, yakni integritas, tidak miskin ntelektualitas dan "power of influencer", (wibawa dan pengaruh).

Dalam perspektif kepemimpinan Islam mengutip pandangan Ibnu Hisyam dalam kitab "Siirah Nabawiyah" kepemimpinan dengan kualifikasi di atas harus lah memiliki sifat sifat dasar kepemimpinan yang "siddiq, amanah, tabligh dan fathonah", yakni jujur, akuntabel, komunikatif dan cerdas.

Inilah empat variabel dasar kepemimpinan, sebuah satu kesatuan tak terpisahkan satu sama lain yang harus tampak senyawa dan membatin dalam aksi yang "men drive" jiwa kepemimpinannya.

Kepemimpinan politik yang dijiwai empat elemen dasar itulah yang disebut dalam ilustrasi H. Agus Salim, seorang diplomat legendaris kebanggaan Indonesia dalam bahasa belanda "leiden is ledjen", pemimpin adalah "jalan menderita". Pemimpin adalah jalan.melayani.  

Pemimpin adalah inspirator dan lokomotif penarik gerbong perubahan prilaku, minset dan suasana kebatinan publik. Seorang "trend setter", jalan penuntun masa depan tak terkecuali bagi generasi di usia "Quarter Life Crisis", yang gamang menapaki jalan masa depannya.

Dalam konteks kepemimpinan politik di Indramayu hanya pemimpin dengan sifat sifat di atas itulah akan sanggup menghadirkan masa depan Indramayu yang memuliakan harga diri dan martabat warganya, tangguh daya tahan kesehatannya, kualitas pendidikannya, daya tumpu kemandirian ekonominya dan kesadaran hak hak sipilnya.

Typologi pemimpin inilah yang mulai sulit bahkan mulai "kehabisan stok" dalam khazanah kepempimpinan politik kita hari ini. Mereka lebih di drive mekanisme pasar branding politik jauh dari proses dialektika benturan perjuangan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah" sebagaimana dulu membentuk kepribadian para pemimpin di era awal kemerdekaan.

Hal yang sedikit tersisa harapan adalah betapa pun para aktivis politik seperti BEM UNWIR Indramayu secara usia dalam periode "Quarter Life Crisis", penulis sungguh percaya mereka bukan saja akan mampu menjadi bagian penting dari proses lahirnya kepemimpinan politik dalam kualifikasi di atas.

Lebih dari itu pada saat yang sama akan mampu merespon kecemasan yang menghantui harapan masa depannya kelak.

Tentu sejauh para aktivis tidak tenggelam "pasrah" di pelukan media sosial tetapi melatih diri tangguh secara mental dengan "membentur benturkan diri" berhadapan dengan realitas politik, memiliki nutrisi intelektualitas, sikap kritis dan kemampuan tukar tambah gagasan di ruang publik. Itulah harapan yang ditunggu. 

Semoga.