السبت، 06 كانون1/ديسمبر 2025

HIDUP BERNEGARA HUKUM: IRONI NEGARA HUKUM DAN REFLEKSI KRITIS ATAS PERJALANAN BANGSA INDONESIA

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id, Indonesia - Ahad, 26 Oktober 2025, menjadi pekan ke-20 dalam rangkaian Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan di Al-Zaytun yang konsisten mengusung misi besar: mewujudkan transformasi revolusioner pendidikan berasrama menuju pendidikan modern abad XXI berbasis LSTEAMS — Law, Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics, and Spiritual. Kegiatan ini diikuti tidak kurang dari 2.700 peserta yang terdiri dari eksponen Yayasan Pesantren Indonesia, Dosen, Guru, Mahasiswa, Pelajar SLTA, petani, pimpinan unit-unit kerja pendukung pendidikan, dan wali santri.

Pada pekan ini, aspek Law (hukum) menjadi fokus pembahasan. Hadir sebagai narasumber, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum, Komisioner Komisi Yudisial RI periode 2020–2025 sekaligus Ketua KY 2021–2023. Ia juga dikenal sebagai guru besar di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Sultan Agung Semarang, Universitas Muhammadiyah Tangerang, dan perguruan tinggi lainnya.

Dalam paparannya yang bertajuk “Hidup Bernegara Hukum: Ironi Negara Hukum dan Refleksi Kritis atas Perjalanan Bangsa Indonesia”, Prof. Mukti Fajar mengajak seluruh peserta untuk merenungi kondisi bangsa yang berdiri di atas prinsip negara hukum, namun masih terseok-seok dalam menegakkan supremasi hukum itu sendiri.

Ironi Negara Hukum: Ketika Hukum Tak Lagi Jadi Panglima

Indonesia, sejak awal berdirinya, menegaskan diri sebagai negara hukum (rechsstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Namun, dalam kenyataannya, hukum kerap kali tidak berdiri di atas segalanya. Ia sering berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan, kepentingan politik, bahkan bisnis.

Akibatnya, cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 — keadilan sosial, kemakmuran, dan kebebasan — masih terasa jauh dari genggaman, meski era reformasi telah bergulir hampir tiga dekade.

Tiga Era Perjalanan Bangsa: Dari Politik, Pembangunan, hingga Kekecewaan Reformasi

Menurut Prof. Mukti Fajar, perjalanan bangsa Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga era besar.

Pertama, era kemerdekaan atau Orde Lama — masa perjuangan politik dan pencarian identitas ideologi. Para pendiri bangsa saat itu berjuang keras menegakkan kedaulatan dan semangat kebangsaan.

Kedua, era Orde Baru — masa pembangunan ekonomi dan industrialisasi. Indonesia berhasil tumbuh dalam angka, namun meninggalkan warisan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebar.

Ketiga, era reformasi — masa harapan dan kebebasan, yang kini justru banyak menyisakan kekecewaan. Meski sistem demokrasi terbuka luas, realitas sosial masih diwarnai ketidakadilan, korupsi, serta belum tegaknya hukum dan pemerataan kesejahteraan.

 1000233316

Pancasila Sebagai Kontrak Sosial: Janji yang Mulai Ditinggalkan

Republik Indonesia lahir dari kesepakatan luhur yang dapat disebut sebagai kontrak sosial bangsa. Kesepakatan itu tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, yang menjadi dasar filosofis dan moral kehidupan bernegara.

Namun, persoalan muncul ketika komitmen terhadap prinsip negara hukum mulai diabaikan. Hukum, yang seharusnya menjadi panglima, justru sering tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi.

“Ciri bangsa besar bukanlah kekuatan militer atau ekonominya,” tegas Prof. Mukti Fajar, “tetapi keberanian untuk menegakkan hukum sebagai acuan utama dalam mencapai keadilan.”

Korupsi: Kejahatan Kemanusiaan yang Merampas Hak Rakyat

Fenomena korupsi menjadi cermin nyata kegagalan kita sebagai negara hukum. Jika pada masa Orde Baru praktik korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kini justru dilakukan terang-terangan, bahkan dalam skala triliunan rupiah.

“Korupsi bukan lagi sekadar tindak pidana, tapi bentuk perampokan hak rakyat,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus perampasan tanah warga di Banten untuk proyek strategis nasional. Sawah dan tambak milik rakyat diurug paksa tanpa kesepakatan yang adil. Kasus semacam ini menunjukkan betapa hukum — yang seharusnya melindungi rakyat — justru bisa berubah menjadi alat penindasan.

Ketimpangan Sosial dan Budaya Agraris yang Melanggengkan Korupsi

Ketimpangan sosial-ekonomi yang kian lebar juga memperparah persoalan. Di satu sisi, para pejabat dan elite politik menikmati kemewahan; di sisi lain, jutaan rakyat masih hidup dalam kemiskinan.

Di negara maju seperti Inggris, perdana menteri bisa tinggal di rumah dinas sederhana. Namun di Indonesia, kemewahan sering dijadikan ukuran kehormatan.

Masyarakat pun masih terjebak dalam budaya agraris lama, di mana kehormatan seseorang diukur dari kekayaan, bukan dari kontribusinya bagi bangsa. Pola pikir ini tanpa disadari mendorong banyak pejabat untuk melakukan korupsi demi memenuhi ekspektasi sosial yang keliru.

Pendidikan: Harapan Terakhir Membangun Peradaban

Di tengah berbagai persoalan bangsa, Prof. Mukti Fajar menegaskan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju bangsa yang beradab.

Lembaga seperti Al-Zaytun, yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, menjadi contoh bagaimana pendidikan dapat melahirkan generasi berintegritas dan berjiwa pembaharu.

“Al-Zaytun tidak hanya mengajarkan ilmu,” ujarnya, “tetapi juga membangun kesadaran hukum, moral, dan tanggung jawab sosial. Inilah fondasi sejati bangsa beradab.”

Menutup dengan Harapan

Indonesia akan menjadi bangsa besar bukan karena kekayaan alam atau banyaknya penduduk, melainkan karena komitmen teguh pada keadilan dan hukum.

Kini, saatnya bangsa ini kembali ke jati dirinya: menjunjung supremasi hukum, menghargai karya dan perbuatan, bukan sekadar materi. Dengan pendidikan yang memanusiakan manusia, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan bahagia bukanlah utopia — melainkan masa depan yang dapat diwujudkan.