الأحد، 07 كانون1/ديسمبر 2025
Previous Next

Milad ke 26 Al-Zaytun : Lompatan Baru Al-Zaytun Menuju Indonesia Emas melalui Politeknik AIR

تقييم المستخدم: 5 / 5

تفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجوم
 

Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id - Rabu, 27 Agustus 2025. Suasana khidmat menyelimuti Ma'had Al-Zaytun yang genap memasuki usia ke-26. Milad ke 26 ini istimewa karena jatuh pada bulan yang sama, baik dalam kalender Hijriah maupun Masehi, dengan peresmiannya 26 tahun silam. Gema ayat suci Al-Qur'an yang dikhatamkan sebanyak 26 kali oleh para pelajar, guru, dan seluruh civitas kampus menjadi penanda spiritual pembuka acara. Momentum milad kali ini menjadi ajang refleksi mendalam atas perjalanan pendidikan Al-Zaytun dan Indonesia. Di tengah hadirin, tampak wajah-wajah yang merepresentasikan keberagaman, mulai dari Kabiro Kesra Pemprov Jawa Barat, Andrie Kustria Wardana, S.STP., MSi, CRBD, yang hadir mewakili Gubernur, hingga para tokoh cendekiawan sahabat Syaykh dari IPB dan UIN Jakarta, tokoh lintas agama, para wali santri, dan segenap keluarga besar Al-Zaytun.

Dalam momentum inilah, Syaykh Al-Zaytun, AS Panji Gumilang, S.Sos., M.P., memaparkan sebuah cetak biru peradaban—sebuah kritik mendalam terhadap sistem yang ada dan sebuah visi agung untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ini adalah kisah tentang bagaimana kemandirian pangan menjadi fondasi yang tak tergoyahkan bagi sebuah institusi pendidikan, dan bagaimana dari fondasi itu, sebuah lompatan baru bernama Politeknik Al-Zaytun Indonesia Raya (AIR) dicanangkan.

Akar Kedaulatan: Filosofi "Cukup Makan" 

Jauh sebelum gedung-gedung megah berdiri, gagasan Al-Zaytun telah berakar pada sebuah diskusi mendalam dengan para ilmuwan. Syaykh Panji Gumilang membentuk sebuah perkumpulan informal yang dijuluki "Tim Sebelas", yang mayoritas beranggotakan para pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Diskusi mereka bukanlah tentang kurikulum—hal yang dianggap bisa dirancang sambil lalu—melainkan tentang fondasi paling esensial: bagaimana institusi swasta ini bisa berdiri kokoh tanpa bergantung pada pendanaan negara. Jawabannya satu: kedaulatan pangan. Dengan istilah quth al-baladi atau pangan yang kokoh, mereka mempersiapkan kemandirian pangan sebagai penunjang utama pendidikan.

Hasilnya terbukti fundamental. Selama 26 tahun, di tengah berbagai guncangan, termasuk kriminalisasi terhadap pimpinannya dan penyitaan aset, Al-Zaytun tidak pernah goyah. Mengapa? Jawabannya sederhana: "Cukup makan". Dengan stok pangan yang dipersiapkan untuk 18 bulan ke depan, komunitas yang menampung hingga 10.000 jiwa ini memiliki ketahanan yang luar biasa. "Orang yang cukup makan tidak bisa diganggu oleh apapun. Isu apapun tidak bisa mengganggu orang yang cukup makan. Karena itu prinsip ilahi," tegas Syaykh Panji Gumilang, mengutip falsafah ilahi dalam Qur’an“Alladzi at'amahum min ju'in wa aamanahum min khauf”.

Transformasi Revolusioner: Menggugat Sistem, Menawarkan Solusi Pendidikan Terpusat

Berangkat dari fondasi kemandirian tersebut, Syaykh Al-Zaytun melontarkan kritik tajam terhadap arah pendidikan nasional. Ia menolak perbandingan yang tidak setara antara Indonesia pasca-kemerdekaan dengan Jepang pasca-bom atom. Pada tahun 1945, kebanggaan terbesar bangsa Indonesia adalah "naik delman istimewa", sementara pada tahun yang sama, Jepang sudah mampu memborbardir Pearl Harbor. Perbandingan ini, menurutnya, adalah qiyas ma'al fariq, membandingkan dua hal yang tidak seimbang.

Gagasan besar yang disampaikannya pun ternyata memiliki akar kesejarahan yang kuat. Beliau merujuk pada era Politik Etis di masa Hindia Belanda, yang dicanangkan oleh Van Deventer. Politik ini lahir dari kesadaran kaum humanis Belanda untuk "membayar utang budi" kepada bangsa Indonesia yang telah memberikan kekayaan pada negeri mereka. Politik Etis ini berdiri di atas tiga pilar utama: Pendidikan (Edukasi), Pengairan (Irigasi), dan Perpindahan Penduduk (Transmigrasi). Bagi Syaykh, model historis ini menjadi bukti bahwa sebuah program berskala masif untuk kemajuan bangsa adalah hal yang mungkin dan pernah terpikirkan. Jadi politik yang dikedepankan adalah politik etis, politik yang ber etika, bukan politik "ber-apa" dan "berapa" atau politik transaksional.

Dari sanalah solusi modern ditawarkan, yakni sebuah "transformasi revolusioner pendidikan dan berasrama". Sistem pendidikan yang tersebar di 17.000 lebih pulau dianggap tidak efisien. Sebagai gantinya, ia mengusulkan pemusatan pendidikan di 500 titik di seluruh Indonesia. Setiap titik akan diberikan lahan seluas 3.000 hektare untuk membangun ekosistem pendidikan terpadu, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, lengkap dengan asrama dan perumahan guru. Dengan sistem ini, dalam 15 tahun, Indonesia diyakini akan melahirkan lulusan unggul yang siap membangun negeri.

Politeknik AIR: Visi Praktis untuk Membangun Peradaban

Sebagai langkah konkret dari gagasan besar tersebut, Al-Zaytun mencanangkan pendirian Politeknik Al-Zaytun Indonesia Raya, yang disingkat "Politeknik AIR". Nama "AIR" sendiri merupakan akronim dari Al-Zaytun Indonesia Raya, sebuah pertobatan karena selama 26 tahun merasa "lupa" menyematkan kata "Raya" yang agung dari lagu kebangsaan. Politeknik ini didefinisikan sebagai lembaga yang mentransformasikan ilmu menjadi praktik.

Program studi utamanya tetap berpegang pada prinsip kedaulatan pangan dan keamanan: agronomi, peternakan, perikanan, kelautan, kehutanan, dan perkebunan. Pengembangan akan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama di Indramayu di atas lahan seluas 200 hektare, tahap kedua di Garut di atas lahan 450 hektare untuk pusat peternakan dan perikanan tangkap, dan tahap ketiga di Pamijahan, Tasikmalaya, untuk kehutanan dan perkebunan. Ke depan, program studi akan diperluas hingga mencakup mekanisasi pertanian, tata boga, keperawatan, dan hukum untuk mendukung ekosistem mandiri yang sudah terbangun, termasuk rencana pembangunan rumah sakit.

Epilog: Dari Tanah dan Air, untuk Indonesia Raya

Diilhami oleh Universitas Tanah (Earth University) di Kosta Rika, Al-Zaytun memilih mendirikan "Universitas Air" di Indonesia. Sebuah filosofi mendalam bahwa dari sinergitas tanah dan air, kehidupan dan peradaban tumbuh. Visi besar ini bukan sekadar omong-omong, melainkan sebuah panggilan sejarah yang berakar pada pemikiran para pendiri bangsa dan semangat Pancasila yang sosialis. Ini adalah sebuah ikhtiar untuk mengembalikan politik dari "politik berapa" menjadi "politik etik" yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Politeknik AIR bukanlah sekadar institusi baru, melainkan sebuah monumen harapan; sebuah janji bahwa dari rahim Al-Zaytun, akan lahir para praktisi tangguh—para "doktor ladang, doktor laut, dan doktor hutan"—yang akan bekerja dalam sunyi, membangun kedaulatan, dan pada akhirnya, mewujudkan Indonesia yang benar-benar Raya.