(Telaah Pemikiran Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd)
Oleh Ali Aminuloh
lognews.co.id - Ma’had Al-Zaytun, 12 Oktober 2025 - Komitmen Ma’had Al-Zaytun untuk mewujudkan transformasi pendidikan modern abad ke-21 tidak hanya berhenti pada pembangunan fisik, tetapi merambah hingga ke akar paradigma manajerial dan spiritual. Upaya fundamental ini diwujudkan melalui Pelatihan Pelaku Didik berkelanjutan yang diselenggarakan setiap Ahad, dimulai sejak 1 Juni 2025. Acara tersebut menghadirkan 2.742 peserta meliputi eksponen yayasan, dosen, guru, mahasiswa, pelajar Aliyah, pimpinan unit pendukung, para wali santri, hingga para petani yang tergabung dalam P3KPI menegaskan visi pendidikan yang holistik.
Pada sesi ke-18, Ahad 12 Oktober 2025, hadir narasumber utama, Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd., Guru Besar Administrasi Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus Rektor Universitas KH. E. Muttakin Purwakarta. Beliau memaparkan materi penting berjudul "Implementasi Pancasila dalam Manajemen Pendidikan Abad XXI", yang menyoroti urgensi kejujuran dan reformulasi pemikiran di tengah dinamika zaman.

Merajut Ekosistem: Sila Kemanusiaan Melawan Manajemen Otoriter
Prof. Sanusi Uwes secara khusus menyoroti konsep ‘Pelaku Didik’ yang diusung Al-Zaytun. Istilah ini melampaui batas civitas academica konvensional, merangkul seluruh masyarakat di sekitar Ma’had, termasuk para petani (P3KPI), sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Gagasan inklusif ini adalah manifestasi nyata dari Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam konteks manajemen, sila ini menuntut bahwa kebijakan pendidikan harus menghargai martabat guru, siswa, dan tenaga kependidikan, sehingga secara otomatis melawan praktik otoriter dan diktator dalam pengelolaan sekolah.
Lebih jauh, semangat Sila Kemanusiaan bersinergi dengan Sila Kelima: Keadilan Sosial, yang mendesak agar distribusi sumber daya pendidikan harus merata dan akses harus terbuka bagi semua, menolak segala bentuk eksklusivitas. Prof. Sanusi menyebut, konsep Pelaku Didik ini adalah ide kreatif Syaykh Al-Zaytun yang perlu dikembangkan dan dipatenkan karena berhasil mengikat pendidikan dengan realitas sosial secara utuh.
Tauhid sebagai Modal Terkuat: Kejujuran dan Nafas Mujadid
Pancasila, menurut Prof. Sanusi, adalah fondasi spiritual dan etis dalam setiap kebijakan. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan utama yang mendikte bahwa setiap kebijakan harus dilandasi keimanan, integritas, dan kesadaran bahwa ilmu dan pendidikan adalah amanah Tuhan, sebuah kesadaran yang secara diametral melawan praktik transaksional ilmu.
Kesadaran spiritual ini harus diterjemahkan dalam aksi nyata. Beliau menekankan bahwa modal terbesar bagi perjuangan perbaikan adalah Kejujuran. Kejujuran ini melahirkan Keberanian Berkreasi (Creative Courage) atau semangat Mujadid (Pembaharu) yang harus dimiliki setiap pelaku didik. Namun, pembaharuan selalu berisiko, karena berpotensi merugikan pihak yang diuntungkan oleh tradisi lama.
Di level kelembagaan, spirit ketuhanan ini terwujud melalui Sila Ketiga: Persatuan Indonesia, yang menuntut pengelola pendidikan untuk menjadikannya wahana perekat bangsa, menghormati kebinekaan, dan melawan sikap merasa paling benar sendiri. Sementara itu, Sila Keempat: Kerakyatan, memastikan bahwa keputusan manajerial harus melibatkan partisipasi dan musyawarah seluruh komponen, menolak otoritas tunggal.

Prinsip Holistik dan Reformulasi Fiqih Ekonomi Kontemporer
Untuk mengimplementasikan Pancasila secara mendalam, manajemen pendidikan harus menganut pendekatan spiritualitas. Prinsip ini dimulai dari manajemen yang Holistik (Syumuliyah Kaffah), yaitu mengelola bukan hanya aspek akademik, tapi juga akhlak, spiritualitas, dan karakter secara menyeluruh. Kepemimpinan yang dibutuhkan adalah Kepemimpinan Transendental (_Imamah Ruuhaniyyah_), di mana pemimpin menjadi teladan moral dan spiritual. Selain itu, keputusan harus selalu Beretika-Berintegritas (_Mu-min Mukhlish), berlandaskan etika bukan sekadar efisiensi, serta berpusat pada manusia (Idaarah Insaniyyah) yang menempatkan siswa dan guru sebagai subjek aktif. Seluruh proses ini harus diarahkan pada Keberlanjutan (Istimrar) bagi generasi mendatang.
Dalam konteks inilah Prof. Sanusi mengajukan studi kasus krusial mengenai Fiqih Ekonomi Kontemporer dan fenomena devaluasi Rupiah. Beliau menunjukkan paradoks Riba Nasiah (bunga pinjaman), di mana kaidah fiqih lama yang mengharamkannya didasarkan pada asumsi nilai uang stabil. Beliau mencontohkan harga ayam bakar guling di Arab Saudi yang selama 10 tahun tetap 10 riyal, karena memang nilai uangnya stabil. Namun sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia, sebagai contoh pinjaman rumahDi Bandung yang mengalami lonjakan harga drastis karena inflasi. Tahun 1980 mengajukan pinjaman untuk membeli rumah seharga Rp. 3.300.000 dengan cicilan Rp. 34.120 /bulan. Rumah tersebut 15 tahun kemudian harganya menjadi Rp. 150 juta. Beliau menyimpulkan bahwa nilai Rupiah yang menyusut membuat pihak yang dirugikan justru adalah pemberi pinjaman, bukan peminjam. Kasus ini menegaskan bahwa komitmen pada Keberanian Berkreasi harus mendorong reformasi pemikiran (reformasi usul fikir) agar pelaksanaan ajaran spiritual tetap relevan dengan realitas sosial, ekonomi, dan politik yang terus bergerak.
Implementasi Praktis: Mengubah Nilai Filosofis Menjadi Aksi Manajerial
Penerjemahan nilai-nilai filosofis dan spiritual ini harus mengalir ke dalam setiap fungsi manajerial. Secara praktis, tahapan implementasi itu meliputi:
Pertama, Perencanaan, di mana sekolah harus menyusun visi dan misi yang secara eksplisit berbasis nilai Pancasila dan spiritualitas—misalnya, mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Kedua, Pengorganisasian, yang menuntut struktur organisasi sekolah mencerminkan partisipasi dan semangat kebersamaan seluruh pelaku didik. Ketiga, Pelaksanaan, yang memastikan bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembinaan karakter, moral, dan spiritual secara intensif. Dan terakhir, Pengawasan, di mana evaluasi dilakukan tidak hanya terhadap capaian akademik, tetapi juga menilai aspek moralitas dan tanggung jawab sosial siswa dan seluruh komponen sekolah.
Epilog: Jejak Emas Kaum Mujadid
Perjuangan bangsa Indonesia selalu dimodali oleh semangat spiritual dan keberanian untuk memperbaharui. Bukti tertinggi dari semangat ini adalah sikap lapang dada umat Islam Indonesia yang menerima perubahan sila pertama Pancasila demi menjaga kesatuan bangsa. Langkah historis ini menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Tuhanan dan kebangsaan adalah nilai pemersatu.
Maka, tantangan bagi setiap Pelaku Didik yang hadir dalam pelatihan ini adalah menjadi Mujadid sejati. Tugas kita adalah melihat realitas zaman dengan mata ilmu dan hati spiritual. Ilmu adalah anugerah Tuhan, bukan komoditas. Sedekahkanlah ilmu itu dengan integritas, jadikan kejujuran sebagai modal terkuat, dan biarkan Keberanian Berkreasi membawa Indonesia menuju masa depan yang adil, cerdas, dan manusiawi, sesuai cita-cita Pancasila. Estafet transformasi ini tidak boleh berhenti.


