PEMILU
الأحد، 22 أيلول/سبتمبر 2024

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas Menyepakati Dewan Aglomerasi ditunjuk Presiden

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

lognews.co.id, Jakarta  -  Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan status Jakarta seusai tak lagi menjadi daerah khusus ibu kota (DKI). Dengan demikian, kota Jakarta nantinya akan diperluas menjadi kota aglomerasi, untuk mensinkronkan pembangunan yang akan diikuti oleh kota-kota satelitnya, yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.

"Prinsip dari kawasan ini utamanya harmonisasi program mulai dari perencanaan dan melakukan evaluasi secara reguler supaya semuanya sinkron. Banyak sekali daerah-daerah yang tidak sinkron dan ini perlu ada yang melakukan itu," kata Tito dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR RI tentang pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Adanya Dewan Kawasan Aglomerasi tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ), Tito menyebut berbagai permasalahan di Jakarta dan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang dilakukan wakil presiden. Hal tersebut sudah diterapkan pemerintah saat ini, ketika menunjuk Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Badan Percepatan Pembangunan Papua.

Kewenangan wakil presiden tersebut juga dijelaskannya tak mengambil alih kewenangan pemerintah daerah. Sebab RUU DKJ itu tidak terikat dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah.

 “Nah prinsip dari kawasan ini adalah sekali lagi utamanya adalah harmonisasi program, mulai dari perencanaan, dan melakukan evaluasi secara reguler. Supaya on the right track, semuanya sinkron, banyak sekali daerah-daerah yang juga tidak sinkron, dan ini kemudian perlu ada yang melakukan itu, sinkronisasi ini,” kata mantan kapolri itu.

Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin wakil presiden (wapres) usai Jakarta tak lagi menjadi ibu kota. Seperti diketahui, ibu kota Indonesia akan pindah ke Nusantara di wilayah Kalimantan Timur.

Tito mengungkapkan opsi kota aglomerasi ini dipilih karena tak perlu mengubah arah pembangunannya secara administrasi menjadi kota megapolitan atau metropolitan.

"Karena nanti akan merubah undang-undang (UU) banyak sekali, UU Jawa Barat, UU Banten, UU tentang Depok, UU Bekasi, UU banyak sekali, sehingga akhirnya disepakati saat itu disebut saja kawasan aglomerasi yang tidak ada keterikatannya masalah administrasi," ucap Tito saat rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Jakarta, dikutip Kamis. (13//2024).

Dengan demikian, pemerintah tidak harus mengubah administrasinya meskipun kebijakan pembangunannya bisa sambil disinkronkan untuk menghadapi masalah yang sama, seperti banjir, kepadatan lalu lintas, polusi, hingga migrasi penduduk.

"Jadi itu tidak ada keterkaitan masalah administrasi pemerintahan, tapi ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya, terutama yang mau jadi common program," tutur Tito.

Konsep pembangunan Jakarta sebagai kota aglomerasi akan diarahkan oleh satu badan khusus yang nantinya dikenal sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi. Dengan tugas dan fungsi seperti Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua.

"Dewan kawasan dalam hal ini adalah bentuk yang kita pilih untuk aglomerasi, karena ini lebih memungkinkan, tidak merubah UU yang bersinggungan dengan kewenangan daerah-daerah otonomi yang lain," ucap Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.

Dalam draf RUU DKJ pun telah disebutkan Dewan Kawasan Aglomerasi bertugas untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang Kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi; dan mengoordinasikan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

RUU itu juga menyebutkan RUU itu, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah menyetujui rumusan baru dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ), menyepakati rumusan baru Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM mengenai Dewan Aglomerasi. Panja menyepakati Dewan Aglomerasi bakal ditunjuk presiden dengan ketentuan penunjukannya diatur lebih lanjut melalui Keputusan Presiden.

Kesepakatan ini diambil dalam rapat Panja RUU DKJ yang berlangsung di ruang rapat Badan Legislasi DPR, Gedung Nusantara I DPR.

“Jadi kami setuju yang rumusan baru, ya?” kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas seraya mengetuk palu dalam rapat panitia kerja pembahasan DIM RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (14/3/2024).

Pakar Tata Kota Yayat Supriatna menanggapi soal dewan aglomerasi di bawah kepemimpinan wakil presiden yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Yayat mengingatkan adanya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur yang tidak bisa bekerja dengan maksimal, sehingga dewan aglomerasi mesti dirancang lebih jelas.

“Saya selalu mengingatkan agar dewan aglomerasi tidak mengulang kasus BKSP Jabodetabek. Kalau dewan ini tidak mempunyai kewenangan otoritas dalam konteks eksekusi maupun kewenangan di anggaran, itu bisa mengulang cerita-cerita lama,” ujar Yayat kepada Republika, Kamis (14/3/2024).

Sementara itu, Pengamat Perkotaan, Yayat Supriatna menjelaskan, gambaran dewan aglomerasi tersebut dianggap mirip dengan BKSP yang mengurus persoalan Jakarta dan wilayah aglomerasi yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.

Dalam prosesnya, BKSP tidak memiliki kewenangan serta tidak punya anggaran untuk mengeksekusi program-program terintegrasi yang ingin dijalankan. Sehingga tidak begitu berguna untuk mengintegrasikan

Dewan aglomerasi semestinya memiliki konsep anyar dengan langkah jitu untuk bisa mengintegrasikan Jakarta dan daerah sekitarnya yang masuk Provinsi Jawa Barat (Depok, Bogor, Bekasi, dan Cianjur) dan Provinsi Banten (Tangerang).

“Kalau tidak ada yang menangani persoalan integrasi di dalam badan ini (dewan aglomerasi), maka akan sulit untuk menyatukan karena perbedaan kemampuan fiskal antara Jakarta dan tetangga-tetangganya. Dan ingat, ini adalah UU DKJ bukan UU Jabodetabek,” ujar dia.

Yayat menekankan kewenangan dewan aglomerasi untuk memiliki otonomi khusus dalam mengatur wilayah aglomerasi. Otonomi khusus itu memberi ruang bagi dewan aglomerasi untuk bisa melakukan intervensi kepada kota-kota penyangga Jakarta, sehingga ada keselarasan dalam merealisakan program. Baik misalnya program pengintegrasian transportasi umum, persoalan banjir, polusi, ataupun tata ruang.

“Jadi posisinya harus jelas dulu apakah nanti dewan aglomerasi bisa mengintervensi dalam bentuk program-program kegiatan,” pungkasnya. (Amr-untuk Indonesia)