PEMILU
Tuesday, 28 January 2025

MA'HAD AL ZAYTUN DAN PROF. DR.CONNIE RAHAKUNDINI, SEBUAH RELASI

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

"IMAGINED COMMUNITY"

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan (berdomisili di Indramayu).

lognews.co.id - Judul tulisan di atas sedikit adaptasi dari judul buku "Imagined Communities", sebuah buku karya Prof Bend Anderson, seorang "Indonesianis", pakar politik asing tentang Indonesia, untuk membaca "titik temu" relasi pikiran besar.Ma'had Al Zaytun dan Prof. Dr. Connie Rahakundini Bakrie.

Relasi dan "titik temu" tentang "imagined community", masa depan komunitas bangsa yang dibayangkan Ma'had Al Zaytun dan Prof. Dr. Connie Rahakundini sebagaimana bayangan Bend Anderson tentang hilangnya "eksklusifitas" sebuah komunitas bangsa dalam konstruksi "Nasionalisme" modern.

Penulis tidak mengenal "dekat" Prof. Dr. Connie, seorang intelektual yang merasa bangga sebagai "guru" dengan pengalaman beragam lintas kultural bangsa, pengagum "Nasionalisme" Bung Karno, pengamat militer dan pemerhati "kemaritiman" Indonesia, sering tampil di ruang ruang "podcast" Nasional. 

Kecuali penulis pernah "duduk berdampingan" di aula masjid "Rahmatan Lil Alamin", masjid megah Al Zaytun, saat sama sama memberi "sambutan" bergiliran bersama deretan tokoh tokoh lain lintas agama dalam acara "1 Suro 1444 H, satu tahun silam, saat Al Zaytun dalam tekanan massif media dan demontrasi berjilid jilid.

Dalam wawancara dengan jurnalis "lognews TV"di kompleks Ma'had Al Zaytun di sela sela memberi kuliah umum di Al Zaytun dalam peringatan Hari Guru Nasional (25 November 2024) Prof. Dr. Connie terang terangan begitu bangga dan kagum dengan Ma'had Al Zaytun. 

Impian masa lalu Prof. Dr Connie dan impiannya tentang "Imagined Community", sebuah masa depan indonesia yang dibayangkan, yakni harmoni dalam keragaman menurutnya sebuah realitas sosial komunitas bangsa tercermin kuat dalam praktek sehari hari di Al Zaytun, tidak berhenti dalam konsepsi dan narasi narasi besar.

Spirit jalan penuntun masa depan Al Zaytun yang terletak di"daerah "kawasan hutan" Indramayu Jawa Barat dalam perspektif Prof. Dr. Connie adalah sumbangsih untuk masa depan Indonesia sebagai telaga bening "toleransi", "perdamaian" dan semangat "berdikari" dalam ketahanan pangan hingga pengembangan ekonomi "biru" (laut)

Itulah "titik temu" kebanggaan Prof. Dr. Connie terhadap Ma'had Al Zaytun hingga selalu hadir dalam acara acara atau undangan dari Ma'had Al Zaytun bahkan beberapa kali "turun" meninjau galangan kapal besar Al Zaytun di pantai Eretan Indramayu.

Prof. Dr. Connie begitu kagum akan semangat kemaritiman Ma'had Al Zaytun dalam memanfaatkan kekayaan laut Indonesia setidaknya sebagai rintisan awal dapat menyangga kebutuhan "gizi" komunitas Ma'had Al Zaytun secara internal tanpa menutup peluang "pasar" keluar.

Karena itu Prof. Dr. Connie begitu heran di mana letak "sesatnya" Al Zaytun yang ditudingkan pihak pihak hingga ia pun dituding "terpapar" aliran sesat doktrin Islam model Ma'had Al Zaytun. 

Ia berharap pemerintah menjelaskan hal tersebut secara clear ke publik untuk menghindarkan Al Zaytun sebagai aset bangsa selalu potensial dikriminalisasi oleh tekanan opini publik dan framing framing negatif yang menyesatkan.

Penulis yang berdomisili dan sehari hari tinggal di Indramayu pun pernah begitu dicaci maki, dihujat dan dituding pembela "yahudi", sarang terorisme dan lain lain saat dulu setahun lalu tampil memberi sambutan dalam acara 1 Suro 1444 H di Al Zaytun, saat tekanan opini publik terhadap Al Zaytun begitu terstruktur, sistemik dan massif (TSM).

Tetapi sebagaimana berkali kali penulis menulis di berbagai media sama sekali "tidak menyesal" atas hal tersebut semata mata untuk membela Al Zaytun dalam proporsi timbangan agama Islam yang penulis yakini dan jiwa penurun nilai nilai Pancasila, asas tunggal berbangsa dan bernegara.

Memang tidak mudah mengahadapi resiko dan tantangan dominasi pandangan "ekslusif" keagamaan dalam realitas sosial masyarakat kita tak terkecuali pandangan "inklusif" Al Zaytun tentang toleransi dan perdamaian. 

Itulah problem sosial kita menata jalan masa depan Indonesia yang dibayangkan ideal dalam kebhinekaan yang harmoni dan damai.

Hasil riset data survey Marcus Meizner dan Burhanudin Muhtadi (2016 - 2018) dalam paper ilmiyah nya berjudul "The Myth Of Pluralism Nahdlatul Ulama" 2020) memberi gambaran tingkat toleransi "warga NU", sebuah ormas Islam terbesar di Indonesia begitu dikenal penganjur sikap "toleransi" di garda terdepan di Indonesia. 

Gambaran kuantitatif warga NU terkait isu toleransi, pluralisme.dan kebhinnekaan di bawah 50% di tandai dengan a) keberatan (54%) jika didirikan rumah ibadah non muslim, b) keberatan j(52%) jika pemimpin daerah non muslim, c) keberatan (53%) jika Gubernur dari non muslim dan d) setuju (59%) bahwa etnis Jawa seharusnya memilih orang Jawa.

Ini baru potret data di kalangan "warga NU" menurut survey di atas, sebuah ormas Islam paling terdepan menjaga "toleransi" tentu sangat problematik dalam konteks membaca keseluruhan cara pandang umat Islam di berbagai ormas Islam lain, tidak mudah menguatkan integrasi wawasan kebangsaan dalam membangun masa depan bangsa yang "dibayangkan'.

Di sinilah, sekali lagi, "titik temu" cara pandang Ma'had Al Zaytun dan Prof. Dr. Connie tentang bagaimana "Imagined community", sebuah bangsa yang dibayangkan di masa depan: toleran, damai dan karakter bangsa berdikari harus terus menerus diperjuangkan.

Dalam pandangan Prof. Dr. Connie Al Zaytun telah melaksanakan "praktikum" tentang bagaimana budaya toleransi, perdamaian dan kemandirian menjadi budaya keseharian mereka, bukan konsepsi dan narasi besar dalam wacana publik, penting selalu diperjuangkan dalam ruang publik yang lebih luas, "open minded" dengan ekosistem sosial di sekitarnya secara dialogis dan partisipatif. 

Inilah jalan untuk memproyeksikan jalan peradaban masa depan Indonesia atas kemungkinan makin tajamnya benturan peradaban yang diandaikan Samuel Huntington dalam bukunya "The Class Of Civilization" baik di level geopolitik global maupun di Indonesia akibat residu polarisasi politik yang membelah tajam secara sosial.

Wassalam !