PEMILU
Tuesday, 28 January 2025

KENAPA LUCKY HAKIM MENYERANG DI PEKAN TERAKHIR KAMPANYE?

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan 

lognews.co.id - Pekan terakhir masa kampanye gaya politik Lucky Hakim sejauh pantauan penulis di media "online" dan media sosial mengalami perubahan dari gaya politik "staying power", kekuatan bertahan ke "attacking player", menyerang nyaris multi pihak.

Lucky Hakim menyerang multi pihak, "menguliti" H. Dedi Wahidi, anggota DPR RI (tim 03) di kandang "macan", basis terkuat H. Dedi Wahidi, desa Kaplongan, kelahirannya, menyerang "para kuwu" untuk diaudit dan bahkan menuding wartawan lokal adalah "sampah".

Apakah perubahan "gaya main" dari model tim Jerman 'staying power" ke khas tim Inggris "attacking player" karena sangat "percaya diri" akan menang pilkada atau justru malah "panik" sehingga "un-controling", lepas kontrol atau bagian dari episode akhir serial sinetron politiknya?

Dalam telaah politik penulis dan penulis telah berkali kali menulis tentang Lucky Hakim di media publik ia bukan politisi yang lahir dari proses "trial and error" dalam ketrampilan organik baik organ ormas, organ politik maupun organ aktivisme kepemudaan. 

Ia lahir dan tumbuh secara politik dan bersemai secara elektoral di era rezim elektoral "one man one vote" dalam istilah negara negara mapan sistem demokrasinya disebut "populisme elektoral".

Dalam "populisme elektoral" itulah elektoral Lucky Hakim bertumbuh, dan "staying power", kuat bertahan dari serangan serangan politik. Ia menikmatinya ibarat "beduk", makin dipukul makin nyaring pantulan bunyi elektoralnya.

Justru dalam konteks itulah penulis sedikit "kaget" kenapa ia keluar dari "staying power", gaya kekuatan posisi elektoral politiknya. 

Ada minimal dua konstruksi analisis kenapa Lucky Hakim justru "keluar" dari kekuatan "staying power" elektoralnya bahkan mulai 'ganas" menyerang dan "attacking" multi pihak di pekan terakhir kampanye : 

Pertama Ia terlalu percaya diri, mungkin pula "terprovokasi" ucapan "selamat" atas kemenangannya yang disampaikan Oo DIalambaqa, pengamat kritis, mendahului "vonis" pemilih di bilik bilik TPS, disusul pernyataan "tokoh tokoh" lain pendukungnya para mantan pejabat Indramayu.

Ia terbuai dalam "ayunan" puja puji di atas dan dalam "pelukan mesra" survey survey yang diposting di media sosial bertubi tubi oleh para pendukungnya, tapi lupa dan alpa bahwa survey hanya "petunjuk jalan" bukan kendaraan pengantar ke tempat tujuan kemenangan.

Kedua, atau justru karena ia mulai "panik" terhadap tensi massif gerakan calon calon lain hingga ia mulai keluar menyerang. Ia mungkin terinspirasi diktum Rinus Michaile, arsitek timnas Belanda (1974) bahwa "menyerang adalah pertahanan terbaik". 

Basis elektoral Lucky Hakim adalah "populisme elektoral", memang agak "rimbun", tapi bukan pemilih akar tunjang ideologis dan relasi "kepartaian' yang kuat, secara teori kerja elektoral bisa "digunting" mesin partai. Atas alasan itulah ia mungkin melakukan serangan untuk merawat basis elektoralnya. 

Inilah "perjudian" politik Lucky Hakim di pekan terakhir kampanye, berani keluar dari gestur "staying power", basis kekuatan elektoralnya sendiri, sebuah "perjudian politik" sangat krusial bermain di "menit menit" akhir . 

Tapi itulah "sexi" nya kontestasi pilkada sebagai "dramaturgi" panggung politik, mengutip teori Erwing Gofman. Mari kita tunggu hasil akhirnya. 

Wassalam.