PEMILU
Friday, 20 September 2024

POLITIK "ASBUN" VERSUS "RONG POROD", ANALISIS PILKADA INDRAMAYU 2024

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

 

lognews.co.id - Dalam teori "political language" Antonio Gramsci perseteruan narasi politik "ASBUN" versus "RONG POROD" adalah pertarungan "rekayasa persepsi" untuk mendikte secara hegemonik pikiran publik dalam konteks pilkada Indramayu 2024.

Perseteruan narasi politik ASBUN versus "RONG POROD" di atas lumrah dalam sistem politik demokratis meskipun baru bersifat "slogan", tidak mendalam pada level transaksi gagasan substantif.

ASBUN dalam konteks pilkada Indramayu 2024 secara "simpel" adalah gerakan politik "asal bukan Nina" alias "ganti bupati" dan "RONG POROD" adalah gerakan politik "lanjutkan dua periode" bupati "incumbent" Nina Agustina.

Gerakan politik ASBUN bersifat sporadis, partisipatif secara politik dan "bottom up" dari arus bawah. Powernya tidak terletak pada kekuatan "logistik" tetapi pada titik temu kekecewaan kolektif suasana kebatinan publik terhadap bupati "petahana".

Dalam survey "opini publik" hal itu terpotret dalam temuan survey "Poltracking" (Akhir Mei 2024) sebesar 90% mayoritas publik Indramayu menghendaki "perubahan" pembangunan di Indramayu. Dalam konteks pilkada artinya adalah kehendak "ganti bupati" sangat besar.

Di sisi lain gerakan politik "RONG POROD" bersifat "top down", mobilisasi dari atas, rekayasa politis terhadap instrument birokratis dan intimidatif secara struktural. ASN berubah fungsi dari pelayan publik menjadi "pesuruh politik", dari "abdi negara" menjadi "negara abdi", milik sendiri.

O'ushj Dialambaqa, pengamat kebijakan publik menuding praktek politik tersebut adalah "Pork Barrel politics", yakni politik "gentong babi" dan "Orwellian Politics", sebuah praktek "binatangisme politik" yang buas dan menghalalkan segala cara" (baca tulisannya di "demokrasi", 1/8/2024).

Dari sudut peluangnya dalam kontestasi elektoral pilkada Indramayu 2024 gerakan politik ASBUN memiliki peluang "lebih" besar karena basis kekuatannya bersifat partisipatif dan tumbuh dari arus bawah

Problemnya terkait konfigurasi jumlah pasangan, "ketokohan" calon, tingkat "kesukaan" publik, kemapanan jaringan, pilihan isu dan strategi kerja elektoral adalah variabel variabel politik akan menentukan hasil akhir

Gerakan politik "RONG POROD" - jika hanya bersandar pada kekuatan logistik dan pola intimidatif struktural instrument negara dalam sistem demokrasi sulit menghadang trend elektoral yang tumbuh berlimpah dari arus bawah dan bersifat "perlawanan" partisipatif aktif. 

Hasil penelitian Prof Burhanudin Muhtadi menemukan bahwa pola intimidatif hanya sanggup menaklukkan "fisik" publik tapi menimbulkan "kejengkelan" mayoritas pemilih untuk tidak memilihnya di bilik bilik TPS kecuali disertai basis isu yang bisa menaklukkan "jalan pikiran" dan "suasana kebatinan" mereka

Terlepas dari kemungkinan implikasi politik dan "probabilitas" peluangnya di atas hal yang paling prinsip tentu kesadaran politik kita harus mampu merawat bahwa pilkada sebagai sub sistem demokrasi adalah "jalan mulia dan beradab" dalam proses sirkulasi kepemimpinan politik.

Mengabaikan nilai "kemuliaan dan keadaban" politik dalam proses pilkada potensial jatuh pada praktek "binatangisme politik" buas dan menjijikkan. 

Sungguh sangat menyedihkan justru jika pelakunya para para "aktor terdidik" (ASN dan "kelas menengah") tapi perilaku politiknya sangat rendah dan "primitif"

Wassalam