PEMILU
Friday, 20 September 2024

SEKALI LAGI TENTANG H. DEDI WAHIDI DAN PILKADA INDRAMAYU 2024

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan.l

lognews.co.id, Tulisan ini adalah tulisan kedua penulis setelah tulisan pertama berjudul "H. Dedi Wahidi Dan Peta Baru Pilkada Indramayu 2024" (radarbangsa, 21/5/2024) dalam menimbang tulisan Dr. Masduki berjudul "Bumi Wiralodra Menunggu Dewa" (proinbar, 17l5/2024).

Ternyata tulisan Dr. Masduki di atas, seorang akademisi - akhir akhir menjadi "semi" pengamat politik bukan "isapan jempol" atau dalam diksi politik Bend Anderson disebut "The Real Imagined Community", sebuah impian kolektif para "leader" komunitas publik.

Penulis beberapa kali secara langsung menjadi "saksi", tak jarang sebagai "jubir" betapa gelombang aspirasi dan "desakan" terhadap "Dewa" (nama lengkap H. Dedi Wahidi, anggota DPR RI dari PKB) datang dari sejumlah kepala desa, para pensiunan, kaum akademisi, ormas Islam, pemuda dan lain lain.

 Motiv yang mendasari mereka mendorong, sekali lagi, bahkan mendesak "Dewa" maju dalam pilkada Indramayu 2024 tentu sangat beragam. Ia lahir, tumbuh dan "berkeringat"' politik di Indramayu sejak masa sulit aktif di organisasi di era orde baru sehingga membentuk gestur politik sangat "matang".

 Kematangan politik "Dewa" teruji di level politik praktis sejak menjadi salah satu pimpinan DPRD Indramayu (1999-2000), wakil bupati Indramayu (2000-2005), tempat ia "menjiwai" liku liku kerumitan birokrasi dan di level nasional untuk keempat kalinya terpilih menjadi anggota DPR RI dengan sistem "open list", suara terbanyak.

Rekam jejak politik di atas itulah dalam perspektif penulis esensi dari "desakan" sejumlah pihak kepada "Dewa" untuk maju dalam pilkada Indramayu 2024.

Artinya, esensi dari "desakan" di atas adalah kualifikasi pemimpin selevel bupati dengan dua juta rakyat yang hendak dipimpinnya tidak boleh diserahkan kepada calon pemimpin "recehan", bermodal "marah marah" dan tidak stabil "emosi" kepemimpinannya.

Terlalu mahal "harga" rakyat yang membiayai kontestasi pilkada hanya untuk melahirkan pemimpin kelas "karbitan", tidak mengerti garis batas antara "ambisi" keangkuhan personal dan impian kolektif kehendak publik.

 Tersisa minimal dua bulan ke depan hingga tahapan pendaftaran ke KPU Indramayu 27 Agustus 2024 bagi "Dewa" dan lingkar tim intelektual terdekatnya untuk merespon secara artikulatif "desakan" para "leader" komunitas publik lintas profesi dan varian sosial untuk memutuskan maju dalam pilkada Indramayu 2024.

Tim "Dewa" harus piawai berbasis riset elektoral mengelola "tiga variabel" politik, mengutip teori elektoral Richard Mayland, yaitu konektivitas pesona calon wakil pasangan, desain "warna" koalisi partai dan trend perilaku pemilih di level akar rumput - dalam istilah survey disebut "silent majority".

Itulah jalan terukur untuk memahami kehendak kolektif publik dalam konteks merespon "desakan" para "leader" komunitas publik untuk "Dewa" maju dalam kontestasi pilkada Indramayu 2924.

Mari kita tunggu dinamika berikutnya sambil menegaskan komitmen bersama bahwa pilkada adalah kewajiban negara memberikan hak hak politik warga dalam memilih pemimpinnya di daerah, tidak boleh dikotori oleh politisasi birokrasi yang menjijikkan.

 Wassalam.