PEMILU
Monday, 30 September 2024

PROBLEM ELEKTORAL PASANGAN "AMIN"

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh. : H. Adlan Daie.

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

 

Pasangan "AMIN" (Anies Cak Imin) memiliki problem elektoral dibaca dari sejarah politik dan corak demografi pemilih di Indonesia dalam perspektif hasil penelitian Cliffod Gezt (1956) dibagi dalam tiga varian pemilih, yakni santri, abangan dan priyayi.

 

Pemilih "santri" meskipun sangat kuat atau "strong voters" secara segmentasi sosial demografi pemilih di Indonesia tapi sangat "terbatas" untuk mengantarkan kemenangan pasangan "AMIN' dalam pilpres 2024 jika tidak memperluas basis elektoral di luar "ceruk" pemilih santri.

 

Inilah problem dan tantangan pasangan "AMIN", pasangan representasi "santri". Anies mewakili "santri" modernis dan Cak Imin representasi "santri" kulrural NU. Koalisi partai pengusung pun, yakni PKB dan PKS dominan basis "santri" dibanding Nasdem, partai nasionalis, unsur koalisi lainnya.

 

Dalam perspektif Gezt di atas pemilih santri adalah pemilih partai partai Islam dalam pemilu1955 seperti partai Masyumi (20%), partai NJ (18%) PSII, Perti dan lain lain secara akomulatif sebesar 44%. Pemilih Abangan dan Priyayi berhimpun dalam partai PNI (22%), partai PKI (16%), partai kristen dan lain lain secara akomulatif sebesar 46%.

 

Dalam konteks kekinian para pengamat politik secara "serampangan" membagi tiga varian pemilih model.Cliffod Gezt di atas dalam dua kutub pemilih, yaitu pemilih "Islam" dan pemilih "nasionalis".

 

Dalam Orde Reformasi akibat lanjutan dari kebijakan politik 

"massa mengambang" di era Orde Baru pemilih "santri" dalam pengertian di atas menyusut dari 44% (pemilu 1955) menjadi 38% (pemilu 1999) dan dalam pemilu terakhir 2019 tersisa 31%. Sebaliknya "ceruk" pemilih partai partai "nasionalis" makin besar.

 

Data survey LSI (2023) bahwa pemilih NU sebesar 52% (140 juta) pemilih jelas tidak serta merta mereka identik dengan "pemilih santri" dalam pengertian pemilih partai partai Islam di atas, yakni produks sosial jaringan pesantren NU dan basis sosial ormas ormas Islam modern (non pesantren).

 

Pemilih NU dalam pengertian pengamal tradisi "tahlilan" dan "ziarah kubur" tapi tidak afiliatif pada basis sosial ormas Islam dalam sejarah politik di Indonesia orientasi pilihan politiknya tidak ke partai partai Islam melainkan "genuine" ke partai partai "nasionalis". 

 

Tradisi "tahlilan" dan "ziarah kubur" dipahami mereka sebagai tradisi "slametan" dan penghormatan leluhur masyarakat Jawa, bukan dalam konteks sosial dari identitas keagamaan NU. Karena itu pilihan politik mereka cenderung ke "nasionalis".

 

 

Itulah yang menjelaskan dalam perspektif demografi pemilih di atas kenapa politik "santri" tidak pernah menang pemilu baik pileg dan pilpres dalam sejarah politik di Indonesia meskipun "warga NU" di Indonesia sangat besar jumlahnya dan selalu dibangga banggakan di panggung panggung politik.

 

Karena itulah setelah pasangan "AMIN" resmi mendaftar ke KPU RI saatnya kekuatan jaringan tim sukses pasangan ini selain tetap memproteksi basis pemilih santri sebagai kekuatan basis utama pasangan AMIN juga harus memperluas secara massif basis elektoral di luar basis "pemilih santri", yakni segmentasi sosial pertanian, perkebunan dan generasi pemilih milenial.

 

Itulah rute jalan pemenangan pasangan "AMIN" dalam kontestasi pilpres 2024 untuk meraih kemenangan pertama dalam sejarah politik "santri" di Indonesia. Semoga 

 

 

Wassalam.!!!