PEMILU
Monday, 30 September 2024

IMPLIKASI PILPRES KE PILKADA INDRAMAYU 2024

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

 

Di luar dugaan para pengamat politik ternyata Jokowi "punya nyali politik" keluar dari bidak catur politk PDIP. Pecah kongsi politik antara PDIP dan Jokowi dalam konteks pilpres 2024 tak terelakkan. 

 

Pasangan Ganjar Mahfud MD resmi diusung PDIP dan koalisinya dan Gibran, putera Jokowi resmi menjadi cawapres berpasangan dengan capres Prabowo dari koalisi diluar PDIP.

 

Inilah "dilema politik" bagi Nina Agustina Bupati Indramayu dalam perspektif dinamika pilpres 2024 dan prpyeksi pilkada Indramayu September 2024, kurang dari satu tahun ke depan, saat Jokowi masih dalam posisi jabatan Presiden RI.

 

Nina ibarat berdayung di antara kepentingan kaki politik PDIP di mana Nina menjadi "petugas partai" di dalamnya di satu sisi dan kepentingan kaki politik Jokowi, sandaran utama politik Gibran di sisi yang lain, piawai "cawe cawe" politik sampai jauh.

 

Selama ini dari sudut pandang penulis Nina Bupati Indramayu "menikmati" akses politik ke lingkaran elite pusat PDIP dan jaringan birokrasi pusat tidak lepas dari "pengaruh" Dai Bachtiar, mantan Kapolri, Ayahanda Nina plus karena "kesamaan" kepentingan politik PDIP dan Presiden Jokowi, notabene kader PDIP.

 

Tidak heran persoalan krusial terkait politik seberat apapun di Indramayu dihadapi Nina begitu mudah diselesaikan misalnya tentang interpelasi DPRD ke Bupati Nina (2022) dan "deadlock" pengesahan APBD (2023) begitu mudah pejabat kemendagri turun cepat ke Indramayu. 

 

Dalam analisis seorang "Indonesianis", yakni peneliti politik "luar" tentang Indonesia seperti Williem Liddle dan "divalidasi" Dr. Riswanda Imawan bahwa kultur birokrasi politik Indonesia cenderung "paternalistik", relasi kuasa sangat berpengaruh bagi dinamika birokrasi di daerah.

 

Reformasi politik di Indonesia selama 25 tahun terakhir dalam perspektif Jeffrey Wonters, penulis buku "Oligarkhi Politik di Indonesia" baru menyentuh aspek reformasi kelembangan, tidak signifikan pada reformasi mental dan "kelakuan" birokrasi, hirarkhis paternalistik dan relasi kuasa ke atas.

 

Dalam konteks itu "dilema politik" Nina dalam konstruksi pilpres 2024 terlebih untuk kepentingan maju dalam pilkada 2024 tidak "leluasa" lagi memainkan jaringan birokrasi untuk instrument politik elektoral dalam posisinya sebagai "petugas partai" PDIP untuk memenangkan pasangan Ganjar - Mahfud MD, diusung PDIP.

 

Selain birokrasi memang bukan "alat politis" juga "tangan tangan" kuasa kepentingan Jokowi, pemimpin puncak birokrasi secara nasional, notabene ayah Gibran cenderung akan "cawe cawe" politik lebih "dalam".

 

Birokrasi pun sejatinya tidak hebat memainkan irama elektoral publik kecuali piawai "setor muka" demi kepentingan jenjang karier birokrasi mereka sendiri. "Jangankan suara rakyat, mengamankan kandidat ketua KNPI Indramayu saja birokrat tak berdaya", seloroh aktivis pemuda kepada penulis.

 

Inilah "hukum besi" politik, sulit diduga ujung akhir permainannya. Peta politik di Indramayu akan berubah mengikuti irama koalisi politik di level atas dan irisan birokrasi dari atas pula.

 

Itulah perspektif politik tentang Nina dalam menghadapii "dilema" dinamika pilpres 2024. 

 

Kepiawaian Nina berdayung di antara dua kepentingan politik di atas atau sebaliknya akan menentukan jalan politik Nina menuju pilkada Indramayu September 2024. 

 

Kemungkinan munculnya tokoh politik lain merebut momentum pilpres untuk jalan sukses dalam kontestasi pilkada Indramayu 2024 pun tampaknya akan lebih "bernyali". 

 

Di atas segalanya marilah kita nikmati pilpres 2024 dan kelak pilkada Indramayu 2024 sebagai bagian dari proses berbangsa dan bernegara secara beradab, tidak perlu "jual beli" saling lempar ujaran kebencian.

 

Wassalam.