PEMILU
Friday, 27 September 2024

BID'AH POLITIK MENGUCILKAN CAK IMIN DARI NU, "GA BAHAYA TAH?"

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

 Oleh : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

 

Memisahkan apalagi hendak mengucilkan Cak Imin dari NU dalam kontestasi pilpres 2024 selain mustahil juga "ga bahaya tah?" 

 

Itu jelas "bid'ah politik", yakni "amnesia historis" dan mengingkari takdir sejarah bahwa Cak Imin adalah ketua umun PKB satu satunya partai politik legal dan konstitusional yang lahir dari "rahim" PBNU (1998).

 

Cak Imin bukan "NU naturalisasi", bukan "mendadak NU" atau "meng NU NU kan" diri melainkan secara geneologis lahir dari pusat "trah" kekuatan poltik dan kultural NU di pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur.

 

Dalam konteks itulah seharusnya sejumlah jajaran PBNU tidak perlu berkali kali dan berlebihan menegaskan di ruang publik "jangan bawa bawa NU dalam politik, jangan ada partai manapun merasa paling NU" atau kalimat viral lainnya "memilih pasangan AMIN (Anies Cak Imin) adalah bid'ah". 

 

Publik mudah menangkap kalimat kalimat di atas tendensius hendak mengucilkan Cak Imin (juga PKB ) dari NU.

 

Penulis tidak berpretensi hendak membela Cak Imin kecuali hendak menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi "ketidak sukaan" terhadap Cak Imin dan PKB cukup diekspresikan dengan tidak memilihnya dalam pileg dan pilpres 2024.

 

Itulah cara paling adil dan beradab dalam sistem demokrasi dari sudut pandang demokrasi model Francis Fukuyama dibanding memuntahkan "kebencian" di ruang publik. Artinya demokrasi memberi ruang secara beradab untuk "tidak memilih" siapa pun yang tidak disukai dan atau sebaliknya.

 

Ini relevan dengan pedoman berpolitik bagi warga NU hasil Muktamar ke 28 tahun1989 di Krapyak Jogyakarta bahwa "Perbedaan aspirasi politik di kalangan warga nahdliyiin haruslah tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain" (baca, point ke 8 dari 9 pedoman berpolitik NU).

 

NU bukan sekedar "jam'iyah", lebih dari sekedar organisasi biasa, tidak dapat "dimonopoli" oleh pengurusnya. NU tidak memadai hanya dipahami dari sisi formalisme organisatoris lalu ditafsir seolah olah "warga nu" milik pengurus NU dan bisa diatur atur aspirasi dan pilihan politikya oleh pengurus NU.

 

NU adalah "jama'ah", sebuah komunitas sosial kultural keagamaan lalu karena kebutuhan relasi modernisme global "di "jam'iyah" kan atau diorganisir secara struktural. Kekuatan sosial kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya.

 

Dalam konteks itulah kita letakkan Cak Imin satu satunya tokoh politik NU, pemegang kendali formal partai yang didirikan NU dibanding tokoh tokoh politik NU lain tanpa PKB. 

 

Artinya posisi politik Cak Imin adalah representasi politik formal konstitusional dari kekuatan kultural NU, sebuah kekuatan basis sosial yang mendahului kekuatan struktural NU sebagai "jam'iyah" atau organisasi.

 

Pointnya identitas politik Cak Imin yang lahir dari kekuatan sosial kultural NU dan memimpin partai yang didirikan NU mustahil dapat dikucilkan dari NU.

 

Relasi kekuatan PKB yang dipimpinya dengan NU bukan sekedar relasi historis, ideologis dan aspiratif lebih dari itu menyatunya "alam pikiran" PKB dengan suasana kebatinan sosial kultural NU tanpa atribusi formal organisasi NU sekali pun.

 

Di titik inilah kehadiran Cak Imin di panggung pilpres 2024 mewakili tanggung jawab eksistensial marwah politik NU kecuali jika NU hanya dimaknai Event Organizer (EO), sebuah panggung untuk pesta politik pihak lain. Ambyaaaar !!!

 

 

Wassalam.