PEMILU
Friday, 27 September 2024

RIDWAN KAMIL BUKAN PILIHAN TEPAT BAGI GANJAR DALAM PILPRES 2024

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan (berdomisili di Indramayu Jawa Barat)

Ridwan Kamil mantan Gubernur Jawa Barat (selanjutnya disebut dalam inisial "RK") bukan pilihan tepat menjadi cawapres berpasangan dengan capres Ganjar dalam kontestasi pilpres 2024 meskipun keduanya dalam simulasi pasangan capres cawapres dinominasikan sejumlah lembaga survey dalam posisi trend elektoral relatif tinggi.

 

Kebutuhan insentif elektoral Ganjar dalam persaingan memenangkan kontestasi pilpres 2024 sangat tidak memadai hanya dengan memilih RK menjadi cawapres terutama dibaca dalam konstruksi kekuatan variabel "identitas poliriknya" dan keragaman varian varian demografi pemilih di Indonesia.

 

Penulis memberikan sedikit catatan atas basis kekuatan elektoral RK dalam relasi kebutuhan insentif elektoral Ganjar, sebagai berikut :

 

Pertama, tingginya trend elektoral Ganjar dan RK dalam simulasi pasangan calon dalam sejumlah lembaga survey lebih bersifat rekam opini publik sesaat, potensial bermigrasi secara elektoral. Dari sisi prilaku pemilih belum dapat dikatagorikan "strong voters", yakni belum mencerminkan prilaku pemilih secara kuat.

 

Kekuatan elektoral RK lebih "disubsidi" tim kreatif branding pencitraan di media sosial dan tampilan "bersolek" di ruang publik,, tidak dibangun di atas kaki kaki politik yang kokoh. Karena itu relatif mudah "digusur" oleh permainan isu isu politik, kekuatan kerja mesin partai dan militansi kerja relawan kompetitor lain.

 

Kedua, memasangkan RK sebagai cawapres berpasangan dengan Ganjar tidak akan memberikan kontribusi elektoral secara signifikan di Jawa Barat dalam peta persaingan pilpres 2024 meskipun dari sisi etnisitas RK representasi politik "sunda", pemilih terbesar (72%) dari total populasi pemilih di Jawa Barat sebesar 35 juta dalam pilpres 2024.

 

Pasalnya Prabawo dan Anies, dua capres pesaing Ganjar memiliki tingkat akseptabilitas tinggi di Jawa Barat. Prabowo, dua kali pemenang pilpres terakhir di Jawa Barat dan Anies memiliki kekuatan citra "keislaman" ditopang PKS,, salah satu partai pengusungnya, "connected" dengan varian "keislaman" publik Jawa Barat .

 

Ketiga, di luar kekuatan basis elektoralnya di Jawa Barat tentu RK sulit memberikan insentif elektoral terhadap Ganjar. RK bukan tokoh politik yang bisa diasosiasikan dengan basis sosial pemilih "warga nu" dan dalam posisi sebagai wakil ketua umum partai Golkar pun RK relatif baru, belum memiliki kaki kaki politik kuat dan kokoh di akar rumput partai Golkar.

 

Dengan kata lain memaksakan RK menjadi pilihan cawapres dari Ganjar adalah pilihan "tekor" secara elektoral. Kontribusi elektoral RK di Jawa Barat sangat tidak memadai dibanding kebutuhan insentif elektoral Ganjar di luar Jawa Barat dengan keragaman varian pemilihnya dalam persaingan pilpres 2024.

 

Dalam konstruksi variabel demografi pemilih di atas itulah RK bukan pilihan tepat menjadi cawapres dipasangkan dengan Ganjar. Dalam perspektif penulis Ganjar lebih membutuhkan tokoh nasional berlatar belakang ormas NU setidaknya dalam persepsi publik menjadi bagian "kental" dari komunitas sosial NU kultural.

 

Tanpa variabel faktor "tokoh NU" sebagai pilihan cawapresnya Ganjar akan sulit bersaing kompetitif masuk ke basis basis elektoral warga NU dibanding capres yang berpasangan dengan tokoh politik berlatar belakang NU.

 

Karena itu Ganjar tidak perlu "terkesima" oleh patamorgana elektoral RK dalam sejumlah survey dan PDIP tidak perlu "terjebak" rayuan RK yang membangun patung besar Bung Karno di kota Bandung kecuali Ganjar dan PDIP hendak mempersulit diri sendiri dalam persaingan pilpres 2024.