PEMILU
Thursday, 26 September 2024

CAK IMIN POLITISASI NU ATAU PBNU CAWE CAWE POLITIK?

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

Gus Yahya Ketua Umum PBNU berkali kali menegaskan kepada siapa pun di berbagai forum di ruang ruang publik untuk tidak membawa bawa nama NU dalam kontestasi elektoral pilpres 2024. Publik menafsirkan pesan itu tertuju ke Cak Imin, Ketua Umum PKB untuk tidak "mempolitisasi" NU.

Benarkan Cak Imin "mempolitisasi" NU atau justru PBNU "cawe cawe" politik untuk menutup ruang Cak Imin masuk ke basis basis NU di mana publik paham ke mana arah dukungan PBNU dalam pilpres 2024?

NU bukan sekedar "jam'iyah", lebih dari sekedar organisasi biasa, tidak dapat "dimonopoli" oleh pengurusnya. Dalam pandangan testimoni Mitsuo Nakamura, peneliti asing pertama sebagai "peninjau" resmi Muktamar NU ke 26 tahun 1979 di Semarang, Jawa Tengah - NU rumit dan tidak memadai hanya dipahami dari sisi formalisme organisatoris.

NU didirikan tidak mengikuti trend teori organik "modernisme global" melainkan perjumpaan "isyarat" langit dan kebutuhan jaman "di bumi". NU adalah "jama'ah", sebuah komunitas sosial kultural keagamaan lalu "di "jam'iyah" kan atau diorganisir secara struktural. Kekuatan kultural NU mendahului kekuatan strukturalnya.

Dalam konstruksi "gestur" kultural inilah NU rumit untuk dipahami jangankan oleh "orang luar", bahkan oleh pengurus NU sekalipun. Tali tambang "longgar" yang melingkari lambang NU sebuah pesan simbolik bahwa NU sebagai "jam'iyah", sebagai organisasi tidak perlu diatur ketat seperti "mesin birokratis" yang dapat melemahkan magnit kekuatan kulturalnya.

Dalam AD/ART NU, pedoman dasar tertulis "jam'iyah" NU tidak ada satu pun definisi dan istilah "warga nu" atau "nahdliyyin" kecuali istilah "pengurus" dan "anggota" . Itu artinya NU "longgar", tidak ada sandaran definitif dalam AD/ART NU tentang siapa yang disebut "warga nu" dalam kategori demografi sosial.

Pengurus NU maupun lembaga survey tidak memiliki parameter indikatif tunggal untuk mendefinisikan tentang siapa yang bisa disebut "warga nu" apakah dengan variabel kultural "tahlilan", atau amaliyah keagamaan seperti "qunut" dalam sholat shubuh atau lewat jalan instan "nu naturalisasi" atau kader nu "bersertifikat" dan atau variabel lainnya.

Karena itu temuan lembaga survey tentang jumlah "warga nu" pasti berbeda beda tergantung definisinya tentang "warga nu". Jumlah "warga nu" pasti tidak akan mencapai puluhan juta orang jika variabel yang disebut "warga nu" hanya dinisbatkan pada jumlah "pengurus" NU atau diukur dari kepemilikan "kartu tanda anggota nu" (KARTANU) saja.

Dalam konstruksi inilah para pengurus NU di level struktural manapun sulit serta merta mengklaim pemilik "warga nu", tidak bisa mengatur ngatur pilihan politik mereka. Variabel ideologis dan anasir "realisme pragmatis" adalah ekosistem politik tak terhindarkan dalam konteks kecenderungan pengaruh pilihan politik bersifat elektoral.

Terminologis tentang "warga nu" dalam.konteks kontestasi politik adalah warga negara di mana kontestan partai politik dan para capres cawapres memiliki hak dan kesempatan sama untuk menawarkan program programnya kepada "warga nu", tidak dapat dihalangi oleh siapa pun dan atas nama apapun.

Dalam konteks Cak Imin dalam posisi politiknya sebagai Ketua Umum PKB, partai yang didirikan PBNU sekaligus cicit dari salah satu pendiri NU jelas memiliki "kekhususan" tanggung jawab yang "lebih" untuk "menyapa" "warga nu" karena PKB dan NU diikat relasi historis, ideologis dan aspiratif.

Justru aneh jika Cak Imin representasi politiik NU tidak "menyapa" simpul simpul kekuatan kultural NU, sebuah kekuatan basis sosial yang mendahului kekuatan struktural NU sebagai "jam'iyah" atau organisasi - sejauh tidak menggunakan atribut dan fasilitas milik "jam'iyah" NU.

Namun di atas segalanya baik Cak Imin maupun pimpinan PBNU hari ini adalah generasi "bersanad" politik secara langsung kepada Gusdur. Mereka mewarisi gaya politik "rumit" Gusdur yang sulit dibaca dan dipahami bahkan oleh pengurus NU sekalipun.

Maka nikmatilah gaya rumit politik NU karena dalam kerumitan politik itulah mereka sebagaimana Gusdur selalu menikmati asyiknya politik. Mereka tahu di persimpangan jalan mana perjumpaan politik mereka kelak akan bertemu.

Tabiiiiiik !!!