PEMILU
Wednesday, 25 September 2024

TIGA ALASAN KENAPA CAK IMIN DENGAN ANIES

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh. : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

Ada tiga "misteri" Tuhan, yakni jodoh, kematian dan Muhaimin Iskandar. Demikian "seloroh" Burhanudin Muhtadi, pengamat politik nasional di akun "twitter"nya pasca Cak Imin "deal" politik berpasangan dengan capres Anies, disingkat "AMIN", sebuah singkatan sangat meaning full.

Politisi dan pengamat boleh berteori canggih tentang skenario politik dan framing opini lembaga survey atau bahkan dengan skenario "kriminalisasi hukum" tapi ujung jalan takdir politik adalah hak kuasa "prerogatif" Tuhan. Itulah alasan pertama kenapa Cak imin "berjodoh politik" dengan Anies.

Dengan kata lain, gagal "berjodoh" dalam politik bukan pengkhianatan yang didramatisir ibarat sinetron "kampungan" kecuali mereka tidak pernah "ngaji" doktrin "Ahlus sunnah wal jamaah" tentang "qoda'" dan "qadar", tentang takdir politik kuasa Tuhan.

Alasan kedua terkait perpindahan "mengejutkan" PKB ke koalisi "perubahan" oleh Dahlan Iskan disebut koalisi "Habib-Gus", titik temu "trah" habib Ba 'alawi dan "gus" keturunan wali songo.

Dalam perspektif penulis inilah ikhtiar politik Cak Imin untuk mengakhiri narasi konfliktual "cebong" versus "kadrun" yang merusak sendi sendi keadaban politik. Mahbub Djunaedi, politisi NU (1971) dulu menyebutnya 'binatangisme politik" yang menjijikkan.

Inilah jangkar politik kebangsaan yang hendak dikukuhkan Cak Iimin dalam konteks pilpres 2024 bahwa "keislaman'" dan "nasionalisme" bukanlah dua "entitas" politik bersifat konfliktual melainkan persenyawaan yang melebur dalam "keindonesiaan" yang pluralis dan beragam.

Alasan ketiga tentu tak lepas dari pilihan "realisme pragmatis" untuk menang pileg dan pilpres 2024.

Dalam konteks pileg tampilnya Cak Imin sebagai cawapres akan membuncahkan spirit dan semangat "ekstra" kader PKB untuk memenangkan Cak Imin. Effek elektoralnya jelas langsung ke PKB sehingga proyeksi PKB meraih minimal 13% (82 Kursi DPR RI) bukan proyeksi "absurd" dan imajinatif.

Dalam hal peluang menang pilpres 2024 dapat dibaca dari varian temuan survey "Litbang Kompas" (Agustus 2023 , yakni pemilih sebesar 32% menolak memilih capres yang "diendorse" Jokowi secara politik. 49% akan memilih capres karena rekam jejak dan 18 % akan memilih capres yang diarahkan pilihannya oleh Jokowi.

Itu artinya varian pemilih sebesar 32% di atas dalam tafsir penuls tentang segmentasi elektoral adalah "ceruk" pemilih cenderung mutlak ke Anies dan di dalamnya "included" varian pemilih PKS, partai koalisi pasangan "AMIN".

Di sisi lain varian pemilih sebesar 49% adalah "battle ground", sebuah arena pertarungan elektoral "bebas". Di sinilah PKB dan Nasdem, dua partai pengusung dan pendukung Jokowi dalam pilpres 2014 dan 2019 harus "spartan" berebut memperluas insentif elektoral pasangan "AMIN".

Dalam kalkulasi elektoral di atas setidaknya pasangan "AMIN" relatif mudah masuk ke putaran kedua dalam peta tiga pasang calon. Karena itu bebaskan diri tidak tersandra "iklan" survey manipulatif, sebuah modus ilmiyah dalam perspektif Harry J benda dikategorikan kerja "pengkhianatan kaum intelektual".

Di luar tiga variabel alasan di atas Anies dan Cak Imin dalam metafor H. Agus Salim, legenda Diplomat ulung - telah memilih jalan politik "leeden is ledjen", memimpin adalah jalan "politik menderita", berani mengambil tanggung jawab sejarah politik di tengah dinamika pilpres 2024, penuh jebakan "kriminalisasi" dari kuasa "invisible hand", tangan tangan tersembunyi.

Maka kini giliran para kader koalisi tiga partai tersebut bersama para relawan "membatin" untuk mengikuti keberanian pemimpinnya dalam perjuangan melawan kejahatan "invisible hand" menuju haraoan kemenangan.

Pemimpin bernyali "singa" lebih potensial memenangkan pertarungan politik meskipun bermodal pasukan "domba" dibanding pemimpin "domba" meskipun diback up "naga naga" logistik, - demikian "kalam motivatif" Ibnu Athoillah dalam kitab "Al Hikam".

Selamat berjuang.