lognews.co.id, Jakarta – Sidang perdana gugatan Praperadilan dengan nomor perkara 47/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dituduhkan oleh Penyidik Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Whisnu Hermawan S.I.K., M.H. kepada pimpinan pondok pesantren terbesar se Asia Tenggara, Syaykh Al Zaytun, Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Kamis (2/5/2024).
Syaykh Al Zaytun, Panji Gumilang ditersangkakan atas tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, sidang dihadiri oleh tim kuasa hukum Panji Gumilang, Alvin Lim dan kuasa hukum termohon.
Didepan Majelis Hakim tunggal, Kuasa Hukum Panji Gumilang, Alvin Lim membacakan dalil atas kejanggalan kejanggalan yang dilakukan penyidik sehingga membuat kliennya ditersangkakan dan disita aset asetnya tanpa adanya bukti yang jelas dan tidak menggunakan asas praduga tak bersalah dalam melakukan tugasnya.
Didalam ruang sidang, Alvin menuntut dikembalikannya aset aset yang telah disita sejak dibacakannya berita ini selama lamanya 3X24 Jam, juga menyinggung adanya pelanggaran HAM terhadap kliennya yang sudah berumur 78 Tahun namun dikriminalisasi dengan kepentingan kepentingan dibelakangnya.
Menurutnya banyak sekali kecacatan didalam penetapan tersangka terhadap Syaykh Panji Gumilang.dari yang paling krusial dalam penetapan tersangka harus dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang cukup dan yang kedua haruslah memenuhi unsur-unsur pidana secara materilnya dan bukti yang tertera di dalam P19.
“Saya bongkar isi dari P19 yang mana P19 itu adalah surat yang diberikan oleh Kejaksaan kepada kepolisian untuk dilengkapi, Jadi kalau kita mungkin berbohong, Jaksa enggak mungkin berbohong kepada kepolisian karena Jaksa itulah yang nanti harus menyidangkan di pengadilan terhadap perbuatan yang disangkakan terhadap Panji Gumilang yaitu TPPU, dan Jaksa melihat tidak ada bukti dan belum ada unsur” ujar Alvin.
Sehingga menurut Alvin, perkara yang diajukan sangatlah rapuh, karena berkas perkara dan penyidikan yang mereka lakukan, sehingga Alvin mempertanyakan tentang bagaimana mereka lakukan sebuah penyidikan kalau itu belum memenuhi unsur pidananya.
“Jadi bagaimana seseorang penyidikan yang belum lengkap ini dilakukan penetapan tersangka !?, ini yang menjadi problem kita yang sudah kami tuangkan tadi dan kami bacakan di depan persidangan” sambung Alvin didepan awak media.
Saat ditanyakan mengenai dana BOS, Alvin menilai bahwa kasus tersebut salah sasaran dan tidak jelas objeknya, karena ditujukan kepada sebuah pesantren yang dinilainya pesantren Al Zaytun lebih disiplin dan akuntabel dibandingkan dengan pesantren atau lembaga lainnya, bahkan Alvin menantang untuk membuktikannya dengan tidak hanya memeriksa AL Zaytun saja.
“Kalau dana BOS itu uang dari pemerintah, jadi opini hukum saya dalam hal ini dia melakukan penerapan hukum yang salah, harusnya kalau memang ini tentang dana BOS harusnya Tipikor, karena ini uang pemerintah yang dirugikan adalah pemerintah” jelas Alvin didepan wartawan.
Dijelaskan Alvin, dalam konstruksi hukum TPPU terdapat pasal 3, 4, dan 5, di pasal 3 ini adalah penerima pasif yaitu orang tidak perlu mengetahui bahwa itu hasil kejahatan hanya dengan dia menerima saja itu dia bisa kena ancaman 5 tahun, seperti contoh kasus Sandra Dewi, dia istri mungkin tidak tahu apa yang dikerjakan suaminya, namun karena menerima uang hasil kejahatan maka bisa menjadi sebagai pencuci uang pasif.
Sedangkan pasal 5 ini adalah pencuci uang aktif, dia harus mengetahui dan ancamannya 20 tahun penjara, sedangkan yang menjadi problemnya disini adalah dia (penyidik) memasukan jungto 55.
“Jadi dia anggap ada kumpulan orang tetapi anehnya tersangkanya cuma satu orang Panji Gumilang aja, Jadi untuk apa dia masukin jungto 55 ?” tanya Alvin keheranan.
Alvin mencontohkan adanya pembelian sepeda yang dijadikan bahan penyelidikan, kemudian ditanyakan kepada wartawan, apakah sepeda yang begitu banyak dan dipakai untuk keperluan berolahraga para penghuni di Al Zaytun menjadikan Syaykh jadi tersangka ? tanya Alvin.
“Apakah uang atau aset ini dipakai oleh Panji Gumilang atau tidak ?, dan sepedanya itu pun tidak terbukti dipakai oleh Panji Gumilang, masa dia pakai puluhan sepeda kan enggak mungkin itu, kan dipakai untuk memang kebutuhan pengurus-pengurusnya di pesantren tersebut ya jadi inilah gimana mereka tuh mencari-cari kesalahan seseorang yang sebenarnya enggak salah harusnya mereka klarifikasi dulu dibanding dia langsung netapin sebagai tersangka terus memaksakan bukti ini” tegas Alvin.
Kejanggalan lainnya adalah diterapkannya undang-undang Yayasan tanpa melalui proses penetapan pengadilan, namun langsung menabrak aturan dengan langsung melakukan penyidikan.
“Bahwa untuk undang undang Yayasan, tidak bisa dilakukan proses, tanpa terlebih dahulu ada penetapan pengadilan. Dan mereka enggak punya penetapan pengadilan, ini kan Yayasan, Yayasan itu kan badan hukum, ya enggak ada orangnya (bukan orangnya), jadi diduga yayasan ini melakukan TPPU, yayasannya ya kan ? Yayasan siapa ? ada pengurusnya si a, b, c, d, atau siapanya disitu, nah itu harus ditetapkan dulu di pengadilan, siapa yang melanggar baru di situ dilakukanlah penyidikan” jelas Alvin.
Atas kerancuan tersebut Alvin menantang mengapa hanya Al Zaytun yang dikriminalisasi dan dizolimi dengan diperkarakan TPPU, sedangkan diluar sana ada pula pesantren yang pengelolaan dananya tidak sebaik di Al Zaytun.
“Ini sebenarnya bisa menjadi Pandora box, kenapa ? saya masih berkeyakinan dan berpendapat bahwa Al Zaytun itu salah satu yayasan yang mungkin terbersih dan terbaik dalam mengelola keuangannya” tandasnya.
“Bandingkan dengan yang lain, kalau kita berani menantang Mabes Polri, berani gak Mabes Polri mengaudit pesantren-pesantren lain di Indonesia yayasan-yayasan yang lain diperiksa dong semuanya dong saya yakin banyak Yayasan di luar sana ya yang keuangannya lebih berantakan dan lebih parah berani gak ?” tantang Alvin dengan alasan adanya “Equality before the law” yaitu semua manusia setara di mata hukum sehingga tidak hanya AL Zaytun atau Syaykh Panji Gumilang yang usianya sudah sepuh mengingat umurnya yang 78 tahun.
Alvin berharap Majelis Hakim bisa bijak meluruskan persoalan ini,
“Inilah banyak pelanggaran yang dilakukan mereka, dengan alasan menegakkan hukum tapi dengan cara-cara yang melawan hukum, nah itu yang kita tidak setuju dan kita minta kebijakan dari Majelis Hakim untuk meluruskan” tegas Alvin.
Menjadi dorongan, Alvin menilai tidak ingin membiarkan melihat kezoliman kepada kliennya, dan berharap tidak ada lagi korban kriminalisasi seperti yang menimpa Syaykh Al Zaytun, sebab jika dibiarkan bisa menimpa kepada kalian, dan semua keluargapun bakal menjadi korban oknum oknum Polri yang sembarangan itu.
“Kita respect kepada mereka untuk menegakkan hukum tapi menegakkan hukum yang sesuai koridor yang sudah diterapkan oleh hukum. Jadi mereka itu dikasih kewenangan tapi kewenangan yang terbatas, bukan kewenangan absolut terbatas, dia punya cara-caranya, oh nangkap harus begini, harus begini, jadi jangan sembarangan nanti tiba-tiba kalian ditangkap digebukin dulu kan enggak boleh, misalnya kayak begitu kan. Nah inilah yang kita jaga rambu-rambunya sama halnya dengan pidana Yayasan itu benar boleh diselidiki oleh mereka tapi apabila sudah ada penetapan Hakim, penetapan pengadilan, enggak bisa serta-merta mereka main asal tabrak ini yang harus kita sampaikan kepada Kapolri bahwa oknum-oknum ini masih ada di sana ya Dan ini yang kita mau mereka benahi itu” Tutup Alvin.
Dengan adanya kecacatan hukum dalam penetapan tersangka sehingga dilakukan Praperadilan maka tim kuasa hukum mempersilahkan kepada siapa saja yang merasakan ketidak adilan ini, agar tidak berlanjut kepada orang lain dikemudian hari, untuk melakukan aksi damai di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Amr-untuk Indonesia)


